Advertorial
Intisari-Online.com - Jika sebagian orangcenderung memberi keleluasaan kepada anak untuk memegang gadget, rupanya tidak begitu dengan para pekerja hingga eksekutif kelas atas di Silicon Valley.
Para pekerja di kawasan teknologi informasi dunia itu malah membatasi anak-anak mereka terhadap pemakaian teknologi karena melihat potensi dampak negatif yang mengintai.
Rasanya hampir sulit dipercaya, para pekerjadi Silicon Valley yang sehari-hari bergelut denganteknologi justru melah membatasi anak-anak mereka untuk akrab dengan teknologi.
Akan tetapi memang begitulah keadaan sesungguhnya.
Alih-alih memanjakan anak dengan ponsel pintar rilisan terbaru kantornya atau tablet teranyar besutan perusahaan tetangga,mereka malah amat membatasi waktu penggunaan ponsel, televisi, hingga komputer di rumah.
Padahal, Silicon Valley dikenal sebagai kiblat teknologi dunia.
Nama julukan untuk area selatan kota San Fransisco Bay Area, California, Amerika Serikat ini ibarat sarang penetas bagi produk-produk teknologi terkini.
Google, Facebook, Twitter, Netflix, Apple, Intel, Adobe, hingga Hewlett-Packard (HP) adalah merek-merek ternama yang besar di sana.
Sensus 2013 di AS mencatat, setiap 1.000 pekerja swasta di Silicon Valley, terdapat 286 pekerja teknologi informasi.
Kualifikasi mereka juga bukan main-main. Rata-rata gaji mereka merupakan yang tertinggi yaitu AS$144,8 ribu per tahun, jauh dibandingkan dengan area metropolitan AS lainnya yang hanya AS$50 ribu per tahun.
Akan tetapi, para pekerja plus orangtua Silicon Valley yang hidup makmur dari membuat produk teknologi ini rupanya justru siaga dengan dampak negatif ponsel pintar, tablet, dan komputer.
Mereka yang membuat mengembangkan, tapi justru tidak mau terkena dampaknya.
Kecenderungan para pekerja ini terbaca dari survei oleh Silicon Valley Community Foundation pada 2017 lalu.
Dari 907 keluarga yang disurvei, ditemukan kekhawatiran orangtua yang mengkhawatirkan dampak teknologi pada perkembangan psikologi dan sosial anak.
Salah satu dari orangtua itu, Kim Taewoo.
Dalam laman Business Insider, insinyur kepala bidang kecerdasan buatan startup (perusahaan perintis) One Smart Lab ini mengatakan, gawai seperti ponsel pintar, tablet, dan komputer, membuat rentang perhatian kita membaca atau menyerap satu topik semakin pendek.
Penyebabnya, menurut Kim, karena kita jadi mudah teralihkan dengan munculnya notifikasi pesan terbaru dari aplikasi pesan instan, update dari aplikasi permainan episode terbaru drama favorit dari layanan nonton daring, serta tentu saja, dari media sosial.
Untuk menghindari dampak ini, Kim yang kebetulan penganut Buddha mengajari keponakan-keponakannya berusia 4-11 tahun untuk bermeditasi, bermain puzzle, dan permainan-permainan lain tanpa gawai.
Setiap tahun, ia juga mengajak mereka ke retret sunyi bebas teknologi di wihara di sekitar rumahnya.
Upaya meminimalisasi penggunaan teknologi bagi anak juga diupayakan Minni Shahi dan Vijay Koduri (44).
Padahal, jika melihat sekilas latar belakang keduanya, pasangan suami-istri ini memenuhi pandangan klasik akan keluarga “ideal” Silicon Valley.
Shahi, sang istri, bekerja di kantor pusat Apple di Cupertino, sedangkan Koduri, mantan karyawan Google yang kini tengah menggarap HashCut, perusahaan perintisnya sendiri.
Meski bekerja di Apple, Shahi tidak memperkenankan kedua anaknya, Saurav (10) dan Roshni (12) memainkan iPad 2 yang dibelinya beberapa tahun lalu.
Sang anak hanya dibolehkan bermain ponsel milik orangtuanya, tapi hanya 10 menit setiap minggu.
Namun pasangan ini menyediakan beragam permainan meja seperti ular tangga, kartu, dan catur, tanpa batasan waktu.
Shahi dan Koduri tahu, sang anak pada akhirnya akan butuh ponsel sendiri.
Tapi, keduanya berusaha menunda momen tersebut terjadi selama mungkin.
Mengapa demikian?
Karena setelah bekerja dan hidup di Silicon Valley bertahun-tahun, keduanya melihat sendiri bagaimana rekan-rekan mereka berupaya keras untuk membuat produk teknologi yang menarik untuk dipakai berlama-lama oleh penggunanya.
Jadi, dijamin para penggunanya pasti sulit lepas dari gawai.
Bill Gates dan Steve Jobs pun begitu
Tren membatasi hingga melarang anak berakrab-ria dengan teknologi yang dilakukan Kim, Shahi, dan Koduri, lebih dikenal sebagai low tech parenting.
Pola asuh anak semacam ini rupanya lebih dulu dipraktikkan tokoh-tokoh kenamaan teknologi. Contohnya, Bill Gates (62).
Di balik kesuksesannya mendesain pelbagai produk teknologi, pendiri Microsoft ini punya aturan ketat soal pemakaian gawai kepada anak-anaknya.
Anak-anak Gates (kini berusia 16, 19, dan 22) dilarang memakai ponsel hingga berumur 14 tahun.
Setelah mendapat ponsel pertama, mereka masih tidak diperbolehkan memakainya di meja makan dan dilarang memainkannya menjelang waktu tidur.
Tentu saja Gates kenyang diprotes anak-anaknya sebelum mereka mendapat ponsel.
Pasalnya, rata-rata anak Amerika mendapat ponsel pertamanya di usia 10 tahun.
Namun, Gates bergeming hingga masing-masing menyentuh usia batas yang disyaratkannya.
Mengingat Microsoft adalah pembuat Windows Phone, Surface Tablet, dan Surface Book, yang didesain ramah bagi kepentingan pengguna usia sekolah, mungkin larangan Gates pada anaknya terkesan agak janggal.
Di laman Mirror, ia beralasan, “Kita dapat melihat bagaimana teknologi dapat digunakan untuk kepentingan yang baik—entah untuk membuat PR atau berkomunikasi dengan teman-teman—dan kapan sudah berlebihan.”
Situasi yang mirip dijumpai di rumah Steve Jobs, pendiri Apple.
Walter Isaacson, penulis buku biografi Steve Jobs, sempat menginap beberapa bulan di rumah Jobs untuk menuliskan kesehariannya.
Setiap Jobs ada di rumah, Isaacsoon melihat bapak tiga anak itu mendiskusikan buku, sejarah, dan hal lain di meja dapur bersama anak-anaknya.
Tidak ada yang mengeluarkan iPad atau gawai lain.
Baca Juga: Hati-hati, 'Gadget' Terbukti Bisa Picu Kerusakan Saraf, Kenali Gejalanya!
Setelah iPad dirilis, Jobs juga pernah diwawancara Nick Bilton, wartawan New York Times.
Saat itu, Bilton menanyakan soal reaksi anak-anak Jobs memakai iPad teranyar dari perusahaan sang ayah.
Ketimbang mempromosikan bagaimana iPad disukai anaknya, Jobs malah mengaku sang anak belum memakai tablet buatan Apple tersebut.
“Kami membatasi seberapa banyak teknologi digunakan anak kami di rumah,” kata Jobs.
Pola asuh anak dengan pembatasan teknologi oleh para perancang produk teknologi kenamaan dunia ini tentu membuat kita bertanya, apa sih sebetulnya yang diketahui mereka tentang produknya—yang tidak diketahui masyarakat awam?
Sisi lain Google dan Twitter
Sementara itu, Tristan Harris membuka sisi lain Google di acara bincang-bincang Ted Talks.
CEO Apture, anak usaha Google dan mantan ahli etika desain Google ini mengungkapkan, teknologi memang rentan dibuat untuk memanipulasi kerapuhan psikologi kita.
Padahal, manusia sering berfokus pada sisi positif saja akan pengaruh teknologi pada kemudahan hidup kita.
Salah satu hal yang dimanfaatkan pengembang aplikasi ponsel pintar dan situsweb menurut Tristan adalah fear of missing something something important (FOMSI).
Perasaan inilah yang akan timbul tatkala kita ragu untuk tidak berlangganan.
Misal, tidak menekan tombol “subscribe”, “follow”, dan semacamnya; hanya karena takut ketinggalan info terbaru.
Situasi inilah yang mengalihkan perhatian kita setiap hari untuk sekadar mengecek notifikasi di ponsel.
Sementara itu, Loren Brichter (33) juga mengakui sisi negatif teknologi buatannya.
Perempuan asal New York serta desainer Twitter inilah mekanisme pull to refresh tweet (tarik layar untuk melihat cuitanterbaru).
Mekanisme ini kini digunakan luas di ponsel pintar kita, baik untuk melihat postingan terbaru di media sosial maupun melihat hasil unduhan di folder Galeri atau Download.
Dengan mekanisme tersebut, orang tidak sadar menghabiskan waktu membaca postingan terbaru yang sebenarnya tidak masalah jika dilewatkan.
Risiko adiksi tersembunyi di balik teknologi inilah yang setidaknya perlu disadari pengguna, sebelum membatasi diri untuk berpandai-pandai menggunakan ponsel pintar.
Baca Juga: Mengungkap Tabir Bagaimana Bisnis Prostitusi Online Berjalan, Salah Satunya Menggunakan Twitter
Di balik teknologi ramah pengguna
Beberapa bulan terakhir, sederet tokoh di industri teknologi mengakui dampak teknologi pada masyarakat dan pikiran manusia di depan publik.
Sean Parker (38), mantan presiden pertama Facebook, menyebut jejaring sosial sebenarnya mengeksploitasi sisi rapuh manusia.
Dalam pembuatan Facebook misalnya, ia dan timnya berpikir bagaimana caranya aplikasi yang mereka buat dapat menarik perhatian hingga betah menghabiskan waktu selama mungkin dengannya.
Untuk mendapatkannya, Facebook bermain dengan dopamin, zat kimia otak yang mengatur motivasi kita meraih apapun demi kesenangan.
Berdasarkan cara kerja zat kimia itulah tombol “like” dan “comment” diciptakan, karena rasa diperhatikan membuat kita akan makin termotivasi untuk mengepos foto baru, status baru, atau sekadar musik yang baru kita dengarkan.
Kita pun jadi termotivasi untuk berkomentar dan saling memberi like demi “dianggap ada” dan punya kekuatan di dunia maya.
“Para kreator (media sosial) seperti saya, Mark Zuckerberg, Kevin Systrom dari Instagram, sadar hal ini, tapi kami tetap melakukannya, karena dahulu merasa orang dapat mengendalikan penggunaannya,” ujar Parker dalam wawancara dengan Axios.
Pencipta tombol “like” di Facebook, Justin Rosenstein (36), pun mengakui soal ini.
Ia sadar, daya pikat tombol “likes” tidak lain adalah kesenangan palsu yang menggiurkan.
Pada November 2017, ko-kreator Asana ini juga menutup akun-akun sosial medianya.
Ia juga mengoprek sistem operasi laptopnya agar tidak bisa mengakses platform komunitas Reddit yang menurutnya adiktif.
Rosenstein bahkan meminta asistennya untuk mengatur fitur kontrol orangtua di iPhone barunya agar dirinya tidak bisa mengunduh aplikasi baru selain bawaan ponselnya.
Menurut dia, aplikasi membatasi kemampuan manusia untuk fokus.
“Semua orang jadi gampang terdistraksi. Setiap waktu,” ujar Rosenstein dalam laman The Independent.
Jika orang dewasa sepertinya saja butuh asisten untuk mengontrol penggunaan gawainya sehari-hari, tidak heran anak-anak perlu dibimbing orangtua agar terhindar dari adiksi pada gawai.
Lalu bagaimana dengan Anda sendiri? Seberapa dalam Anda sudah terjebak di dalamnya?
Artikel ini telah terbit di Majalah Intisari dengan Judul "Menepis Candu dari Gawaimu."