Advertorial
Intisari-online.com -Situasi Asia saat ini sedang berada di ujung tanduk.
Selain ancaman nyata ketegangan antara Beijing dan Washington, ada lagi ancaman yang dapat meluaskan ketegangan tersebut yang libatkan New Delhi.
Ketegangan ini bisa ciptakan perang dingin baru, karena sejak Juni lalu di tengah pandemi Covid-19, pejabat senior di Washington telah mengeluarkan rangkaian serangan retois kepada Partai Komunis China.
Penasihat keamanan nasional Robert O'Brien, direktur FBI Christopher Wray, pengacara umum William Barr dan Menlu AS Mike Pompeo telah disebut "empat penunggang kuda" yang ditugaskan oleh Presiden AS Donald Trump untuk menjatuhkan Partai Komunis.
Pidato Pompeo pada 23 Juli di Perpustakaan Presiden Richard Nixon, yang meminta "persekutuan demokrasi" baru untuk mengkonfrontasi Partai Komunis, secara simbolis telah melanggar pidato "Tirai Besi" milik mantan perdana menteri Inggris Winston Churchill yang telah dilakukan lebih dari 70 tahun lalu.
Pidato itu juga tunjukkan perang dingin baru dengan China.
Sedangkan dalam peringatan Hari Buruh, Trump tingkatkan prospek memisahkan ekonomi AS dari China.
Trump juga mengklaim "kita akan membuat AS menjadi adidaya manufaktur di dunia dan akhiri ketergantungan kita dengan China sekali untuk selamanya."
Untuk lancarkan tujuannya, Washington mengambil aksi konkrit dengan menutup kantor Konsulat Umum China di Houston, mengirim Menteri Kesehatan mereka ke Taiwan, berusaha memblokir media sosial China TikTok dan WeChat di AS.
Tak hanya itu, AS juga memberi sanksi perusahaan-perusahaan China yang berfokus pada teknologi dan manufaktur atas tuduhan kerja paksa di Xinjiang.
Tentu saja itu merupakan sebuah langkah ala bandit untuk terapkan perang dingin baru dengan China.
Sekarang tinggal melihat bagaimana respon dari Beijing dan negara lain, apakah mereka akan menanggapi AS atau tidak.
China telah mengatakan "tidak" atas tuduhan antagonisme ideologi antara komunisme dan demokrasi.
AS sementara itu secara eksplisit menarget Partai Komunis dan ideologi komunis, China juga dituduh melakukan hal yang sama terhadap demokrasi.
Dalam wawancara dengan agensi berita pemerintah Xinhua pada 5 Agustus, menteri luar negeri China Wang Yi dengan tegas menolak ide perang dingin baru.
Ia mengatakan, "China yang sekarang bukanlah Uni Soviet yang lawas. Kami tidak berniat menjadi AS yang baru. China tidak mengekspor ideologi."
Artinya, Wang Yi tegaskan jika China tidak berniat untuk terlibat dalam penanaman ideologi kepada negara lain, tapi urusan mengejar ideologi komunis dan peran Partai Komunis di dalam China adalah urusan dalam negeri mereka sendiri.
Jika benar begitu, maka tidak akan ada perang dingin, dan AS akan jatuh dalam jebakan ideologi mereka untuk ambisi demokrasi di seluruh penjuru dunia.
Untuk saat ini, kebijakan administrasi Trump tidak begitu menyentuh hati para pemimpin NATO, yang meskipun khawatir mengenai kondisi rakyat China di Xinjiang, tapi tidak bisa begitu saja melepas China yang merupakan partner dagang terbesar.
China juga tidak tunjukkan ancaman penyebaran ideologi komunis ke negara lain seperti Uni Soviet.
Oleh sebab itu, Trump mulai bangkitkan Dialog Keamanan Empat Negara atau Quad antara AS, Australia, Jepang dan India, yang bisa disebut sebagai NATO di Asia.
India terlibat dalam Quad karena desakan dari China yang membuat New Delhi lebih berpihak kepada AS.
New Delhi dan Beijing telah berusaha untuk menyelesaikan tanpa ketegangan apapun, terbukti dengan konferensi tingkat tinggi di Moskow kemarin.
Namun, Kai He, profesor Hubungan Internasional di Institut dan Pusat Kebijakan Publik dan Pemerintah ASia di Universitas Griffith, Australia, mengatakan jika bukan tidak mungkin negara Asia akan harus memilih pihak mana yang mereka dukung, AS atau China.
Baca Juga: Cara Mudah Perkecil Ukuran Foto Tanpa Aplikasi Tambahan Di HP
Oleh sebab itu, menurutnya inilah saatnya negara-negara Asia mengingat kembali perjanjian bersejarah di Bandung tahun 1955 ini.
Konferensi Asia-Afrika (KAA) yang dilaksanakan di Bandung pada 1955 menjadi "semangat Bandung" yang menginspirasi Gerakan Non-Blok selama Perang Dingin yang diinisiasi oleh salah satunya Presiden Soekarno.
Semangat dan itikad baik Presiden Soekarno ini harusnya kita aktifkan kembali dalam menyiasati perang dingin yang bisa terjadi kapan saja.
Lebih-lebih, India dan China merupakan dua anggota yang ikut dalam KAA pada 1955 tersebut.
Baca Juga: Kalau Bagian Tubuh Wanita yang Ini Tidak Seharusnya Disentuh oleh Pria
Sehingga bagi Kai He saat ini merupakan tanggung jawab mereka untuk menyalakan kembali semangat Bandung dan menyelesaikan masalah perbatasan mereka dengan damai.
Pasalnya, perang dingin baru mungkin akan berikan kepentingan pribadi beberapa politikus dalam waktu singkat.
Namun dampak jangka panjangnya sangat merugikan, akan memimpin kepada kerusakan politik, sosial ekonomi di wilayah tersebut berpuluh-puluh tahun.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini