Intisari-Online.com - Apa Anda pecinta mi ayam?
Jika ya, mungkin Anda harus mencoba yang satu ini.
Di Yogyakarta, warung mi ayam cukup mudah ditemukan dengan berbagai kekhasan rasa dan variasinya.
Salah satunya adalah warung makan Bakso Mi Ayam "Telolet" di Jalan Moses Gatotkaca, Mrican, Caturtunggal, Depok, Sleman.
Baca Juga: Weton Paling Sakti; Keistimewaan Pasaran Pahing, Wadah Cinta Kasih!
Selain namanya unik, yang berbeda adalah penjual mi ayam ini seorang perempuan asal Belanda, bernama Charlotte Peeters.
Selain memasak mi ayam, perempuan kelahiran Belanda ini juga mengantarkan pesanan ke pembelinya.
Ia pun sangat ramah dan murah senyum kepada siapa pun.
Selain itu, Charlotte Peeters juga mahir berbahasa Indonesia.
Charlotte Peeters menceritakan, dirinya dan suami Arya Andika Widyadana memang memiliki usaha di bidang pariwisata.
Namun, saat ini sepi karena pandemi Covid-19.
Selain memasak mi ayam, perempuan kelahiran Belanda ini juga mengantarkan pesanan ke pembelinya.
Ia pun sangat ramah dan murah senyum kepada siapa pun.
Selain itu, Charlotte Peeters juga mahir berbahasa Indonesia.
Charlotte Peeters menceritakan, dirinya dan suami Arya Andika Widyadana memang memiliki usaha di bidang pariwisata.
Namun, saat ini sepi karena pandemi Covid-19.
Diakuinya, meski suka dengan mi ayam, dirinya tidak begitu senang dengan mi ayam yang manis.
Baca Juga: Rahasia di Bawah Permukaan Gunung Padang Terkuak, Ada Bangunan hingga Jalan Batu
Sebab, rata-rata mi ayam di Yogyakarta yang pernah dinikmatinya cenderung memiliki rasa manis.
Oleh karenanya, Charlotte Peeters mencoba berkali-kali memasak mi ayam untuk menemukan resep yang khas.
"Belajar masak mi ayam, sampai sekarang masih belajar, sering ada merasa kurang di sini, masih ada revisi soal rasa."
"Jadi kami mi ayam lebih gurih, untuk input rasa Belanda itu enggak ada rasanya Indonesia sekali," ungkapnya.
Charlotte Peeters menyampaikan awalnya satu mangkok mi ayam diberi harga Rp 5.000. Kemudian, sekitar satu setengah bulan lalu dinaikkan menjadi Rp 7.000 per mangkok.
Harga satu mangkok mi ayam ini terhitung murah. Charlotte Peeters sengaja memasang harga murah agar terjangkau bagi masyarakat.
Terlebih lagi, di kala pandemi ini juga berdampak bagi perekonomian masyarakat.
"Kami sendiri merasakan dampak pandemi seperti apa, paling penting untuk kami harga murah, semua orang bisa datang untuk makan, tapi walaupun murah rasanya harus enak," jelasnya.
Harga itulah yang juga menjadi pertimbangan memilih membuka warung mi ayam dan bakso.
Sebab, jika memilih makanan lain belum tentu bisa memberi harga yang murah per mangkoknya.
Penamaan telolet ini, lanjutnya, datang dengan sendirinya.
Nama itu dipilih karena lucu dan mudah diingat oleh orang.
"Waktu kami buka memang cari nama, nah sempat kepikiran bikin nama mi ayam bakso Amsterdam atau apa tetapi kami berpikir otomatis ekspektasi orang harus ada rasa Belanda."
"Akhirnya enggak tau aja tiba-tiba kami dapat telolet dan kami berdua cocok dengan itu dan lucu aja," urainya.
Diakuinya, diterapkan Pembatasan Secara Terbatas Kegiatan Masyarakat (PSTKM) di Sleman menyebabkan penurunan pembeli.
Meski pembeli menurun, Charlotte Peeters dan suaminya tidak pernah menyerah.
Ia tetap terus menjalankan usahanya.
Hingga akhirnya, warung mi ayam baksonya menjadi viral di media sosial.
Sejak itu, pembeli di warungnya mulai naik kembali. "Saat ini minggu ini setiap hari Rp 700.000-Rp 800.000 omzetnya, tetapi sebelumnya anjlok, sehari hanya Rp 150 .000 karena memang ada pembatasan secara terbatas itu terasa langsung."
"Tetapi paling penting kita jangan sampai give up, lanjut terus," tegasnya.
Sebelum viral di media sosial, pembeli yang datang ke warungnya sering kali kaget.
Mereka kaget karena melihat yang memasak mi ayam dan mengantarkan seorang bule.
"Saat saya sendiri sedang masak kan tidak langsung keliatan, nah waktu keluar (mengantar makanan) reaksi pertama kaget."
"Tapi saya suka membuat mereka nyaman berbincang-bincang, sejak viral banyak orang datang sehingga tidak kaget lagi saat melihat mbak bule masak mi ayam," bebernya.
Charlotte Peeters masih mempunyai darah Indonesia. Neneknya merupakan warga negara Indonesia asal Sumatera.
"Jadi nenek saya Indonesia, kakek Belanda. Nenek saya dari Sumatera, dia lahir di Lampung, papa saya lahir di Sorong."
"Kurang lebih usia 10-12 tahun pertama kali ke Indonesia, kemudian 2003, 2006, waktu itu tidak setiap tahun, tapi beberapa kali," ucapnya. Sehingga, sejak kecil Charlotte Peeters sudah mengenal Indonesia.
Bahkan, baginya Indonesia menjadi rumah kedua baginya.
"Dari kecil sudah kenal dengan Indonesia, sudah merasa rumah kedua. Semakin tua malah rasa itu semakin kuat," ungkapnya.
Setelah itu, tahun 2009 Charlotte Peeters kembali datang ke Indonesia, tepatnya Yogyakarta.
Saat ini, Charlotte Peeters dan suaminya Arya Andika Widyadana dianugerahi dua anak, satu perempuan dan satu laki-laki.
"Saya masih warga negara Belanda, tapi saya boleh bilang saya punya KTP. Karena sudah punya visa KITAP saya boleh terima KTP," jelasnya.
Pada 2009, ia datang untuk belajar bahasa Indonesia. Sebab, ia akan bekerja di Indonesia.
"Awal mula di Indonesia, datang untuk kerja, tetapi sebelumnya harus belajar Bahasa Indonesia, nah ini mengapa datang ke Yogya. 2009 mulai menetap lalu menikah baru 13 Desember 2011," ujarnya.
(*)