Penulis
Intisari-online.com - Pada awal tahun 2020, China melakukan aksi penyelonongan di kawasan Indonesia.
Tindakan ini memicu reaksi Indonesia untuk melakukan protes, lusianan kapal Tiongkok, yang memasuki Zona Ekonomi Eklusif.
Meski tindakan ini dicap ilegal oleh Indonesia, nyatanya China dengan percaya diri justru mengakui punya hak untuk berlayar di wilayah itu.
Menurut RFA, awalnya Indonesia menyatakan klaim Beijing tidak berdasarkan hukum, namun China menyangkal pernyataan itu.
"Posisi dan proposisi China mematuhi hukum internasional, termasuk UNCLOS (Konvensi PBB tentang Hukum Laut)," katanya Geng Shuang dalam konferensi pers di ibukota China.
"Jadi, apakah pihak Indonesia menerimanya atau tidak, tidak ada yang akan mengubah fakta obyektif bahwa China memiliki hak dan kepentingan atas perairan yang relevan," imbuhnya.
"Apa yang disebut putusan arbitrase Laut China Selatan adalah ilegal, batal demi hukum dan kami telah lama menjelaskan bahwa China tidak menerima atau mengakuinya," imbuhnya.
"Pihak China dengan tegas menentang negara, organisasi, atau individu mana pun yang menggunakan putusan arbitrase yang tidak sah untuk merugikan kepentingan China," katanya.
Baca Juga: Waspadai Jika Mulai Merasa Populer, Hebat dan Lupa Diri, Kenali Ciri-ciri Star Syndrome!
Pada 2016, Pengadilan Arbitrase Permanen di Den Haag memutuskan mendukung Filipina dalam pengaduannya terhadap China.
Dengan mengatakan tidak ada dasar hukum bagi Beijing untuk mengklaim hak sejarah di laut. Beijing menolak keputusan itu dan meluncurkan pembangunan di wilayah yang dikuasainya di laut.
Geng mengatakan pada konferensi pers bahwa China memiliki kedaulatan atas Kepulauan Nansha nama China untuk Kepulauan Spratly yang disengketakan di Laut China Selatan .
Dia juga mengaku memiliki hak kedaulatan dan yurisdiksi atas perairan yang relevan di dekat Kepulauan Nansha.
"China memiliki hak sejarah di Laut China Selatan" dan nelayan China telah lama terlibat dalam aktivitas perikanan "legal dan sah" di perairan dekat pulau-pulau itu, katanya kepada wartawan.
"Penjaga Pantai China sedang menjalankan tugas mereka dengan melakukan patroli rutin untuk menjaga ketertiban maritim dan melindungi hak dan kepentingan sah rakyat kami di perairan yang relevan," tambah juru bicara kementerian luar negeri China itu.
SementaraKementerian Luar Negeri Indonesia mengeluarkan pernyataan yang menolak klaim historis China atas Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEE).
Dengan alasan bahwa nelayan China telah lama aktif di perairan tersebut.
Klaim tersebut sepihak dan tidak memiliki dasar hukum dan tidak pernah diakui oleh UNCLOS 1982, kata kementerian Indonesia.
"Kami mendesak China untuk menjelaskan dasar hukumnya dan memberikan definisi yang jelas untuk klaimnya atas ZEE Indonesia berdasarkan UNCLOS 1982," kata pernyataan itu.
China, melalui apa yang disebut Garis Sembilan Putus demarkasi yang terletak tidak jelas di peta mengklaim sebagian besar Laut China Selatan sebagai miliknya, sementara Vietnam, Taiwan, Filipina, Malaysia, dan Brunei memiliki klaim yang tumpang tindih.
Pada tahun 2016, perselisihan meletus antara Indonesia dan Tiongkok setelah Beijing menuduh Angkatan Laut Indonesia menembaki sebuah kapal penangkap ikan Tiongkok dan melukai seorang anggota awak selama kebuntuan di perairan Natuna.
Sebuah daerah yang diklaim Beijing sebagai tempat penangkapan ikan tradisionalnya.
Pejabat Indonesia mengatakan tembakan peringatan ditembakkan ke beberapa kapal berbendera Tiongkok yang diduga melanggar, tetapi tidak ada yang terluka.
Pada 2017, Indonesia menegaskan klaimnya atas wilayah di ujung paling selatan Laut Cina Selatan dengan mengganti nama perairan di sekitar pulau menjadi Laut Natuna Utara dan membentuk unit militer terintegrasi dalam rantai tersebut.
Muhammad Haripin, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, mengatakan Jakarta harus mengambil sikap yang lebih tegas terhadap kapal-kapal penangkap ikan asing yang memasuki perairannya secara ilegal.
"Mereka harus ditangkap agar ada efek jera," kata Haripin kepada BenarNews, layanan berita online yang berafiliasi dengan RFA.
"Pemerintah juga bisa memberikan pengamanan bagi nelayan Indonesia agar tidak takut melaut," imbuhnya