Dia memperkirakan, mayoritas warga di enam desa di Kecamatan Silau Kahean juga terkena pengakit cacing pita.
"Di sini kan ada makanan khas Simalungun, yakni hinasumba atau holat yang bahan makanannya dari daging babi yang memang tidak dimasak," ujar Umar.
Atas temuan ini, pihak FK UISU melakukan kerja sama dengan tiga universitas asal Jepang dan empat universitas di Indonesia untuk melakukan penelitian.
Ketiga universitas dari Jepang tersebut adalah Department of Parasitology, Asahikawa Medical University; Laboratory of Veterinary Parasitology, Joint Faculty of Veterinary Medicine Yamaguchi University; dan Center of Human Evolution Modelling Research, Primata Research Institute, Kyoto University.
Sementara dari Indonesia, yakni Departemen Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Bali; Departemen Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya, Malang; Direktorat Pascasarjana Universitas Sari Mutiara, Medan; dan Departemen Farmakologi FK Universitas Methodist Indonesia, Medan.
"Tim telah selesai melakukan pemeriksaan molekuler terhadap empat sampel cacing pita asal Kabupaten Simalungun, termasuk draf artikel ilmiah," kata Umar.
Selanjutnya, artikel tersebut dikirim ke WHO guna melanjutkan penelitian atas penemuan endemi Taeniasis di Kabupaten Simalungun.
Sembari menunggu dukungan dari WHO, tim FK UISU akan kembali turun ke lokasi yang sama, di mana pertama kali ditemukan cacing pita di Kecamatan Silau Kahaean.
BACA JUGA: Selamat dari Holocaust, Namun Sekarang Wanita Ini Ditemukan Tewas dalam Keadaan Mengerikan
(Artikel ini pernah tayang di Kompas.com dengan judul "Cacing Pita Sepanjang 10,5 Meter Ditemukan di Simalungun, Penulis: Kontributor Pematangsiantar, Tigor Munthe")
Penulis | : | Masrurroh Ummu Kulsum |
Editor | : | Masrurroh Ummu Kulsum |
KOMENTAR