Intisari-online.com - Saat ini sudah banyak vaksin Covid-19 yang dipakai untuk vaksinasi Covid-19.
Perusahaan farmasi banyak berperan dalam pembuatan vaksin ini, salah satunya adalah Sinovac Biotech, perusahaan farmasi asal China.
Meski begitu, perusahaan ini terbilang memiliki marketing yang bagus.
Melansir The Washington Post, Sinovac juga membuat vaksin Sars di tahun 2003 dan vaksin flu babi di tahun 2009.
Jika vaksin Sars hanya sampai tahap pengujian saja, vaksin flu babi rupanya sudah sampai konsumen.
Namun rupanya dari catatan pengadilan perusahaan itu terlibat dalam skandal tidak mengenakkan.
CEO dari Sinovac rupanya pernah menyuap badan pengawas obat China untuk perizinan vaksinnya saat itu.
Sinovac sekarang menjadi penyuplai vaksin virus Corona ke negara berkembang: Brasil, Turki dan Indonesia.
Transparansi yang lemah telah lama menjadi penyakit industri farmasi China, tapi jarang vendor obat tunggal dari suatu negara memiliki keandalan yang tinggi.
Sinovac adalah salah satu dari dua perusahaan farmasi China yang berlomba-lomba membuat vaksin.
Pengujian klinisnya sudah di tahap yang sama dengan Moderna dan Pfizer-BioNTech.
Secara lokal, vaksin buatan Sinovac berada di peringkat kedua, kalah dengan vaksin buatan perusahaan negara Sinopharm yang lebih luas digunakan China.
Vaksin China lain, dikembangkan oleh Cansino dan institut penelitian militer disetujui untuk penggunaan darurat oleh militer China.
Coronavac, vaksin dari Sinovac, mungkin akan berakhir diadopsi di sejumlah pasar negara berkembang.
Otoritas di Brasil dan Indonesia, yang mana termasuk dua negara dengan populasi paling tinggi di Amerika Latin dan Asia Tenggara sudah menyetujui penggunaan Coronavac.
Di Brazil, Gubernur Sao Paulo, Joao Doria telah menyebut Coronavac sebagai vaksin teraman yang telah diuji negara tersebut.
Namun sampai sekarang Sinovac belum juga merilis data efikasinya, membuat banyak yang meragukan keberhasilan vaksin tersebut dibandingkan Moderna dan Pfizer yang memiliki nilai efektivitas 90% dalam analisis awal.
Kemudian, mengingat kasus penyuapan yang dilakukan oleh CEO Sinovac, Sinovac mengakui kasus tersebut, mengatakan dalam persidangan jika CEO mereka bekerjasama dengan jaksa penuntut dan tidak dijatuhi hukuman apapun.
CEO mengatakan dalam kesaksiannya ia tidak bisa menolak permintaan uang dari pejabat pembuat peraturan.
Sampai sekarang Sinovac belum terlibat dalam skandal keamanan dan tidak ada bukti jika salah satu vaksin yang disetujui dalam kasus yang melibatkan penyuapan itu ternyata rusak.
Namun beberapa ahli medis mengatakan vaksin Sinovac harus diawasi dengan ekstra, mengingat catatan fleksibilitas moralnya.
"Fakta bahwa perusahaan itu memiliki sejarah kasus penyuapan menjadi bayangan keraguan yang panjang atas data efikasi vaksin yang sekarang mereka sediakan, ujar Arthur Caplan, direktur divisi etika medis di Langone Medical Center New York University (NYU).
"Bahkan dalam kondisi wabah, perusahaan dengan catatan moral meragukan harus diawasi ketat terkait klaimnya.
Namun kekhawatiran atas skandal Sinovac ini baru muncul di bulan-bulan belakangan ini, karena pemerintah juga mulai menerapkan risiko vaksin baru dari perusahaan seperti Sinovac melawan jumlah pasien yang senantiasa bertambah di tengah pandemi.
Sementara itu ulasan dari catatan publik dan kesaksian pengujiannya oleh The Washington Post tunjukkan jika Sinovac segera berhasil menguasai industri vaksin China dibantu proyek prioritas Beijing dan para pejabat yang ditugaskan membantu review aturan dan perdagangannya.
Sejumlah rincian dari kasus pengadilan belum dilaporkan sebelumnya, karena media China yang selalu tertutup.
Dalam kesaksian pengadilan di tahun 2016, pendiri dan kepala eksekutif Sinovac, Yin Weidong, mengakui memberikan lebih dari 83 ribu untuk penyuapan dari tahun 2002 sampai 2011 untuk pejabat pembuat peraturan agar meloloskan review vaksin mereka, yaitu kepada Yin Hongzhang dan istrinya.
Yin Hongzhang kemudian mengakui jika mengirimkan sertifikat vaksin Sinovac sebagai balasannya.
Saat itu terbilang periode terburuk Sinovac, yaitu saat perusahaan yang dibentuk tahun 2001 itu dipilih pejabat Beijing untuk memimpin pengembangan vaksin untuk Sars, flu burung dan flu babi.
Yin Hongzhang dihukum tahun 2017 berupa hukuman penjara 10 tahun untuk menerima suap Sinovac, sedangkan Yin Weidong tidak mendapat hukuman apapun dan melanjutkan pekerjaannya membuat vaksin virus Corona dimulai tahun 2020 kemarin.
Untuk Sinovac, kasus itu tidak hanya 1 saja, setidaknya ada 20 pejabat pemerintah dan administrasi RS di seluruh 5 provinsi mengakui di persidangan telah menerima suap dari pegawai Sinovac antara 2008 sampai 2016.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini