Advertorial
Intisari-Online.Com -Wanita dan anak-anak yang hidup pada zaman sekarang bisa dikatakan lebih beruntung.
Saat ini, wanita dan anak-anak bisa hidup dengan aman dan nyaman.
Jika mengalami suatu tindak kekerasan atau pelecehan ada banyak badan yang bergerak dan bersedia melindungi perempuan dan anak-anak.
Lebih jauh lagi, bisa dibilang saat ini wanita dan anak-anak hidup dengan aman karena para pria yang menghargai mereka.
Baca Juga: Lehi, Kelompok yang Ingin Dirikan 'Kerajaan Ibrani dari Sungai Efrat-Nil' Sebelum Israel Berdiri
Jika kembali pada masa lalu, wanita dan anak-anak sepertinya tak memiliki 'nilai' dalam hidup, tak dianggap sebagai manusia.
Dilansir dari History Daily, kembali di Eropa awal hingga pertengahan 1800-an, perempuan dan anak-anak dianggap properti.
Pria yang tidak lagi bahagia dengan istri atau jatuh dalam masa sulit dapat dengan mudah membawa pasangannya ke pasar dan menjualnya.
Praktik itu tidak benar-benar legal, tetapi sangat umum di kalangan orang miskin sehingga penegak hukum menutup mata.
Baca Juga: Ternyata Ritual Mudik Sudah Dilakukan Sejak Zaman Kerajaan Majapahit
Penjualan istri adalah alternatif yang lebih mudah dan lebih murah daripada perceraian tradisional.
Perceraian membutuhkan Undang-Undang Parlemen dan izin dari sebuah gereja dan biaya ini setara dengan 15.000 dolar (Rp 212 juta) dalam mata uang hari ini.
Karena rata-rata laki-laki kelas pekerja tidak mampu membayar harga seperti itu, ia hanya akan memindahkan "kepemilikan" istrinya ke penawar tertinggi dalam pelelangan umum, seperti halnya seseorang menjual ternak.
Wanita yang ingin meninggalkan pernikahan yang tidak bahagia atau mengalami tindak kekerasan juga bisa meminta untuk dijual dan biasanya keputusan itu adalah miliknya.
Jika dia tidak suka pada pembeli, dia bisa menolak.
Paling sering, suami dan istri menyetujui ketentuan penjualan beberapa minggu sebelum penjualan publik terjadi.
Sementara kita mungkin berpikir penjualan istri gila dan ofensif hari ini, namun saat itu pernikahan adalah perjanjian ekonomi, bukan ekspresi cinta.
Sebelum UU Perkawinan 1753, pernikahan bahkan tidak memerlukan upacara - itu hanya sebuah perjanjian.
Suami dan istri akan secara resmi dianggap sebagai 'satu orang' yang sah, dengan lelakimempersatukanhak-hak perempuan.
Sementara praktik penjualan istri telah cukupmengalami penurunan sejak penerapan pengadilan perceraian modern, sayangnya ini masih terjadi hari ini di beberapa bagian dunia.
Misalnya tak lama sebelum ini, pada 2009petani miskin yang tinggal di bagian-bagian tertentu pedesaan India dipaksa untuk menjual istri mereka untuk melunasi si pemberi pinjaman.