Advertorial
Intisari-online.com -Bukan Presiden Erdogan dan Presiden Macron namanya jika tidak saling menghina dan lontarkan komentar kejam untuk satu sama lain.
Kedua pemimpin negara yang memiliki cara pendekatan berbeda dalam tangani terorisme dan radikalisme tersebut sering olok-olok satu sama lain.
Namun atas masalah karikatur Nabi Muhammad, hubungan kedua pemimpin negara itu justru disebut pakar bisa rusak permanen.
Melansir Reuters, administrasi kedua presiden telah menggambarkan jika hubungan saling ejek dan bertengkar telah dilakukan oleh dua belah pihak bertahun-tahun.
Jauh sebelum masalah karikatur Nabi Muhammad yang dibela Macron dan dikecam oleh Erdogan, kedua pemimpin sudah sering saling berkomentar.
Namun kondisi ini akan semakin buruk jika masalah karikatur Nabi Muhammad tidak segera diselesaikan.
Bahkan, hal ini dikhawatirkan oleh pakar menjadi cara bagi Perancis berikan proposal untuk Uni Eropa menghukum Turki.
Tentunya hal itu akan merugikan Turki, yang sudah memiliki kondisi ekonomi yang rapuh.
Analis Turki Sinan Ulgen menjelaskan, "Macron dan Erdogan sama-sama tidak akan mundur."
Ulgen merupakan ketua dari Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Luar Negeri di Istanbul.
Hal yang sama juga dilontarkan oleh pejabat Perancis yang sering mengurusi kebijakan terhadap Turki.
Ia menanyakan dengan kejadian beberapa minggu belakangan ini apakah sanksi akan semakin digembor-gemborkan oleh Perancis.
Sejauh ini pernyataan resmi dari pemimpin Uni Eropa menyebutkan jika Turki gagal turunkan ketegangan di Mediterania Timur sampai 10 Desember, sanksi akan diberlakukan kepada negara tersebut.
Namun belum ada draft proposal akan hal tersebut.
Akar masalah muncul dari cara Emmanuel Macron yang didukung oleh banyak netizen menganggap pemenggalan kepala guru sejarah tersebut merupakan serangan terhadap kebebasan berbicara.
Macron kemudian berjanji meningkatkan upaya menghentikan kepercayaan Islam konservatif yang menurunkan nilai-nilai luhur Perancis.
Erdogan kecewa dengan sikap Macron, dan mengatakan jika Macron memiliki agenda anti-Islam.
Erdogan juga mengatakan jika Macron perlu mengecek kesehatan mentalnya.
Negara-negara Barat yang mengejek Islam disebut Erdogan ingin meluncurkan kembali Perang Salib.
Versi Eropa dari Xi Jinping dan Donald Trump
Sedikit mirip tapi tidak sepenuhnya bisa disebut mirip, hubungan kedua pemimpin negara ini mirip seperti hubungan Xi Jinping dan Donald Trump.
Pakar dan analis mengatakan hubungan Turki dan Perancis memburuk karena kepentingan persaingan strategi.
Ankara memiliki pengaruh yang tumbuh kuat di Suriah, Afrika Utara dan Mediterania Timur.
Tempat-tempat tersebut merupakan tempat yang paling menarik kepentingan Eropa, dan Macron adalah pembela Eropa paling vokal atas ketiga tempat itu.
Agustus 2017, tiga bulan setelah Macron menjadi presiden, ia mengatakan kepada media jika berbicara dengan Erdogan adalah satu alasan menjadi kepala negara tidak sekeren orang-orang kira.
Komentar tersebut menyebabkan kekecewaan besar dan syok dari pemimpin Turki.
Pejabat senior Turki mengatakan "Presiden memilih untuk langsung menyampaikan ketidakpuasannya atas komentar tersebut kepada Macron sendiri."
Kemudian pada Maret 2018, Macron bertemu dengan delegasi YPG Kurdi Suriah, kelompok yang ditunjuk Turki sebagai organisasi teroris.
Tapi, kekuatan Barat memandangnya sebagai sekutu melawan ISIS di Suriah.
Erdogan kemudian secara terbuka menuduh Perancis bersekongkol dengan terorisme.
Sebuah sumber yang dekat dengan pemimpin Turki mengatakan sikap Macron terhadap Kurdi "menyebabkan ketegangan baik dalam beberapa pertemuan tatap muka dan panggilan telepon."
Pejabat Perancis frustrasi oleh aksi Turki di Suriah.
Perancis menuduh Turki mendukung gerakan Islam radikal di antara para pemberontak yang memerangi Presiden Bashar al-Assad.
Tuduhan tersebut kemudian dibantah oleh Ankara.
Saat mereka keberatan, pejabat resmi Perancis mengatakan Turki akan membuka pintu Eropa untuk para pengungsi dari Suriah.
Hal itu melanggar kesepakatan dengan Uni Eropa yang berusaha untuk menjaga jumlah imigran yang masuk ke Benua Biru.
Saat Erdogan dan Macron bertemu dalam pertemuan NATO Juli 2018 lalu, hubungan mereka sudah semakin buruk.
Anggota delegasi dan semua pejabat diminta keluar kecuali penerjemah sehingga Erdogan dan Macron bisa berbicara empat mata saja.
Namun belakangan ini kondisi semakin memburuk dengan Macron tidak membalas komentar Erdogan yang mengatakan ia sakit mental.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini