Advertorial
Intisari-online.com -Perusahaan e-commerce dengan status unicorn milik Indonesia, Bukalapak, beberapa bulan belakangan dikabarkan sedang bangkrut.
Dilansir dari Kompas.com (10/09/2019), Bukapalak dikabarkan melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) pada para karyawannya.
Chief of Strategy Officer of Bukalapak Teddy Oetomo mengungkapkan, Bukalapak perlu melakukan penataan diri untuk mengikuti dan memenuhi kebutuhan masyarakat yang kian maju.
"Bukalapak bertujuan untuk menjadi perusahaan yang terus tumbuh dan menciptakan dampak positif untuk Indonesia.
Baca Juga: Ini Dia Manfaat Buah Mangga Harum Manis, Salah Satunya Mencegah Kanker Tertentu
"Oleh karena itu, kami perlu melakukan penyelarasan secara internal untuk menerapkan strategi bisnis jangka panjang kami, melakukan penataan yang diperlukan, serta menentukan arah selanjutnya," kata Teddy dalam siaran pers, Selasa (10/09/2019) dilansir dari Kompas.com.
Teddy mengatakan, menjadi sustainable e-commerce alias perusahaan e-dagang yang menghasilkan keuntungan sangat penting bagi perusahaannya.
Teddy juga mengungkapkan jika Bukalapak ingin menjadi e-commerce unicorn pertama yang meraih keuntungan.
"Kami ingin menjadi e-commerce unicorn pertama yang meraih keuntungan, dan dengan pencapaian performa bisnis yang baik dan modal yang cukup, kami menargetkan untuk dapat mencapai breakeven bahkan keuntungan dalam waktu dekat," jelas dia. (Fika Nurul Ulya)
Namun, hal tersebut masih tergolong sulit bagi Rianto Astono, seorang internet marketer yang telah berkecipung di dunia tersebut sejak tahun 2004.
Terlebih, dengan posisi Bukalapak yang masih harus bersaing memperebutkan valuasi dengan Tokopedia, Lazada, dan Shopee.
Dia telah membahas dengan lengkap dalam video YouTubenya yang berjudul: Sayonara Bukalapak: Babak Pembunuhan Telah Dimulai - Dibalik Konsep Bakar Uang ala Startup Unicorn yang diunggah pada 11/12/2019.
Penulis buku "The Book of SEO" tersebut menyatakan memang kenyataannya, valuasi atau nilai ekonomi dari Bukalapak sudah sebesar 2,5 miliar Dolar Amerika atau setara dengan Rp 35 Triliun.
Baca Juga: Ini Cara Mengobati Sariawan di Lidah, Salah Satunya dengan Ekstrak Biji Anggur
Namun, valuasi sebesar itu belum memberi keuntungan sepeser pun bagi Bukalapak.
Bahkan, kerugiannya terjadi berturut-turut dalam 10 tahun terakhir ini.
Kondisi ini pun sama terjadi pada semua e-commerce lain seperti saudaranya, Tokopedia, atau pesaing dari luar negeri, Shopee.
Mengapa demikian?
Hal ini dikarenakan model bisnis zaman sekarang mengedepankan valuasi dibandingkan profit, dan disebut dengan fenomena 'bakar uang'.
Disebutkan oleh Rianto, ajang bakar uang telah terjadi hampir selama 1 dekade terakhir terkhusus dalam ranah marketplace saja.
Pengejaran valuasi sudah semakin jauh, sehingga semua perusahaan startup tersebut kenyataannya masih merugi.
Lalu ke mana saja uang valuasi yang sedemikian banyak tersebut lari?
Uang-uang tersebut digunakan untuk memberikan cashback, bonus driver, gratis biaya kirim, serta kenikmatan yang didapatkan pengguna saat menggunakan layanan mereka.
Lalu kapan akhirnya mereka mendapatkan profit?
Jawabannya jelas, saat perang valuasi dan 'pembesaran nama' menghasilkan satu atau dua pemenang yang paling kuat bertahan.
Artinya, saat muncul satu perusahaan yang mulai memonopoli atau menjadi kartel bisnis dalam bidangnya, maka perusahaan tersebut baru akan mendapat profit.
Baca Juga: Ini Gejala HIV pada Ibu Hamil, Salah Satunya Pembengkakan Kelenjar Getah Bening
Contohnya adalah perusahaan Google, Facebook (yang kini sudah membeli Instagram dan Whatsapp), YouTube, Amazon dan Microsoft.
Contoh kartel yang lain adalah mahalnya harga tiket pesawat beberapa waktu yang lalu.
Hal ini disebabkan karena hanya ada 2 perusahaan yang menguasai pasar: Garuda Indonesia dan Lion Group.
Sayangnya, bagi Bukalapak, posisinya dalam persaingan e-commerce di Indonesia masih kurang bagus.
Dilansir dari data iPrice, Bukalapak hanya berhasil menduduki posisi ketiga, dan masih kalah dengan Tokopedia yang bertengger di nomor 1 dan Shopee yang berada di nomor 2.
Oleh sebab itu, bagi Rianto rencana Bukalapak mencari profit sesegera mungkin mulai tidak masuk akal.
Sebab, dengan begitu yang dapat mereka lakukan adalah menghapus cashback, gratis biaya kirim dan segala macam promosi.
Tentunya, konsumen akan segera beralih ke e-commerce lain yang masih menyediakan kenikmatan yang telah hilang dari Bukalapak tersebut.
Kapitalisme memang memiliki sisi gelap yang besar tetapi jarang dibicarakan orang: monopoli dan kartel.
Oleh sebab itu, bagi Anda yang berniat untuk membuka perusahaan rintisan, perlu dipikirkan bisnis model yang berorientasi pada profit, bukan hanya pada valuasi.
Perlu juga bagi Rianto, adanya pivot bagi model yang memberikan keuntungan.
Terakhir, jangan semata-mata mengikuti apa yang saat ini sedang trend, karena trend tidak akan bertahan lama.
Sebagian dari artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Bukalapak Dikabarkan PHK Karyawan, Ada Apa?"