Diwartakan dari The Diplomat, ada kekhawatiran jika fintech memiliki kaitan dengan jaringan teroris tertentu, menggunakan teknologi baru untuk memperluas kekuatan dan sumber mereka.
Tahun 2017, Bahrun Naim, milisi Indonesia yang berperang bersama para pemberontak ISIS di Timur Tengah, mengirim uang ke Indonesia untuk mendanai jaringan teroris di Jawa menggunakan PayPal dan Bitcoin.
Hal tersebut bahkan sudah terkonfirmasi oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Indonesia (PPATK).
Hal itu menunjukkan, kelompok teroris menemukan cara alternatif mendanai kegiatan mereka dan 'cari aman' dengan menghindari hukuman.
Sebuah penelitian yang dilakukan Parlemen Eropa untuk Departemen Kebijakan untuk Hak Warga dan Hubungan Konstitusional merincikan risiko pendanaan teroris yang berhubungan dengan pengenalan mata uang virtual.
Hasil penelitian itu menunjukkan, dari pendanaan tradisional saja masih bisa menimbulkan kekhawatiran, sedangkan mata uang virtual memberi kesempatan para 'pejuang soliter' untuk memiliki pasukannya sendiri dan bahkan membentuk jaringan teroris baru, lebih-lebih untuk anak muda yang sudah melek internet dan teknologi digital.
Contoh paling mudah adalah mata uang virtual bisa digunakan untuk memindahkan dana di antara anggota, menggalang dana untuk kampanye atau bepergian atau membeli senjata.
Mata uang virtual memiliki keunggulan yang dipilih teroris, pertama, ada unsur anonimitas.
Penulis | : | Maymunah Nasution |
Editor | : | Maymunah Nasution |
KOMENTAR