Advertorial
Intisari-online.com -Ambisi China untuk menguasai Laut China Selatan sudah semakin besar.
Tiongkok sudah sejak lama mengklaim jika perairan internasional tersebut merupakan zona ekonomi milik mereka.
Klaim tersebut bertentangan dengan hukum Konvensi Undang-undang Laut oleh PBB atau UNCLOS.
UNCLOS menjadi satu-satunya tumpuan dan panduan yang menentukan karakter dan status zona maritim masing-masing negara.
Selain itu UNCLOS juga menjadi panduan peran dan tanggung jawab oleh negara pemilik zona maritim yang bersangkutan.
Sejak 1994, UNCLOS juga menjadi mekanisme untuk penyelesaian sengketa maritim.
Lantas mengapa UNCLOS tidak dapat menyelesaikan sengketa Laut China Selatan?
Hal ini karena berkaitan dengan sifat UNCLOS itu sendiri.
UNCLOS didasarkan dari fitur kondisi geografis lautan dan menerapkan pendekatan ilmiah untuk melestarikan warisan budaya kemanusiaan.
Artinya, UNCLOS lebih mengedepankan pendekatan ilmiah dan teknologi untuk menyelesaikan berbagai sengketa.
Sementara itu, sengketa Laut China Selatan sejauh ini belum pernah diselesaikan lewat dua cara itu.
Bahkan, Laut China Selatan sering kali dikaitkan dengan dampak politik dan militer masing-masing negara yang berkepentingan.
Disebutkan oleh analisis yang dipublikasi di National Interest, ada beberapa kesulitan signifikan dalam mengaplikasikan UNCLOS di sengketa Laut China Selatan.
Pertama, China mengklaim hak sejarah yang sudah berlangsung lama, tapi satu-satunya bukti Beijing memiliki peta laut tersebut hanyalah sebuah peta yang dibuat pada tahun 1945.
Kedua, ketidaksetujuan selalu ada dalam menyebutkan zona legal UNCLOS.
Hal ini karena Laut China Selatan memiliki keadaan geografis yang cukup rumit, sebagian dari perairan itu merupakan wilayah tertutup.
Faktanya, peraturan legal yang dibuat di bawah nama UNCLOS belum pernah dipakai oleh pihak-pihak yang merasa keberatan atas klaim negara lain.
Termasuk dalam hal ini yaitu arbitrasi tahun 2016 antara Filipina dan China.
Ketiga, survei ilmiah terpercaya mengenai aktivitas maritim selalu mendapat kendala karena terbentur dengan operasi angkatan laut.
Keempat, eksplorasi sumber daya lepas pantai dan eksploitasinya telah melawan negara pemilik dengan klaim yang tumpang tindih, terutama tempat di mana perusahaan komersial dari pihak ketiga terlibat.
Harapan selanjutnya adalah perkembangan inovatif dalam teknologi angkatan laut yang akan membentuk tujuan komprehensif mengenai situasi ilmiah yang objektif dan bisa diterima banyak pihak.
Jika zona maritim UNCLOS bisa ditentukan dengan tegas, hal ini seharusnya bisa memfasilitasi solusi terbaik atas sengketa yang terjadi.
Sampai saat ini, sayangnya keadaan ilmu pengetahuan angkatan laut dan teknologinya masih belum mencukupi kondisi yang diharapkan.
Juga sejauh ini tidak ada diskusi bagaimana mencapai ilmu pengetahuan dan teknologi canggih untuk mendeteksi kondisi laut tempat latihan-latihan militer tersebut diadakan.
Padahal hal tersebut merupakan hal-hal yang diperlukan oleh UNCLOS untuk menyelesaikan berbagai sengketa wilayah maritim.
Perkembangan inovasi dalam teknologi juga berkaitan dengan tantangan perubahan ilim.
Hal ini karena banyak kebijakan yang mau tidak mau dipengaruhi dengan kondisi iklim yang mulai berubah.
Contohnya, kenaikan permukaan air laut merupakan salah satu faktor yang mendorong China untuk membangun pulau buatan di wilayah Spratly.
Tambahan lagi, peningkatan suhu udara telah mengubah zona penangkapan ikan menjadi ilegal, tidak diatur dalam undang-undang dan tidak dilaporkan.
Hal tersebut akan menyebabkan penurunan stok ikan secara signifikan.
Contoh lainnya adalah peningkatan terjadinya badai yang mengancam wilayah pulau-pulau dan karang kecil termasuk kota-kota dengan populasi tinggi.
Terakhir, latihan militer yang terus-terusan akan meninggalkan limbah dan polusi lingkungan yang merusak ekosistem terumbu karang dan merusak pulau-pulau yang tidak berpenghuni.
Hal tersebut malah akan memperburuk sengketa Laut China Selatan.
Hanya ada satu cara menjamin keamanan lingkungan di Laut China Selatan, yaitu mengenai ilmu pengetahuan dan teknologi yang inovatif.
Pertama, negara-negara yang terlibat perlu menghormati hak UNCLOS dan keterlibatan mereka di Laut China Selatan.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi angkatan laut seharusnya tidak digunakan untuk mengubah atau membingungkan status geografis wilayah tersebut.
Semua aktivitas juga seharusnya dibatasi kepada perlunya hidrografi, metrologi dan ilmu kelautan.
Kedua, perkembangan iptek yang inovatif seharusnya digunakan untuk mendapat informasi objektif atas Laut China Selatan, daripada untuk menggeneralisasi klaim maritim dan digunakan untuk legitimasi belaka.
Dengan ini, klaim China dengan menanam sayuran di pulau-pulau buatan yang baru dibangun adalah penyalahgunaan sains yang jelas dan terang-terangan.
Tidak ada yang boleh mengklaim suatu wilayah jadi milik mereka hanya setelah mereka melakukan kegiatan IPTEK inovatif di tempat tersebut.
Ketiga, IPTEK hendaknya tidak digunakan untuk tujuan politik.
AS dan China, dua negara adidaya yang berebut Laut China Selatan telah mendorong dilakukannya survei pesisir untuk operasi permukaan laut dan bawah air pesisir.
AS juga memimpin operasi FONOP untuk menentang klaim sepihak China, termasuk menarik garis pangkal lurus di sekitar Kepulauan Paracel dan laut teritorial yang diduga berdasarkan ketinggian air surut.
Tidak ada satu pun kegiatan ini membantu menyelesaikan perselisihan.
Perlu dicatat juga perbedaan antara kemampuan angkatan laut dua negara dan pihak regional jelas akan merugikan pihak regional.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini