Advertorial
Intisari-Online.com - Setelah 24 tahun menjadi wilayah Indonesia, tahun 1999 Timor Leste lepas dari Indonesia dengan hasil referendum menunjukkan mayoritas rakyatnya ingin merdeka.
Timor Leste pun memulai perjalanannya sebagai sebuah negara, yang secara resmi diakui secara internasional pada 20 Mei 2002.
Kekayaan cadangan minyak dan gas menjadi salah satu bekal Timor Leste membangun perekonomiannya.
Bahkan, sampai saat ini sektor tersebut yang paling diandalkan Timor Leste untuk pendapatannya.
Namun, ladang minyak Timor Leste pula yang membuatnya terlibat dalam sengketa berkepanjangan dengan tetangga dekatnya, Australia.
Sengketa batas maritim dengan ladang minyak berlimpah itu berlangsung hampir 2 dekade, dan baru selesai pada 2018.
Sejak Timor Leste merdeka pada 2002, perjanjian yang menyepakati eksplorasi minyak bumi bersama di Laut Timor dengan Australia telah ditandatangani, namun tidak mengatur mengenai batas maritim.
Pada 2013, tercium cara kotor Australia berkaitan dengan negosiasi sumber daya minyak tersebut.
Saat itu, diduga penyadapan terhadap kantor Perdana Menteri Timor Leste telah dilakukan agen mata-mata Australia, menyebabkan konflik kedua negara.
Bagaimana Kelicikan yang dilakukan Australia terhadap negara miskin juga termuda di Asia Tenggara tersebut?
Melansir socialist-alliance.org (27/7/2018), pada tahun 2004, ASIS diduga menempatkan alat pendengar di dinding kantor perdana menteri Timor-Leste dan kantor kabinet selama program perbaikan yang dilakukan oleh AusAid, badan bantuan luar negeri pemerintah Australia.
Hal tersebut memungkinkan para pejabat Australia untuk mendengarkan rencana negosiator Timor-Leste atas perjanjian tentang ladang gas lepas pantai Greater Sunrise senilai US $ 65 miliar di Laut Timor.
“Saksi K” adalah anggota ASIS yang terlibat dalam operasi penyadapan.
Dia mengeluh kepada atasannya saat kembali ke Australia ketika dia menemukan menteri luar negeri Alexander Downer dan mantan kepala Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Ashton Calvert, melobi Woodside Petroleum, sebuah perusahaan minyak dengan kepentingan utama dalam eksploitasi minyak bumi sumber daya Laut Timor.
Saksi K diizinkan oleh atasannya untuk menggunakan Collaery.
Setelah banyak pertimbangan, Collaery dan Saksi K mengungkapkan bahwa badan intelijen Australia menggunakan mata-mata untuk keuntungan finansial.
Pada 2013, hal itu terungkap dalam pemberitaan.
Pemerintah Timor Leste yang marah pada kegiatan mata-mata itu, menarik diri dari pembicaraan perjanjian itu dan membawa Australia ke Mahkamah Internasional (ICJ).
Kantor Collaery kemudian digerebek oleh Australian Service Intelligence Organization (ASIO) - agen mata-mata domestik Australia - dan sejumlah besar dokumen resmi disita.
Paspor saksi K diambil sehingga tidak bisa bersaksi di ICJ.
Hal yang membuat malu internasional Australia, yaitu saat ICJ memerintahkan Australia untuk menghentikan semua kegiatan mata-mata terhadap tetangganya dan mengembalikan surat-surat Collaery.
Baca Juga: Heboh Netizen Sebut Jika Trump Menang Bakal Ada Perang Sipil Lagi, 'Aku Bebas Berbuat Apa Saja'
Timor Leste kemudian membawa Australia melalui proses konsiliasi wajib di bawah aturan Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang bertentangan dengan keberatan awal Australia.
Proses tersebut menghasilkan Perjanjian Laut Timor yang baru pada tahun 2018.
Selama negosiasi ini, Timor Leste mencabut kasus mata-matanya terhadap Australia sebagai tindakan niat baik dan untuk melanjutkan penyelesaian perjanjian tersebut.
Namun, setelah finalisasi perjanjian baru pada bulan Juni, Collaery dan Saksi K justru didakwa melakukan pelanggaran di bawah Crimes Act dan Intelligence Services Act 2001, karena memberitahukan kepada pemerintah Timor-Leste dan media fakta dari Spionase Australia melawan Timor-Leste.
(*)
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik? Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik dihttps://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari