Advertorial
Intisari-online.com - Raja properti yang juga pengusaha papan atas Indonesia, Ir Ciputra telah meninggal dunia di Singapura.
Berita duka ini telah disampaikan oleh pihak keluarga kepada sejumlah media massa. Berita duka keluarga Ciputra, Chairman dan Founder Ciputra Group.
Dalam pesan singkat yang tiba di redaksi Kontan, Ciputra meninggal dunia di Singapura pada pukul 27 November 2019 pukul 01.05 waktu setempat.
"Telah meninggal dunia dengan tenang, Bapak Ir Ciputra, Chairman dan Founder Ciputra Group di Singapore pada tanggal 27 November 2019 pukul 01.05 waktu Singapore. Kami keluarga besar Ciputra Group mengucapkan turut berduka yang mendalam dan mendoakan semoga keluarga yang ditinggalkan diberikan ketabahan dan kekuatan menghadapi kedukaan ini," demikian pesan singkat dari Rina Ciputra Sastrawinata yang merupakan anak pertama Ciputra.
Krisis moneter yang menerpa Indonesia 20 tahun silam memberi kesan mendalam bagi banyak pihak, terutama para konglomerat yang kehidupannya sempat berubah drastis akibat badai ekonomi 1997-1998.
Kondisi pertumbuhan ekonomi yang lunglai hingga minus 13 persen dan depresiasi rupiah sebesar 614,8 persen dalam satu tahun tentu sulit terlupakan. Momentum itu menjadi benang merah bagi perjalanan karier bisnis para hartawan yang menikmati cuan dari bisnis era Orde Baru hingga reformasi bergulir.
Bagi pengusaha senior Ciputra, era Orde Baru merupakan masa kejayaan bisnisnya, di mana tiga lini bisnis raksasanya berkembang pesat, yakni Jaya Group, Metropolitan Group, dan Ciputra Group.
Namun, seperti dilansari dari CNNIndonesia.com, Ciputra bercerita bisnis yang ia bangun seketika dihadapkan pada ujian ketika krisis moneter berlangsung. Ia menggambarkan fase krisis tersebut menjadi pukulan terberat yang dipikul selama meniti karier sebagai pengusaha.
Baca Juga: Berita Baik untuk Penderita Diabetes, Menurut WHO Makanan Ini Paling Baik Buat Dikonsumsi
Pria yang memiliki nama asli Tjie Tjin Hoan ini mengaku bisa merasakan firasat bahwa masalah finansial Thailand pada pertengahan 1997 berpotensi menyeret Indonesia dalam pusaran krisis.
Namun, kala itu Ciputra belum terlalu khawatir karena proyek-proyek yang dimilikinya tengah disambut hangat oleh pasar. Dalam buku berjudul 'Ciputra: The Entrepreneur-The Passion of My Life' terungkap dirinya percaya diri karena tak mungkin terpuruk dengan hadirnya bisnis perbankan yang dimilikinya.
"Kami tidak mungkin tidak bisa membayar utang. Kala itu kami juga sudah memiliki bisnis perbankan, Bank Jaya, Bank Ciputra, dan perusahaan asuransi bernama Ciputra Allstate. Tiga perusahaan yang kami yakini akan berkembang baik," imbuh Ciputra.
Namun, firasat berubah jadi kasatmata, gangguan terhadap bisnis dimulai ketika nilai tukar rupiah terjungkal dari Rp2.000 per dolar AS menjadi lebih dari Rp17.000 per dolar AS.
Baca Juga: Jangan Salah, Ada Bedanya Influenza dan Batuk-Pilek ‘Biasa’, Bahkan Bisa Sebabkan Kematian
Kondisi itu membuat Ciputra cemas karena sebagian utang perusahaan dalam bentuk dolar AS, tak tanggung-tanggung mencapai US$100 juta. Otomatis nominal utang menggelembung jadi hampir lima kali lipat.
Di sisi lain, semua pendapatan lini bisnis Ciputra dalam bentuk rupiah, sehingga tak mampu menutupi pembengkakan utang.
Hal paling menyedihkan, lanjut dia, dua bank dan satu perusahaan asuransi yang dimilikinya harus ditutup pemerintah. Utang grup bisnis yang tadinya bisa dibayar sekitar Rp245 miiar tiba-tiba melambung jadi Rp1 triliun.
Situasi semakin buruk ketika terjadi gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di Indonesia, disertai penurunan daya beli masyarakat. Dampaknya, situasi pasar properti menjadi tidak kondusif sehingga mengakibatkan nilai pemasaran penjualan (sales marketing) merosot drastis.
Keterpurukan Ciputra tak berhenti, manajemen tak bisa lagi membendung kemarahan pemasok material, mandor, dan seluruh pihak yang menuntut pembayaran bahan baku properti sesegera mungkin. Seluruh lini usaha propertinya hanya tinggal menghitung hari menuju kebangkrutan.
Tak berselang lama, ia memanggil jajaran direksi Ciputra Group untuk mengumumkan kondisi perusahaan yang tengah sekarat. Ia mengaku tak akan menghalangi langkah direksi jika ingin mangkat dari perusahaan.
Namun, hatinya sedikit semringah saat mengetahui sebagian besar direksi tak meninggalkan bisnis yang dibangun selama berpuluh-puluh tahun itu. Hanya ada segelintir orang saja yang keluar, itu pun lantaran kesadaran tidak ingin membebani perusahaan lebih jauh lagi.
"Saya, Ciputra, di tahun 1998, menangis bersama detik yang berjalan. Di kamar tidur, di meja makan, bahkan pada saat mandi dengan air shower yang menyiram tubuh, air mata saya pun berlinangan. Kami jelas akan kehilangan banyak hal. Tapi yang pasti, kami tidak akan mengubur diri," ungkap beberapa waktu lalu.
Ia sadar, tak ada waktu untuk membenamkan diri dalam nestapa. Segera, ia langsung meluncurkan aksi penyelamatan.
"Ujian ini sempat membuat saya goyah dan jatuh. Namun, saya tidak patah semangat dan bekerja lebih keras. Syukur kepada Tuhan, saya mampu melewati segala ujian dan tantangan tersebut," tuturnya.
Saat krisis 1998 terjadi, ada satu peristiwa menarik yang merekat dalam ingatannya hingga saat ini. Dia bercerita, aset perusahaan berupa lahan menjadi terbengkalai karena proyek tidak berjalan baik
"Saya juga masih fokus untuk mencari jalan keluar dalam menghadapi persoalan bisnis. Beberapa karyawan saat itu berinisiatif agar bagaimana bisa tetap produktif," ungkapnya.
Baca Juga: Saat Bayi Ini 'Menempel' dan Tidak Mau Lepas dari Ibunya, Suasana Kelahiran Berubah Haru
Para karyawan kemudian bercocok tanam di lahan-lahan kosong. Banyak tanaman produktif yang dihasilkan, antara lain sayur-mayur, jagung, ubi, ketela, buah-buahan, dan lain-lain. Meskipun hasilnya tidak sebesar ketika menjual produk properti, namun uang hasil bercocok tanam itu digunakan untuk membantu biaya operasional perusahaan.
Dalam situasi yang sulit dan penuh tantangan tersebut, Ciputra, keluarga, dan karyawannya berpikir keras untuk bangkit dari keterpurukan. Di sisi lain, pihaknya juga dituntut untuk mampu menjaga level kepercayaan terhadap semua aspek bisnis, mulai dari konsumen, bank, maupun pemerintah.
"Saya berusaha membuat pikiran tetap fokus mencari jalan keluar dari masalah tersebut. Saya tekankan waktu itu mengenai prinsip 'Janji adalah utang, dan utang harus dilunasi'," tegas dia.
Maka itu, negosiasi terus dilakukan terhadap para kreditur hingga akhirnya membuahkan hasil, dan semua utang direstrukturisasi.
"Kami bolak-balik Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dan melakukan pertemuan dengan pejabat-pejabat terkait agar persoalan yang membelit kami bisa dihilangkan," kata Ciputra.
Usaha para direksi akhirnya berbuah hasil. Ciputra juga mengapresiasi kepiawaian direksi Metropolitan Group dalam membayar utang dengan kavling tanah. Meski kehilangan banyak, setidaknya Ciputra tak kehilangan reputasi.
Saat itu, Ciputra harus melepas kepemilikan saham di beberapa proyek strategis, seperti Bumi Serpong Damai dan Pantai Indah Kapuk.
"Bagi kami, lebih baik kehilangan proyek daripada kehilangan kepercayaan dari bank, nasabah, masyarakat, serta karyawan," imbuhnya. (Bayu Dwi Mardana Kusuma/Fotokita)
Artikel ini pernah tayang di Fotokita dengan judul Ciputra Meninggal Dunia, Inilah Sosok Raja Properti yang Pernah Minta Karyawannya Lakukan Hal Ini Sewaktu Perusahaannya Nyaris Bangkrut Gara-gara Diterjang Krisis Moneter