Penulis
Intisari-online.com - China merupakan negara yang memiliki teknologi cukup mumpuni bahkan bisa dikatakan nyaris setara dengan Amerika.
Dengan kecanggihannya, negara tersebut telah menjelma menjadi salah satu kekuatan terbesar di dunia, memiliki senjata militer canggih.
Selain itu, China juga diketahui mampu membangun pulau buatan, seperti yang mereka lakukan secara ilegal di kawasan Laut China Selatan.
Menurut 24h.com.vn, China membangun pulau buatan secara ilegal di kawasan kepulauan Spratly.
Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk mengkukuhkan klaimnya atas wilayah laut tersebut.
Namun, meski ngotot membangun pulau buatan tersebut di Laut China Selatan, rupanya ada kelemahan yang dianggap tidak sepele.
Majalah Militer China menyatakan, bahwa pulau buatan itu sebenarnya sangat rapuh, dan rentan hancur terhadap serangan musuh.
Dengan kata lain, pulau tersebut sangat rentan, dan tidak memberikan banyak kontribusi jika terjadi konflik militer.
South China Morning Post pada 6 Desember, mengutip majalah militer China, mengatakan bahwa pulau buatan Beijing yang dibangun secara ilegal di kepulauan Spratly di bawah kedaulatan Vietnam.
Edisi terbaru Naval and Merchant Ships, majalah bulanan berbasis di Beijing yang diterbitkan oleh China State Shipbuilding Corporation (CSSC), menyoroti kelemahan pulau-pulau buatan China.
Konstruksi ilegal di Spratly dalam empat dimensi: jarak ke darat, ukuran kecil, kapasitas landasan pacu terbatas, dan kemampuan untuk diserang dari berbagai sisi.
Majalah itu juga mengatakan bahwa pulau-pulau buatan belum mencapai kemampuan serangan yang signifikan.
"Pulau-pulau buatan ini menawarkan keuntungan khusus yang membantu China menegaskan kedaulatan 9ilegal) dan mempertahankan kehadiran militer, tetapi juga memiliki kerugian alami dalam kemampuan untuk mempertahankan" South China Morning Post mengutip artikel di majalah tersebut.
Di kejauhan dari daratan: Majalah tersebut mengatakan bahwa Kepulauan Spratly berada jauh di Laut Cina Selatan, jauh dari daratan Cina dan tidak memiliki rantai ketat yang menghubungkanny.
Sehingga akan sulit bagi Cina untuk mengerahkan pasukan, jumlah dukungan jika ada konflik di sini.
"Misalnya, Cross Stone (milik Kepulauan Truong Sa Vietnam) saat ini memiliki landasan pacu pesawat, tapi jaraknya 1.000 km dari kota Tam A di provinsi Hainan. Dengan jarak ini, kapal pendukung tempur tercepat China harus menempuh perjalanan lebih dari 20 jam untuk mencapai pulau buatan itu," tulis majalah itu.
Majalah itu juga berpendapat bahwa pulau-pulau itu terlalu jauh bagi China untuk secara efektif mengerahkan J-16.
Jet tempur itutidak dapat berpatroli di daerah tersebut karena jaraknya yang jauh dan dapat dengan mudah dicegat atau diserang oleh kapal permukaan.
Mengenai kapasitas landasan pacu yang terbatas: Majalah ini berpendapat bahwa sebagian besar pulau buatan hanya memiliki satu landasan pacu dan tidak ada ruang untuk mendukung lebih dari satu pesawat pada satu waktu.
Artinya, jika terjadi konflik, pesawat bongkar muat atau pengisian bahan bakar harus tetap berada di landasan pacu setiap saat, sehingga mencegah pesawat lain menggunakan landasan pacu.
Selain itu, landasan pacu juga dekat dengan laut sehingga rentan terhadap air pasang dan cuaca tropis.
Dari segi ukuran kecil: Majalah itu mengatakan pulau buatan terlalu kecil untuk bertahan dari serangan skala besar.
Sebagian besar pulau itu datar dan memiliki sedikit tumbuhan atau bebatuan. Oleh karena itu, mereka memiliki sedikit perlindungan dalam serangan.
Hal terbaik yang dapat dilakukan militer Tiongkok untuk melindungi peralatan dan persediaan adalah membangun tempat perlindungan pertahanan dengan bahan seperti baja yang harus diangkut dari darat dan tidak dapat menahan serangan.
Tentang kemungkinan serangan dari banyak sisi: Majalah itu mengatakan beberapa penggugat lain juga mengklaim kedaulatan dan memegang pulau-pulau di Laut Cina Selatan.
Jika AS mendukung sekutu seperti Filipina atau Malaysia dalam konflik apa pun, ada banyak pendekatan yang dapat mereka serang, seperti Pulau Palawan di Filipina yang terletak di timur Spratly, atau Selat Malaka di barat.
Menurut Center for Strategic and International Studies (CSIS) yang berbasis di Washington (AS), China telah merenovasi terumbu dan atol yang disita secara ilegal di Kepulauan Spratly sejak 2015 dan mengubahnya menjadi pulau buatan.
Beijing telah membangun landasan pacu dan fasilitas militer lainnya, dan mengerahkan peralatan seperti senjata anti-pesawat dan sistem senjata jarak pendek.
Langkah-langkah ini telah menimbulkan kekhawatiran di kalangan penggugat di Laut China Selatan bahwa militerisasi pulau-pulau itu dapat membantu Beijing menyerang jet tempur atau menembak jatuh rudal dari mereka.