Advertorial
Intisari-Online.com - Teriakan 'Inquilab Zindabad' bergema di bagian utara ibu kota India.
Teriakan bermakna 'Hidup Revolusi' itu digaungkan oleh ribuan petani yang memakai berbagai serban berwarna-warni, khas dengan janggut panjang menjuntai.
Ribuan petani memasuki perbatasan kota New Delhi, lapor Associated Press (AP), Jumat (4/12/2020).
Mereka memadati jalan raya dalam demonstrasi besar-besaran melawan Undang-Undang Pertanian Baru yang mengeksploitasi.
Selama lebih dari seminggu, mereka berbaris menuju ibu kota dengan traktor dan truk seperti tentara, menyingkirkan barikade polisi beton sambil menantang gas air mata, pentungan, dan meriam air.
Sekarang, di pinggiran New Delhi, mereka yang bersiap dengan makanan dan pasokan bahan bakar yang bisa bertahan berminggu-minggu mengancam akan mengepung ibu kota jika pemerintah India, Perdana Menteri Narendra Modi tidak memenuhi tuntutan mereka untuk menghapus UU tersebut.
“Modi ingin menjual tanah kami kepada perusahaan,” kata salah satu dari mereka, Kaljeet Singh (31) yang melakukan perjalanan dari kota Ludhiana di Punjab, sekitar 310 kilometer bagian utara New Delhi.
“Dia tidak bisa memutuskan jutaan orang yang selama beberapa generasi telah memberikan darah dan keringat mereka ke tanah yang mereka anggap lebih berharga daripada nyawa mereka.”
Pada malam hari, para petani tidur di dalam truk, di bawah truk, meringkuk dengan selimut mereka melawan dinginnya musim dingin.
Siang harinya mereka berdesakan dalam kendaraan dikelilingi karung beras, sayur mayur yang kemudian mereka olah dalam dapur darurat, menggunakan panci besar dengan adukan berbahan kayu seukuran dayung kano.
Anmol Singh (33) petani yang menghidupi 6 anggota keluarganya mengatakan UU tersebut adalah bagian dari rencana besar Modi untuk menyerahkan tanah petani kepada perusahaan besar dan membuat mereka kehilangan hak kepemilikan tanah mereka.
“Modi ingin petani miskin, mati kelaparan agar bisa mengisi perut teman-temannya yang kaya,” kata Singh.
"Kami di sini untuk melawan keputusan brutalnya dengan damai."
Dia berhenti, lalu menambahkan, “Sebenarnya, biar saja dia dan para menterinya menghadapi kami. Kami akan buat hidung mereka berdarah."
Kebanyakan petani yang memprotes berasal dari Punjab utara dan Haryana, dua negara bagian pertanian terbesar di India.
Dan, mayoritas dari mereka adalah Sikh.
Mereka khawatir UU yang disahkan pada September itu akan membuat pemerintah berhenti membeli biji-bijian dengan harga jaminan minimum dan mengakibatkan eksploitasi perusahaan yang menekan harga.
Aturan baru juga akan menghilangkan agen yang bertindak sebagai perantara antara petani dan pasar grosir yang diatur pemerintah.
Padahal, menurut para petani, agen adalah roda penggerak penting ekonomi pertanian dan jalur kredit utama mereka, menyediakan dana cepat untuk bahan bakar, pupuk, dan bahkan pinjaman jika terjadi keadaan darurat keluarga.
UU tersebut semakin membuat kebencian para petani membuncah kepada pemerintah.
Selama ini saja, petani sudah sering mengeluh diabaikan pemerintahan Modi dalam mendorong harga panen yang lebih baik, keringanan pinjaman tambahan dan sistem irigasi untuk jaminan air selama kemarau.
Menurut pemerintah India, UU itu membawa reformasi yang dibutuhkan dan memungkinkan petani memasarkan produk mereka dan meningkatkan produksi melalui investasi swasta.
Namun, para petani mengatakan mereka tak pernah dimintai pendapat.
Beberapa pemimpin partai berkuasa menyebut para petani itu sesat dan anti-nasional, label yang sering dibeirkan kepada mereka yang mengkritik pemerintahan Modi maupun kebijakannya.
Masa jabatan kedua Modi yang berkuasa sejak Mei 2019 telah ditandai oleh beberapa kemerosotan.
Ekonomi merosot, perselisihan sosial melebar, protes meletus terhadap UU yang diskriminatif dan rakyat yang kerap mempertanyakan respons pemerintah soal pandemi Covid-19.
Protes petani kali ini memberi tantangan baru bagi pemerintah.
(*)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Ribuan Petani di India Bangkit Melawan PM Narendra Modi"