Penulis
Intisari-Online.com -China telah lama mengklaim kedaulatan atas sebagian besar Laut China Selatan, dengan mengatakan bahwa seluruh jalur air hingga pantai Filipina, Malaysia, dan Taiwan adalah miliknya.
China mengeklaim sekitar 90 persen dari perairan tersebut yang meliputi area seluas sekitar 3,5 juta kilometer persegi.
Klaim Beijing didasarkan pada sembilan garis putus-putus berbentuk U (nine-dash line) di peta pada tahun 1940-an oleh seorang ahli geografi Tiongkok.
Pada 2016, Pengadilan Arbitrase Permanen di Den Haag, Belanda, membantah klaim China atas hak-haknya di Laut China Selatan.
Pengadilan itu mengatakan, klaim China atas haknya di Laut China Selatan dalam nine-dash line, yang digunakan Beijing melandasi klaimnya, tanpa dasar hukum.
Salah satu negara yang gencar melawan klaim China adalah Amerika Serikat (AS), yang kerap mengirimkan kapal perangnya ke Laut China Selatan untuk berpatroli.
Di antara AS dan China yang bersaing di Laut China Selatan, sebenarnya ada satu negara, dengan militer terkuat kedua di Asia Tenggara setelah Indonesia, yang dapat memegang kunci keseimbangan di wilayah tersebut.
Menurut data yang dirilis Global Fire Power (GFP) pada 2021, peringkat kekuatan militer pertama di Asia Tenggara ditempati oleh Indonesia dengan PowerIndex 0,2697, sedangkan peringkat kedua ditempati oleh Vietnam dengan PowerIndex 0,4204.
Menurut seorang kolumnis, Vietnam berada di pusat persaingan kekuatan besar antara AS dan China dan dapat memegang kunci keseimbangan kekuatan di Laut China Selatan, seperti melansir Express.co.uk, Jumat (16/4/2021).
Namun, baik Washington dan Beijing merasa frustrasi dalam upaya merekrut Hanoi menjadi sekutu, karena pemerintah Vietnam bertekad untuk menerapkan kebijakan 'non-blok' yang telah lama dianutnya.
Menulis untuk situs news.com.eu, Jamie Seidel berpendapat bahwa AS dan China mengalami kebuntuan dalam persaingan merekrut Vietnam untuk mencapai tujuan mereka.
Kedua negara adidaya tersebut melihat dukungan dari Hanoi sebagai hal yang penting dalam kemampuan mereka untuk mengamankan kendali atas Laut China Selatan.
Untuk itu, Washington dalam beberapa bulan terakhir meluncurkan kampanye diplomatik yang intens, mengirim penasihat keamanan nasional dan sekretaris negaranya untuk mengunjungi Hanoi.
Selain itu, AS telah berusaha untuk meningkatkan hubungan militer dengan Vietnam untuk berpartisipasi dua kali dalam latihan perang (wargames) Rim of the Pacific (RIMPAC).
Namun, Hanoi tetap tidak menunjukkan kecenderungan untuk memasuki perjanjian formal dengan Washington melawan Beijing.
Ini karena Vietnam secara konsisten memutuskan untuk tidak pernah bersekutu dengan satu kekuatan besar melawan yang lain, sejak Uni Soviet meninggalkannya pada tahun 1986 untuk meningkatkan hubungan dengan China.
Seidel menjelaskan: "Vietnam meresmikan sikap itu pada tahun 1998 ketika menganut kebijakan 'tiga tidak': tidak ada aliansi militer, tidak ada aliansi dengan satu negara melawan negara lain dan tidak ada pangkalan militer asing di tanah Vietnam."
Sementara itu, hubungan antara China dan Vietnam semakin memburuk karena tindakan agresif Beijing terhadap negara tetangganya tersebut.
Pada April tahun lalu, sebuah kapal penjaga pantai Tiongkok menenggelamkan kapal nelayan Vietnam di dekat Kepulauan Paracel yang disengketakan.
Sebuah kapal pengeboran China juga dikirim ke zona ekonomi eksklusif Vietnam.
Selain itu, Beijing menetapkan sendiri wilayah administratif baru di atas wilayah penangkapan ikan yang dianggap Hanoi sebagai miliknya.