Penulis
Intisari-online.com - Pada 13 April, New York Times, menerbitkan laporan tahunan 27 halama dari kantor Direktur Badan Intelijen Nasional AS (ODNI).
Laporan itu mengatakan, bahwa China saat ini menjadi ancaman terbesar, karena peningkata pengaruh globalnya.
Faktanya, tak hanya kepemimpinan AS, tetapi para ahli juga memperingatkan bahwa China berencana mengadopsi strategi yang lebih kuat dan lebih proaktif.
Mau tidak mau banyak negara Barat yang mendukung Amerika, membentuk koalisi Anti-China, menurut artikel Jamestown Foundation (AS).
Menurut Jamestown Foundation, hasil perjalanan ini pada dasarnya sangat sukses ketika Uni Eropa pada 21 Maret untuk pertama kalinya sejak 1989.
Mereka mengumumkan sanksi terhadap China karena menuduhnya melakukan pelaggaran.
Pelanggaran hak asasi manusia terhadap orang Uighur di wilayah otonom Xinjiang, mengakibatkan sanksi serupaoleh Inggris dan Kanada.
Sebagai tanggapan, China juga menghukum sejumlah pejabat dan badan UE, AS, dan Kanada.
Negara ini juga telah meningkatkan operasi kapal perang dan pesawat militernya di perairan seperti Laut Cina Selatan dan Laut Cina Timur.
Di mana Amerika Serikat dan sekutu serta mitranya bekerja terus menerus untuk menunjukkan bahwa negara tersebut tidak akan membuat konsesi, arena konfrontasi yang alot.
Sementara di Timur Tengah, Jamestown Foundation mengatakan, China tidak berniat menggantikan kehadiran AS di sini karena tidak memiliki cukup kemauan politik dan kekuatan militer untuk melakukannya.
Namun, China masih ingin menciptakan citra alternatif Amerika dan mengirimkan pesan ini ke wilayah tersebut.
Merupakan bagian dari seruan China ke Timur Tengah adalah sikapnya terhadap hak-hak anak.
Sedangkan untuk dominasi terkuatnya, para pengamat mengatakan, ASEAN, khususnya negara-negara anggota ASEAN, mengalami kesulitan mencapai konsensus mengenai isu-isu terkait China.
Terlepas dari keterkaitannya dengan Beijing dalam berbagai masalah, dari serangkaian kerangka kerja hingga konsultasi.
ASEAN belum menemukan solusi atas pertanyaan terkait sengketa kedaulatan di Laut China Selatan.
Sadar akan hal ini, Menteri Luar Negeri China Wang Yi pada awal April mengundang mitranya dari empat negara dengan suara penting di ASEAN, Singapura, Malaysia, Indonesia dan Filipina, untuk mengadakan pembicaraan di Beijing.
Ini jelas cara Beijing menggunakannya untuk menjalin hubungan baik dengan ASEAN untuk mencari cara memblokir pengaruh AS atas blok tersebut.
Dari negara-negara tersebut, rencana China muluskan pengaruh di Asia Tenggara paling kuat di Timor Leste.
Timor Leste adalah salah satu negara di Asia Tenggara di luar ASEAN, yang telah menerima banyak investasi dari China.
Dalam beberapa tahun terakhir untuk membantu memperbaiki kesulitan ekonomi yang dihadapi.
Sejak 2019, Beijing telah mengajukan investasi pada 20 proyek infrastruktur di Timor Leste dengan total nilai puluhan miliar dolar.
Namun, hingga saat ini belum ada proyek yang diterima, sementara pemerintah Timor Leste telah kehilangan hak untuk menggunakan lokasi utama yang digunakan China untuk melaksanakan proyek ini.
Nikkei Asia sampai memperingatkan Timor Leste harus sangat berhati-hati agar tidak jatuh ke dalam "perangkap utang" yang disetujui banyak negara.
Membiarkan China berinvestasi, serta waspada terhadap China yang mengklaim kepentingan politik apa pun selain ekonomi.