Intisari-Online.com - Sierra Leone merupakan salah satu negara dengan militer paling lemah di dunia.
Menurut Global Firepower 2021, negara Afrika tersebut mencatatkan Power Index 7.2063, merupakan skor terendah ke-4 di antara 140 negara di dunia.
Power Index Sierra Leone hanya lebih 'baik' dari Bhutan, Liberia, dan Somalia saja.
Peringkat kekuatan militer negara ini menurun dibanding sebelumnya.
Tahun lalu, militer Sierra Leone menempati peringkat ke 134 dari 138 negara. Namun kini ia menempati peringkat ke 136 dari 140 negara.
Peralatan tempur yang dimiliki militer Sierra Leone di antaranya 5 helikopter, 2 helikopter serang, 20 kendaraan lapis baja, dan 7 kapal patroli.
Sementara jumlah tentaranya hanya 8.500, yang terdiri dari personel aktif tanpa cadangan. Juga hanya didukung anggaran pertahanan sebesar 30 Juta dolar AS untuk tahun ini.
Kini menjadi militer paling lemah di dunia, ternyata Sierra Leone punya catatan buruk jadikan anak-anak sebagai tentara. Seperti apa parahnya?
Melansir borgenproject.org, itu terjadi antara tahun 1991 hingga 2002, ketika Sierra Leone terlibat dalam perang saudara yang menghancurkan.
Itu merupakan konflik antara Front Bersatu Revolusioner (RUF) dan Tentara Sierra Leone (SLA).
Kekacauan perang saudara di Sierra Leone saat itu menarik perhatian internasional, terlebih dengan penggunaan tentara anak-anak secara terang-terangan.
Jumlah tentara anak pun melonjak. Tentara anak mengisi sebanyak 40 hingga 50 persen dari kekuatan militer RUF dan sekitar 20 persen dari kekuatan militer pemerintah.
Secara total, sekitar 10.000 anak dieksploitasi dan dipaksa menjadi tentara anak di Sierra Leone, kata borgenproject.com.
Bukan hanya dipaksa berperang dan membunuh, mereka juga sering kali dipaksa menggunakan narkoba (biasanya mariyuana atau kokain)
Itu dilakukan untuk memungkinkan mereka melakukan kekerasan.
Ada pula dari mereka bertugas sebagai pembawa pesan dan kuli angkut, dan gadis-gadis muda dipaksa menjadi budak seksual atau menikah secara paksa dengan para jenderal.
Pada 2013, Letnan Jenderal Romeo Dallaire mendirikan organisasi nirlaba bernama Child Soldier Initiative (CSI).
Ia merancang pelatihan wajib dan seminar bagi polisi dan angkatan bersenjata setempat untuk menginformasikan mereka tentang hak-hak anak dan bagaimana menangani tentara anak di lapangan.
Sementara, tahap kedua dari proyek CSI yaitu meminta mantan tentara anak menjalankan program dan melatih anak-anak lain tentang hak-hak mereka dan alternatif untuk bergabung dalam konflik.
Bagaimanapun, pengalaman tentara anak di Sierra Leone telah meninggalkan trauma mendalam bagi mereka.
Melansir CNN, seorang mantan tentara anak membagikan pengalaman pilu yang dimililikinya.
Dia adalah Ismael Beah, tumbuh di tengah perang saudara, masa kanak-kanaknya diwarnai ketakutan, tembakan, dan menyaksikan pertumpahan darah di depan matanya.
Keluarganya pun terbunuh dalam perang saudara yang kejam di negara itu.
"Kami beralih dari anak-anak yang takut akan tembakan menjadi sekarang anak-anak yang tertembak," kata Beah yang terpisah dari keluarganya pada usia 12 tahun ketika kotanya diserang.
Putus asa akan bantuan, Beah mengatakan dia berkeliling pedesaan dengan sekelompok anak lain yang telah kehilangan keluarga mereka dalam keadaan yang sama.
Mereka berhasil menghindari pemberontak RUF yang berkeliaran tetapi menyaksikan baku tembak, menggeledah desa dan mayat yang tak terhitung jumlahnya di sepanjang jalan.
"Saya melihat seorang pria menggendong putranya yang ditembak mati, tapi dia mencoba untuk lari bersamanya ke rumah sakit," kenang Beah.
Berbagai peristiwa mengerikan di sekitar tempat tinggalnya telah ia saksikan saat itu. Mirisnya, saat berusaha mencari tempat yang aman, mereka justru terjebak di pos tentara yang sama kejamnya dengan RUF. Mereka mengerahkan anak-anak sebagai tentara.
Beah dibawa masuk, diberi perlindungan tapi akhirnya dilatih untuk membunuh.
"Seseorang ditembak di depan Anda, atau Anda sendiri yang menembak seseorang menjadi seperti meminum segelas air. Anak-anak yang menolak untuk berkelahi, membunuh atau menunjukkan kelemahan apa pun akan ditangani dengan kejam.
"Emosi tidak diizinkan," lanjutnya. "Misalnya seorang anak laki-laki berusia sembilan tahun menangis karena mereka merindukan ibunya dan mereka ditembak," ungkapnya.
Beah mengungkapkan, alasan mengapa anak-anak diburu, yaitu karena mereka dapat dengan mudah dimanipulasi.
Beah berada di divisi tentara anak-anak dan bertempur dengan kelompok tersebut selama dua tahun sebelum akhirnya diselamatkan oleh UNICEF.
Dia dibawa ke pusat rehabilitasi di ibu kota Sierra Leone, Freetown, di mana dia menghabiskan delapan bulan mempelajari tentang apa yang terjadi padanya dan menyesuaikan diri dengan kehidupan setelah perang.
Itu juga bukan masa-masa yang mudah karena mereka masih 'bertempur' dengan rasa trauma mereka.
Mereka sering melampiaskan emosi pada para staf di puast rehabilitasi, karena kesulitan untuk beradaptasi dengan lingkungan baru.
"Kami sangat marah. Kami sangat merusak. Kami menghancurkan pusat tempat kami tinggal (dan) kami membakar beberapa barang," katanya tentang bulan-bulan awalnya di sana.
"Kami memukuli anggota staf. Mereka kembali, kami memukuli mereka lagi," ungkapnya.
Seiring waktu, dan kesabaran seorang pengasuh bernama Perawat Esther, bagaimanapun, Beah mengatakan bahwa dia akhirnya bisa terhubung kembali ke masa kecilnya yang hilang dan mengingat dirinya yang dulu.
Beruntung, perkembangan Beah kemudian sangat mengesankan sehingga pada tahun 1996 dia terpilih untuk pergi ke Perserikatan Bangsa-Bangsa dan berbicara di sebuah konferensi yang dipimpin oleh Graca Machel, istri Nelson Mandela, tentang penderitaan tentara anak-anak.
(*)
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik? Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik dihttps://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari