Advertorial
Intisari-Online. com- Invasi Timor Timur oleh Indonesia menjadi bagian dari sejarah Timor Leste.
Invasi yang dimulai pada Desember 1975 itu kemudian menjadikan Bumi Lorosae sebagai bagian wilayah Indonesia.
Barulah 24 tahun kemudian, Timor Leste lepas dari Indonesia dengan hasil referendum yang menunjukkan mayoritas rakyat Timor Leste menginginkan kemerdekaan.
Namun, digelarnya referendum pun terjadi setelah berbagai pertempuran berdarah terjadi di sana.
Selama 24 tahun, Timor Leste menjadi bagian wilayah Indonesia setelah invasi oleh tentara Indonesia dilakukan terhadap Bumi Lorosae.
Dalam masa-masa itu, rakyat Timor Leste pun berada di tengah perang yang mengerikan.
Sebuah kisah kelam dimiliki Bella Galhos, pemberontak Timor Leste yang berhasil lolos dari maut ketika kampung halamannya diinvasi Indonesia.
Bella Galhos memiliki kisah yang tak biasa. Ia rupanya berhasil selamat dengan menyusup sebagai tentara Indonesia.
Ia melarikan diri dari Timor Leste dan menyebarkan cerita tentang apa yang terjadi di kampung halamannya.
Galhos menganggap dirinya beruntung, ia mengungkapkan ada banyak orang Timor Leste yang tidak bisa berbicara tentang apa yang dialaminya.
Juli 1999, kepadaThe Japan Times, Bella Galhos mengungkapkan 'ucapan selamat tinggalnya' pada kehidupan berbahaya yang dijalaninya.
MelansirJapan Times,saat itu Bella Galhos mengemasi seragam korps pemuda militer Indonesia dan mengirimkannya ke pemerintah Indonesia dari Kanada.
Dia mengucapkan selamat tinggal pada kehidupan ganda yang berbahaya dan memulai perang salibnya untuk memberi tahu orang-orang tentang genosida yang telah sebagian besar telah tersembunyi dari pandangan dunia selama 24 tahun.
Sejak melarikan diri dari Timor Timur pada tahun 1994, Galhos telah berbicara kepada khalayak di Amerika Utara, Eropa dan Australia tentang kengerian yang diderita negaranya sejak diserang oleh Indonesia pada tahun 1975, ketika ia berusia tiga tahun.
Dia juga telah melobi pejabat di Amerika Serikat dan Kanada untuk mengakhiri keterlibatan pemerintah mereka dalam apa yang disebut sebagai genosida terburuk, per kapita, sejak Holocaust Eropa.
Sekitar 200.000 orang Timor - sepertiga dari populasi sebelum invasi - diduga telah meninggal akibat pendudukan ilegal Indonesia di bekas jajahan Portugis, yang dimulai kurang dari 24 jam setelah kunjungan kenegaraan resmi ke Jakarta oleh Presiden AS saat itu Gerald Ford dan sekretaris negaranya, Henry Kissinger.
“Saya menganggap diri saya salah satu yang beruntung. Ada ratusan ribu orang Timor Leste yang tidak dapat berbicara tentang apa yang mereka alami selama 24 tahun terakhir, ” kata Galhos dalam pidatonya di Yonago, Jepang.
MengutipJapan Times,dua adik laki-laki Galhos tidak seberuntung itu. Mereka berdua dibunuh saat masih anak-anak oleh tentara Indonesia.
“Alasan saudara laki-laki saya terbunuh adalah karena mereka menangis karena kelaparan,” katanya Galhps.
Galhos juga menceritakan, saat masih seorang siswa sekolah dasar berusia 10 tahun, suatu hari tentara muncul di sekolah dan menuntut agar semua siswa perempuan berbaris di luar gedung sekolah.
Mereka kemudian disuntik dengan Depo Provera untuk menyebabkan kemandulan. Para prajurit tidak berhenti sampai di sini.
“Mereka datang ke setiap rumah, setiap sekolah. Mereka mengantre semua wanita - bahkan wanita yang sudah menikah - dan mereka menyuruh kami memberikan tubuh kami ke Indonesia, ” kata Galhos.
Pada awal 1980-an, pemerintah Indonesia meluncurkan program “keluarga berencana” di Timor Lorosae.
Seperti yang diamati oleh pemenang Hadiah Nobel Perdamaian, Uskup Carlos Belo, "Dengan begitu banyak yang tewas, kami tidak memiliki masalah populasi di sini."
Pada tahun 1994, Uskup Belo melaporkan bahwa perempuan desa menjadi sasaran “program sterilisasi sistematis” di klinik desa yang berada di bawah pengawasan pos militer.
Pengalaman Galhos membawanya untuk mulai bekerja dengan perlawanan pada tahun 1989, ketika dia berusia 17 tahun.
Pada tahun 1991, ia menjadi anggota resmi gerakan kemerdekaan klandestin, dan sejak saat itu ia mendorong wanita lain untuk bergabung.
Pada November 1991, dia membantu mengorganisir demonstrasi damai untuk memprotes pembunuhan seorang pemuda Timor oleh Tentara Indonesia. Demonstrasi ini kemudian berujung pada peristiwa berdarah yang dikenal sebagai 'Pembantaian Santa Cruz'.
Setelah pembantaian tersebut, Galhos harus berpura-pura setia kepada pemerintah Indonesia.
Baca Juga: Dari Lima Suami Pandawa, Siapakah yang Paling Membuat Drupadi Menderita?
Untuk melindungi dirinya dan keluarganya, dia mendaftar ke korps pemuda militer Indonesia dan bertugas di dalamnya selama tiga tahun sambil terus aktif dalam perlawanan bawah tanah.
Setelah sebulan diinterogasi dan dilatih di kamp militer di Timor Leste, dia terpilih untuk mewakili pemerintah Indonesia dalam Program Pertukaran Pemuda Dunia Kanada.
Tapi Galhos yang saat itu berusia 22 tahun, membelot setelah tiba di Kanada pada Oktober 1994, memasukkan seragam korps mudanya ke dalam kotak dan mengirimkannya ke Kedutaan Besar Indonesia di Ottawa.
Saat berbicara kepada Japan Times Juli 1999, Galhos menjabat sebagai perwakilan resmi Dewan Nasional Perlawanan Timor, organisasi payung internasional untuk perlawanan Timor Timur.
(*)