Advertorial
Intisari-online.com -Dunia sedang dalam kondisi paling tidak stabil dengan banyak terjadi perang di mana saja.
Salah satunya adalah konflik Nagorno-Karabakh.
Konflik ini merupakan konflik lawas, tapi meski begitu, ketegangan yang terjadi sejak akhir September lalu terhitung baru.
Disebutkan bahwa Armenia dan Azerbaijan adalah dua negara yang paling terlibat dalam konflik ini.
Namun, ada bukti signifikan yang tunjukkan negara lain terlibat sebagai penyulut ketegangan yang baru terjadi.
Negara itu telah terlibat dalam setiap langkah mulai dari persiapan sampai eksekusi rencana perang Azerbaijan.
Dan negara manakah yang dimaksud?
Mengutip The National Interest, menteri luar negeri Rusia Sergei Lavrov ajukan negosiasi bagi menteri luar negeri Armenia dan Azerbaijan, Zohrab Mnatsakanyan dan Jeyhun Bayramov.
Lavrov berusaha menengahi urusan kedua negara yang kian panas, dari 9 sampai 10 Oktober, selama lebih dari 10 jam.
Pembicaraan fokus dalam menghentikan perang yang baru-baru terjadi.
Hasilnya adalah gencatan senjata untuk menjemput korban yang gugur serta komitmen untuk pembicaraan perdamaian yang lebih jauh.
Ini merupakan catatan yang cukup baik untuk Rusia.
Mengingat sejarah, konflik yang rumit itu berasal dari tahun 1980-an saat Mikhail Gorbachev memulai reformasi Uni Soviet.
Ia gunakan istilah Rusia Perestroika dan Glasnost, yang artinya 'restrukturisasi' dan 'keterbukaan'.
Merespon hal teresebut, warga Armenia dari mayoritas Armenia Karabakh, yang saat itu menjadi otonom di Azerbaijan Soviet, berusaha untuk menyatukan wilayah mereka dengan Armenia Soviet.
Demonstrasi damai di Yerevan dan Stepanakert bertemu dengan kekerasan etnis anti-Armenia di kota Sumgait di Azerbaijan.
Ketegangan meningkat, bentrokan antara orang Armenia dan Azerbaijan pun terjadi, meledak menjadi perang terbuka saat pembubaran Soviet pada 1991.
Perang itu sebabkan kematian, kehancuran bagi kedua belah pihak.
Gencatan senjata yang diinisiasi Rusia tahun 1994 tinggalkan Armenia Karabakh menguasai Karabakh, serta tujuh distrik di sekelilingnya.
Hal tersebut menyediakan batas langsung dengan Armenia dan Iran.
Gencatan senjata itu secara lemah telah menjaga perdamaian sejak itu, tapi area itu kemudian alami kekerasan lagi, termasuk Perang Empat Hari tahun 2016.
Perang yang saat ini terjadi tunjukkan ketegangan paling mengerikan sejak awal tahun 1990-an.
Menariknya, ketegangan tersebut dimulai oleh Baku, dengan dukungan ganjil dari Turki, pada 27 September pagi.
Apa sebenarnya yang memotivasi serangan besar-besaran ke Karabakh oleh Azerbaijan?
Selama ini bukan rahasia lagi jika Presiden Azerbaijan Ilham Aliyev kecewa berat dengan proses negosiasi Karabakh.
Seiring waktu, Azerbaijan tercatat alami peningkatan perolehan senjata ampuh, hanya karena penjualan minyak mereka.
Namun untuk melihat secara keseluruhan, rupanya sekutu lama Azerbaijan, yaitu Turki, memiliki agenda geopolitik yang sesuai.
Ambisi Presiden Erdogan
Ada bukti bahwa Turki adalah pemicu utama perang Karabakh saat ini.
Negara ini yang dimaksud terlibat dalam setiap langkah dari persiapan sampai pelaksanaan rencana perang Azerbaijan.
Citra satellit dari Bandara Internasional Azerbaijan di Ganja tunjukkan kehadiran jet tempur F-16 Turki, sedangkan Yerevan menyebut jet tempur itu digunakan Turki melawan pasukan Armenia di awal perang.
Hasil penyelidikan intelijen Perancis dan Rusia beberkan bahwa Turki telah sibuk gelontorkan senjata dan membawa pasukan jihad dari Suriah dan Libya ke zona konflik.
Termasuk yaitu anggota Front Nusra Suriah.
Ini bukan satu-satunya agenda politik dari Erdogan, sebelumnya diingat bahwa ia memulai konflik di Laut Mediterania Timur, kemudian panas-panasi Palestina dan Israel atau sekedar hantui musuhnya di rumah, Erdogan sudah terkenal dengan ambisi geopolitiknya.
Lalu apa alasan Presiden Erdogan lakukan ini?
Dengan mendukung Azerbaijan secara diplomatik dan militer, Erdogan telah berhasil membuat Rusia melongo, dan tidak bisa mengejar kemajuan Turki dalam menguasai wilayah Kaukasus.
Ia sendiri sebutkan niatnya jelas untuk lanjutkan ambisi Ottoman di wilayah itu.
Erdogan mengejar klaim bersejarah Ottoman di wilayah itu, melawan konflik terbarunya dengan presiden Rusia Vladimir Putin di Suriah dan Libya.
"Turki pantas jadi negara yang diperhitungkan," ujarnya. Ia gunakan konflik Karabakh untuk mengirim pesan ke Moskow, dan jika mungkin, hapuskan pengaruh Rusia di Kaukasus dan menggantinya dengan pengaruh Turki.
Sungguh ironis, perang yang berisiko tinggi menjadi perang dunia ketiga ini hanya berasal dari obsesi dan ambisi satu orang saja.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini