Intisari-Online.com -Rabu (13/1/2021) lalu, program vaksinasi Covid-19 di Indonesia telah dimulai.
Presiden Joko Widodo menjadi orang pertama yang disuntik vaksin Covid-19 produksi Sinovac.
Vaksin Sinovac telah mendapatkan izin penggunaan darurat atau emergency use authorization (EUA) dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Dengan izin penggunaan darurat ini, vaksin CoronaVac produksi Sinovac Life Science Co.Ltd.China dan PT Bio Farma (Persero) dapat digunakan untuk program vaksinasi di Indonesia.
Dalam pemberian izinnya, BPOM melakukan kajian hasil uji klinis tahap akhir pengujian vaksin, termasuk khasiat atau efikasi vaksin.
Kepala BPOM Penny K. Lukito mengungkapkan alasan penerbitan emergency use authorization (EUA) atau izin penggunaan darurat vaksin Covid-19 dari Sinovac meski uji klinis fase III belum selesai.
Dalam webinar Ikatan Alumni ITB, Sabtu (16/1/2021), Penny mengatakan, "Vaksin sudah diizinkan padahal uji klinik belum selesai, nah itu karena ada persetujuan, emergency use authorization. Itu bisa kita keluarkan di mana situasi darurat dan sudah ada deklarasai situasi darurat."
Ia menjelaskan, meski uji klinis fase III vaksin Sinovac belum rampung, namun vaksin Covid-19 buatan perusahaan farmasi asal China ini sudah memiliki bukti ilmiah yang cukup untuk digunakan.
Menurutnya, vaksin ini juga sudah memiliki mutu yang bisa dipertanggungjawabkan.
Penny menyatakan, dengan penerbitan EUA dan vaksinasi bisa segera dilakukan, itu merupakan langkah yang lebih baik karena manfaat yang didapat lebih besar, ketimbang risiko apabila tidak ada vaksinasi.
"Dan tentunya belum ada alternatif lain, sehingga itulah yang membuat izin penggunaan bisa diberikan walaupun dengan uji klinis itu sendiri masih dalam pemantauan sampai full report yaitu 6 bulan," jelas dia.
Di sisi lain, lanjutnya, vaksin Sinovac sendiri memiliki tingkat efikasi 65,3 persen.
Artinya sudah memenuhi standar internasional bahwa vaksin dapat digunakan dengan tingkat efikasi minimal 50 persen.
Hal itu berdasarkan hasil uji klinis yang telah dilakukan mulai dari fase 1, 2, hingga 3 yang masih dalam pemantauan sampai saat ini.
Penny bilang, dengan analis pemantauan 3 bulan dari fase uji klinis sudah bisa menunjukkan keamanan, imunogenitas, dan efikasi sebuah vaksin.
"Salah satu mendukung percepatan dalam uji klinis di masa pandemi, itu bisa dilakukan bertahap, artinya fase 1,2,3 itu enggak harus selesai dulu fase 1 selama 6 bulan baru bisa ke fase 2 dan 3. Uji Klinis bisa dilakukan ke tahap selanjutnya namun dengan pertimbangan bahwa fase sebelumnya sudah ada data setidaknya 3 bulan," paparnya.
Oleh sebab itu, dia menegaskan, dalam penerbitan EUA vaksin Covid-19 dari Sinovac oleh BPOM, tak ada tekanan dari pihak manapun untuk mempercepat keluarnya izin.
"Jadi indepedensi BPOM itu enggak bisa ditawar-tawar lagi dan itu sudah berhasil kami pertahankan sampai kami keluarkan EUA, jadi tidak ada lagi pertanyaan-pertanyaan terkait adanya tekanan-tekanan," pungkas Penny.
Beda vaksin Sinovac yang digunakan untuk uji klinis dan vaksinasi nasional
Dikonfirmasi terkait hal itu, Juru Bicara Vaksin Covid-19 dari PT Bio Farma Bambang Heriyanto menjelaskan, terdapat perbedaan dari sisi kemasannya.
Baca Juga: Di 'Akademi Kepuasan', Wanita Yahudi Konservatif Ini Ajarkan Hal Tabu
Bambang menjelaskan, vaksin Sinovac yang digunakan untuk uji klinis menggunakan prefilled syringe (PFS).
"Maksudnya, vaksin dan alat suntuk dikemas dalam satu wadah dosis tunggal," ujar Bambang saat dihubungi Kompas.com, Kamis (14/1/2021).
Sementara itu, vaksin yang akan digunakan untuk program vaksinasi tidak dengan PFS, melainkan dikemas dalam vial.
Baca Juga: Akhiri Penjajahan Belanda atas Indonesia, Ini Nama-nama Tokoh yang Wakili Indonesia dalam KMB