Intisari-Online.com - Terjadi konflik Indonesia-Belanda selama 4 tahun dengan kedatangan kembali pasukan Belanda ke Indonesia yang sudah mendeklarasikan kemerdekaannya.
Belanda tidak mengakui kemerdekaan Indonesia dan ingin kembali berkuasa di bekas wilayah jajahannya.
Kedatangan Belanda memicu perlawanan di berbagai daerah, hingga terjadi pembantaian rakyat sipil oleh Belanda.
'Pembantaian Rawagede' yang terjadi pada 9 Desember 1947 merupakan salah satu yang menjadi tragedi kelam Bangsa Indonesia dari masa-masa tersebut.
Ratusan orang di Rawagede menjadi korban 'kebuasan' Belanda yang ingin menumpas para pejuang Indonesia.
Pada tahun 1947 itu, tentara Belanda yang kembali datang ke Indonesia berhasil menguasai wilayah Jawa Barat.
Belanda membawa misi untuk membersihkan unit pasukan bersenjata Indonesia dan laskar-laskar pemuda yang melakukan perlawanan terhadap Belanda.
Dalam peristiwa 'Pembantaian Rawagede', target utama Belanda adalah memburu seorang komandan kompi yang memimpin Karawang-Bekasi, Lukas Kustaryo.
Melansir Kompas.com (18/9/2011), Rawagede sendiri sudah menjadi daerah markas para laskar pejuang jauh sebelum kemerdekaan diproklamasikan.
Seperti yang diungkapkan Ketua Yayasan Rawagede Sukarman, yang telah mendokumentasikan tragedi pembantaian itu dalam buku berjudul 'Riwayat Singkat Taman Pahlawan Rawagede.'
Laskar pejuang yang dikenal di Rawagede sebelum kemerdekaan Republik Indonesia diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, antara lain Laskar Macan Citarum, Barisan Banteng, MPHS, SP88, dan Laskar Hizbulloh.
Kemudian, mulai 19 Agustus 1945, seluruh laskar itu bergabung menjadi BKR (Badan Keamanan Rakyat), yang markasnya ada di rumah-rumah warga.
Sosok Lukas Kustaryo yang Dijuluki 'Begundal dari Karawang'
Pada 1946, kata Sukarman, Letkol Suroto Kunto yang masih berusia 24 tahun ditunjuk sebagai Komandan Resimen Jakarta di Cikampek.
Salah satu komandan kompinya adalah Lukas Kustaryo yang membawahi Karawang-Bekasi.
Sementara Kharis Suhud, yang sebelumnya seorang petugas Perusahaan Jawatan Kereta Api, juga bergabung dengan BKR dan diangkat menjadi Komandan Kompi Purwakarta.
Lukas Kustaryo dikenal dengan kegigihan, bahkan membuatnya dijuluki 'Begundal Karawang' oleh tentara Belanda.
Hal itu terlihat sejak penculikan Letkol Suroto. Pada 25 November 1946, Letkol Suroto diculik rakyat pro-Hindia Belanda ketika sedang dalam perjalanan dinas.
Ditemukan bercak darah di mobilnya, namun baik jasad Letkol Suroto maupun pengawalnya tidak ditemukan.
Sejak kejadian itu, Kapten Lukas Kustaryo yang menjadi Komandan Kompi Karawang-Bekasi pun menghimpun kekuatan para laskar pejuang dan terus 'memprovokasi' pasukan Belanda sebagai perlawanan.
Pernah ia mengendarai sendiri lokomotif kereta api dari arah Cipinang di Jembatan Bojong, perbatasan Karawang-Bekasi. Kemudian, ditabrakkannya lokomotif itu dengan kereta api penuh senjata dan amunisi milik Belanda yang datang dari arah berlawanan.
"Dari situlah awalnya BKR mendapatkan pasokan senjata dan amunisi," ujar Sutarman.
Selain itu, ia juga kerap mengenakan baju seragam tentara Belanda yang baru saja dibunuhnya. Dengan mengenakan seragam itu, dia menembaki tentara Belanda yang lain.
Bahkan, karena ulahnya itu, Kapten Lukas juga sempat ditembak dari jarak kira-kira 25 meter oleh Letnan Sarif, anak buahnya, yang tidak menyadari bahwa itu adalah komandan sendiri. Untungnya tembakan itu tak mengenai sasaran.
Kapten Lukas Kustaryo pun menjadi target utama tentara Belanda. Bahkan, mereka bersedia mengeluarkan ribuan gulden untuk mencari informasi mengenai 'Begundal Karawang' itu.
Tak Menemukan Lukas Kustaryo, Pasukan Belanda Bantai Rakyat Sipil
Keberadaan Kapten Lukas di Rawagede akhirnya tercium oleh tentara Belanda.
Pada 8 Desember 1947, Belanda mendapatkan informasi bahwa Lukas Kustaryo berada di Rawagede.
Sementara Lukas Kustaryo sendiri tengah menghimpun tentara BKR di Rawagede dan berunding dengan para laskar hingga siang untuk merencanakan penyerangan ke wilayah Cililitan, Jakarta.
Sekitar pukul 15.00, Kapten Lukas beserta pasukannya telah keluar dari Rawagede dengan berjalan kaki.
Sementara sekitar pukul 16.00, turun perintah pimpinan pasukan Belanda bahwa Rawagede harus dibumihanguskan.
Menurut Sukarman, kira-kira tengah malam, tentara Belanda sudah tiba di Stasiun Pataruman, Desa Kalangsari, yang bersebelahan dengan Kampung Rawagede.
Selang sekitar setengah jam, sebanyak 300 tentara Belanda yang dipimpin Mayor Alphons Wijnen mulai memasuki Kampung Rawagede untuk mencari Kapten Lukas.
Para warga yang tahu bahwa Kapten Lukas telah meninggalkan Rawagede memilih bungkam, kemudian memicu terjadinya pembantaian.
"Inilah yang menjadi salah satu penyebab pembantaian," tutur Sukarman.
Kapten Lukas sendiri tidak mengetahui terjadi pembantaian di tempat yang baru ditinggalkannya.
Di kemudian hari, berkali-kali ia memohon maaf kepada warga Rawagede karena telah memicu terjadinya pembantaian itu.
Namun warga Rawagede tidak menaruh dendam, kata Sukarman.
(*)
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik? Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik dihttps://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari