Penulis
Intisari-online.com -Terdapat aktivitas baru di Laut China Selatan, khususnya di wilayah Kepulauan Spratly.
Ilmuwan China temukan waduk air tawar di bawah Fiery Cross Reef.
Waduk tersebut diestimasi membesar dalam laju terbesar 1 meter per tahunnya.
Waduk itu muncul di bawah salah satu pulau buatan Beijing yang kontroversial di Laut China Selatan.
Baca Juga: Album DONAL BEBEK, 44 Tahun Menghibur Keluarga di Indonesia: Begini Sejarah Kelahirannya
Fiery Cross Reef atau dikenal sebagai Yongshu di China, sepertinya mulai mengembang dalam laju tercepatnya.
Percepatan laju tumbuhnya Fiery Cross Reef tersebut terjadi dua kali lebih cepat dari observasi pada pulau buatan yang terbentuk secara alami.
Tidak mengejutkan jika waduk air tawar yang mirip terbentuk juga di bawah pulau buatan sepanjang Kepulauan Spratly.
Waduk air tawar ini memiliki beberapa keuntungan untuk ekosistem laut.
Antara lain menyediakan sumber air tawar untuk ekosistem dan habitat lokal.
Kepulauan Spratly adalah wilayah pulau buatan yang telah lama menjadi sengketa antara Beijing dan negara-negara di perairan Laut China Selatan.
Aktivitas Beijing membangun pulau buatan selama lebih dari 6 tahun di Laut China Selatan telah membuat geram negara yang bersinggungan dan menarik perhatian Amerika Serikat.
Kepulauan Spratly diklaim oleh China, Vietnam dan Filipina.
Sejak gugus karang kecil muncul ke permukaan laut, China mulai membangun di gugus karang tersebut.
Pembangunan tersebut dimulai sejak tahun 2015, dari yang berupa gugus karang kecil menjadi pulau 10 kali lebih besar.
Kini, pulau itu dilengkapi dengan peluncur misil dan pangkalan udara.
Lembaga think tank di Washington, Pusat Studi Strategi Internasional menyebut pulau itu pangkalan udara buatan paling canggih di Laut China Selatan.
Pulau buatan itu juga mendapat hujan yang sangat banyak.
Studi sebutkan curah hujan setahun senilai 3000 mm (118 inchi) di karang tersebut.
Sebagian besar air hujan tersebut terserap ke bawah tanah melalui pasir dan debu, tetapi masih ada genangan air tawar mengapung di atas air laut.
Hal ini bisa terjadi karena air laut memiliki massa lebih besar dari air tawar dan berat jenisnya juga lebih besar.
Fenomena ini dikenal dengan nama "lensa air tawar" secara alami membutuhkan waktu 150 tahun untuk terbentuk menjadi bentuk yang stabil di pulau buatan natural.
Namun di Fiery Cross Reef, sepertinya pembentukannya terjadi jauh lebih cepat.
Berdasarkan data dari pengamatan seluruh pulau tersebut, tim geologis laut dipimpin oleh Xu Hehua temukan pembentukan lensa air tawar di Fiery Cross Reef hanya berlangsung 2 tahun sejak reklamasi lahan dilakukan.
Tahun ini lensa air tawar tersebut diukur sedalam 7 meter, dan diprediksi tahun 2035 mendatang akan membesar menjadi sedalam 15 meter.
Satu-satunya penjelasan masuk akal bagi kondisi ini adalah reklamasi lahan yang mempercepat proses tersebut.
Lima tahun lalu, China telah mengirim kapal keruk dan crane untuk membangun di atas gugus karang.
Mereka mengeruk pasir dari laguna dangkal dan memompanya ke gugus karang untuk membentuk pulau buatan 5 meter di atas permukaan laut.
"Proses ini sangat mirip dengan pembentukan pulau karang alami, yang biasanya bergantung dengan badai atau ombak tidal untuk membawa puing karang sehingga bisa membentuk pulau," tulis Xu dalam jurnal yang diterbitkan di Journal of Hydrology.
"Reklamasi lahan telah mempercepat proses ini."
Ilmuwan temukan bahwa level air tawar berubah akibat cuaca ekstrim seperti topan, yang membawa air asin membanjiri pulau tersebut.
Baca Juga: Cara Jitu Memotret Produk Dengan Hape Untuk Jualan Online
Namun berdasarkan model komputer mereka, air tawar di Fiery Cross Reef dapat menjadi stabil setidaknya hanya dalam kurun waktu 15 tahun.
Adanya waduk air tawar tersebut tidak hanya penting bagi manusia di pulau tersebut, tetapi juga bagi ekosistem.
Pasalnya, sudah pasti banyak tanaman dan hewan bergantung dengan air tawar untuk tetap bertahan hidup.
Saat ini, warga yang tinggal di pulau tersebut menggantungkan kebutuhan air mereka dari desalinasi air laut, dan air tawar sangat kurang.
Baca Juga: Amerika Dikabarkan Siap Akuisisi Ericsson Untuk Kalahkan Huawei
Meski dianggap bisa stabil dengan cepat, profesor hidrogeologi di Hohai University, Nanjing, Lu Chunhui mengatakan waduk seperti itu dapat rapuh.
Serta, pembentukannya yang sangat cepat dapat menyebabkan air laut mencemari waduk tersebut.
Ia juga sebutkan bisa diestimasi berapa banyak air tawar dapat diekstrak tanpa merusak sumber daya alam tersebut.
Namun hal tersebut memerlukan jangkauan data yang luas seperti catatan cuaca dan survei geologi.
Teknisi kelautan telah mengajukan cara-cara untuk menghentikan intrusi air laut ke pulau tersebut, termasuk dengan membangun dinding.
"Teknologi tersebut bekerja tidak hanya di pulau terpencil tetapi juga di kota pesisir dengan masalah air seperti Singapura dan Hong Kong," ujar Lu.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini