Advertorial
Intisari-Online.com - Bukan hanya membangun infastruktur. Timor Leste pun membentuk Badan Intelejennya setelah merdeka dari Indonesia.
Perdana Menteri pertama Republik Demokratik Timor Leste, Mari Alkatiri, menginginkan badan intelijen itu.
Ia pun meminta bantuan untuk membentuk Badan Intelijen Timor Leste kepada seorang diplomat Kanada.
Ya, bukan kepada Australia, tetangganya sendiri, apalagi ke China, Timor Leste meminta bantuan kepada seseorang dari Kanada.
Mantan diplomat tersebut bernama Scott Gilmore. Ia membagikan pengalamannya membentuk Badan Intelijen Timor Leste dalam artikel berjudul 'The time I started a spy agency', 9 Februari 2015, dilansir dari macleans.ca.
"Saya membantu membentuk Badan Intelijen Timor-Leste,
"Perselingkuhan itu berakhir dengan buruk, dan saat aku melihat-lihat catatanku sejak saat itu, terbaca seperti novel Evelyn Waugh yang lucu dan menyedihkan," tulisnya.
Rupanya, bantuan mantan diplomat tersebut justru berakhir memalukan.
Gilmore menceritakan bahwa saat itu ia mengambil cuti untuk bergabung dengan misi penjaga perdamaian Perserikatan Bangsa-bangsa di Timor Leste.
Pasukan perdamaian PBB memasuki Timor Leste usai terjadi kerusuhan pasca-Referendum Timor Leste 1999.
Dikatakannya, tentara Indonesia yang menduduki Timor Leste menghancurkan hampir setiap kota, dan dengan paksa membawa sepertiga penduduk bersama mereka.
"Saya bertanggung jawab atas 'keamanan nasional' dan melapor kepada kepala misi PBB Sergio de Mello (yang meninggal secara tragis empat tahun kemudian, dalam pemboman Hotel Kanal Baghdad)," ungkapnya.
Meski begitu, dikatakan Gilmore, bahwa itu tidak seharusnya menjadi pekerjaannya, namun karena supervisornya telah mengundurkan diri, ia menggantikan tugasnya.
"Dan saya ditinggalkan dalam peran 'akting' jauh di atas kemampuan saya," katanya.
Kemudian suatu hari, de Mello memberi tahunya bahwa perdana menteri Timor, Mari Alkatiri, menginginkan badan intelijen.
Menurutnya, 24 tahun pendudukan Indonesia, mengajarkan Alkatiri pelajaran praktis bahwa mata-mata merupakan hal penting.
Meski terkejut negara kecil seperti Timor Leste mampu membelinya, Gilmore pun tetap membantu.
"Jadi saya dengan enggan diperintahkan untuk membangun badan ini dan diberi tahu bahwa wakil Timor saya, 'Fernando', (saya mengganti namanya karena alasan yang jelas) akan menjadi ketua pertamanya," katanya.
Gilmore dan rekannya menyusun berbagai hal yang diperlukan untuk pembentukan badan intelijen itu.
"Saya menghabiskan waktu berjam-jam dengan Fernando mengerjakan ruang lingkup operasional badan tersebut dan langkah-langkah pengawasan yang diperlukan. Dia sangat tertarik apakah mereka harus membawa senjata,"
Kemudian, beberapa hari sebelum sebelum orang Timor mengambil alih pemerintahan baru, ia dan Fernando memberi tahu Alkatiri tentang kemajuan proyek tersebut.
Namun, Gilmore mengatakan bahwa Alkatiri tidak terkesan dengan apa pun yang dikatakannya tentang pengawasan badan intelijen itu dan menganggapnya 'hanya menambah birokrasi'.
Gilmore pun diberhentikan dari proyek tersebut.
"Saya diberhentikan dari kantornya, dan calon perdana menteri serta calon kepala intelijen melanjutkan diskusi mereka tanpa saya," katanya.
Setelah didepak dari tim pembentuk Badan Intelijen Timor Leste, Gilmore pergi dari Timor Leste.
Barulah empat tahun kemudian, ia kembali ke Timor Leste untuk urusan bisnis.
Ia yang telah meninggalkan dinas diplomatik, bertemu dengan Fernando yang masih berkontak dengannya.
Ketika itu, Fernando mengajak Gilmore ke markas barunya.
"Itu tampak seperti set film thriller mata-mata. Pintunya memiliki kode sandi digital. Kursi kulit mahal mengelilingi meja konferensi yang sangat besar. Dindingnya dilapisi dengan layar video dan citra satelit yang merinci status operasi saat ini," ungkapnya.
Gilmore kembali menemukan bahwa semua rencana pengawasan yang telah dibuatnya lenyap, tidak ada komite parlemen yang meninjau anggaran atau aktivitas badan tersebut.
"Badan tersebut telah menjadi jaringan mata-mata pribadi perdana menteri," katanya.
Menurut Gilmore, tidak mengherankan, partai-partai oposisi dengan cepat takut akan mata-mata domestik tersebut dan menuduh perdana menteri menggunakan mereka untuk tujuan partisannya sendiri.
Hal itu juga dikatakannya berkontribusi pada suasana politik Timor Leste yang semakin tidak stabil.
"Segera setelah saya bertemu kembali dengan Fernando, angkatan bersenjata memberontak dan hampir terjadi perang saudara.
"Alkatiri, yang dituduh memerintahkan pembunuhan, dipaksa mundur. Pemerintah baru dengan cepat menutup layanan mata- mata," katanya.
"Terkubur dalam catatan saya dari masa saya di Timor adalah peringatan 'budaya kerahasiaan memiliki kebiasaan tumbuh dan pada gilirannya menciptakan budaya kecurigaan.' Itu ternyata sangat mengejutkan.
"PM Timor Leste menyembunyikan badan intelijennya di dalam kain kafan, merahasiakan semua aktivitasnya.
"Tidak mengetahui apa yang dilakukan agen Fernando menyebabkan kecurigaan yang beracun di antara oposisi dan publik," tulisnya.
Mari Alkatiri sendiri pernah menjabat sebagai perdana menteri Timor Leste sejak 2002 hingga 2006, kemudian kembali menjabat selama 280 hari sejak September 2017 hingga 22 Juni 2018.
(*)
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik? Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik dihttps://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari