Advertorial
Intisari-online.com - Seperti yang kita ketahui Laut China Selatan secara hukum internasional bukanlah milik China.
Namun, negeri Panda terus melakukan klaim atas Laut China Selatan meskipun seluruh dunia mengecam tindakannya.
Ternyata tindakan China bermuka tebal atas klaim Laut China Selatan berdasar pada catatan kuno ini.
Menurut Al Jazeera, selama bertahun-tahun, China melabuhkan klaim atas Laut China Selatan pada "sembilan garis putus-putus."
China mengklaim hampir 90 persen perairan yang disengketakan sejauh selatan pulau Borneo dengan Malaysia, dan Brunei yang diterbitkan China.
Menunjukkan garis imajiner yang hampir mencakup pantai negara tersebut.
Menggunakan garis kontroversial itu, China telah meningkatkan aktivitas di Laut China Selatan dimulai dari Kepulauan Paracel sejak 1970-an dan 1980-an.
Kemundian berlanjut ke Kepulauan Spratly pada 1990-an, da Scrborough Shoal pada awal 2000-an.
Menurut Cabalza, seorang analis kemanan dan rekan di National Defense University di Beijing, mengatakan China secara strategis mendekati "teka-teki di Laut China Selatan."
Dia menambahkan, bahwa pandemi virus corona memberinya banyak peluang untuk menjalankan kepentingannya itu.
"Sepertinya China menang," tulis Al Jazeera, mencatat bagaimana China memiliterisasi perairan yang disengketakan itu.
China juga telah mengembangkan bebatuan dan atol menjadi pulau-pulau buatan dalam beberapa tahun terakhir.
Tindakan ini jelas dikecam oleh banyak pihak, Amerika secara tegas menolak klaim China dan menurut Hukum Internasional tindakan China ilegal.
Namun, dengan 'bermuka tebal' China tidak peduli meski dikecam seluruh bumi, mereka masih ngotot melakukan klaim atas Laut China Selatan.
Alasannya sederhana, jejak sejarah dan catatan historis menjadi bukti bahwa China adalah penguasa sesungguhnya di kawasan itu.
Dalam sebuah pesan yang diterbitkan Presiden Xi Jinping tahun 2018, Xi menyebut bahwa lebih dari 600 tahun lalu penjelajah Tiongkok telah menguasai wilayah itu.
Penjelajah bernama Zheng He, melakukan banyak kunjungan ke daerah Teluk Manila, Visayas dan Sulu selama tujuh perjalanan luar negeri.
China mengaku telah melakukan kontak dengan kepulauan itu sebelum orang Eropa tiba dan menyebutnya dengan Las Islas Filipina oleh Raja Spanyol, Felipe II.
Bagi Xi itu adalah salah satu catatan kuat untuk mengkukuhkan klaimnya atas Laut China Selatan, berdasarkan sebilan garis putus-putus, yang diperebutkan Filipina, Vietnam, Malaysia, Brunei dan Indonesia.
Catatan lain adalah, pada masa Dinasti Han 110 SM, menyebut pulau Spratly ditemukan oleh petualang China pada masa Dinasti Song, dan menjadi milik China.
Wujung Zongyao, literatur militer China mencatat kepulauan Paracel adalah miliknya, yang konon dikuasai Dinasti Ming sejak Dinasti Song jatuh.
Lalu pada masa Dinasti Qing, kepulauan Spatly dan Paracel masuk ke dalam administrasi Pulau Hainan.
Usai Perang Dunia II, China menerbitkan peta resmi kedaulatan China yang disebut sembilan garis putus-putus (nine dash line) di sekitar Laut China Selatan.
Oleh sebab itu China merasa kedigdayaan mereka di masa lampau harus dilanggengkan hingga sekarang, dan melakukan klaim atas wilayah maritim itu.
Merasa memiliki Laut China Selatan, yang juga berdempetan dengan wilayah Indonesia.