Intisari-online.com -Tinker, Tailor, Soldier, Spy.
Bagi penggemar film Hollywood, pastinya judul film tahun 2011 itu tidak asing lagi.
Disutradarai oleh Tomas Alfredson, film itu segera meraup keuntungan dengan menghadirkan ketegangan hidup seorang mata-mata di era Perang Dingin.
Film itu dibuat dari novel berjudul sama karangan John le Carre, penulis novel Inggris berusia 89 tahun.
Siapa sangka, cerita mengesankan itu dibuat dari perjalanan hidupnya, sehingga Tinker, Tailor, Soldier, Spy memang merupakan permainan spionase, dengan mata-mata sinis kapitalis memulai perjalanannya.
Bahkan, plot dalam cerita itu begitu mirip dengan kondisi saat ini sehingga banyak yang menganggap seharusnya untuk berjaga-jaga, novel ini dipelajari Amerika Serikat dan China.
Hal ini karena Tinker, Tailor, Soldier, Spy bercerita tentang mata-mata di era Perang Dingin.
Opini oleh Tom Plate yang terbit di South China Morning Post mengatakan bahwa satu-satunya yang diperlukan untuk menciptakan Perang Dingin baru hanyalah sejumlah manusia di kedua sisi menelah mitos superioritas eksklusif.
Artinya, jika China dan Amerika Serikat tidak terlalu berambisi untuk menjadi negara paling superior di dunia, semua akan baik-baik saja.
Namun, keduanya malah sama-sama berupaya saling menjatuhkan, membuat dunia tidak bisa bergerak maju.
Contoh dampak paling mengerikan dari ini adalah respon resmi kedua negara atas Covid-19.
Otoritas China harusnya mengatakan jika mereka telah membuang terlalu banyak waktu untuk menghadapi wabah itu sampai terlepas ke negara lain.
Sementara itu otoritas AS justru berpaling, alih-alih menghadapi kenyataan, saat akhirnya tahu apa yang mereka hadapi.
Pemerintahan di seluruh dunia berpacu dengan ketidakmampuan yang terus mengejar mereka.
Bahkan, Korea Selatan yang sempat menangani Covid-19 secara efektif, tidak sempat sombong sebentar karena pada akhirnya cacatnya sistem kesehatan mereka muncul dan mereka jatuh dalam parade infeksi dan kematian Covid-19.
Sekarang semua orang harus memberi orang lain jarak dan ruang yang cukup lebar, ibarat kata jika Anda ingin berolahraga maka Anda harus melakukannya sendiri atau setidaknya bersama rekan isolasi Anda saja.
Satu paradoks yang ada adalah semakin banyak kebiasaan yang berubah memberi kita semua waktu untuk berpikir, tapi keinginan untuk berpikir dan menelaah kejadian semakin berkurang.
Sosok pusat di novel karangan le Carre, Smiley, mempertanyakan dua negara adidaya yang bertarung di pra-1989 apakah sebenarnya dua negara yang serupa.
Seiring berjalannya waktu, pemikiran yang berupa keraguan malah bisa menciptakan ketidakpercayaan ideologi dari kedua belah pihak.
Menjadi yang paling kuat di antara yang terkuat mungkin sudah tidak relevan di saat ini, seharusnya China dan AS berpikir demikian.
Namun akan ironis jika Covid-19 justru menenangkan dua kepala adidaya, tentunya olok-olok "virus China" tidak akan masuk akal.
Kita tidak dapat hanya mengharapkan jika kedua negara mulai berniat saling memaafkan.
Semua kembali ke kita semua, yang pastinya lebih sadar jika pemerintah kita membuat kesalahan.
Hanya melalui pengamatan objektif yang setara baru pusat kemanusiaan bisa tercapai, dan menghindarkan umat manusia dari perang dingin lain.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini