Advertorial
Intisari-online.com -Dana Desa merupakan langkah yang dimulai semenjak pemerintahan Jokowi dan sampai saat ini masih mengalami banyak evaluasi.
Mengenai banyaknya anggaran dan alokasi penggunaan, evaluasi Dana Desa dan Transfer ke Daerah masih giat dilakukan oleh salah satunya Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
Dilansir dari Kompas.com hari Rabu (15/1/2020) beliau baru saja melakukan rapat kerja dengan Komite IV DPD RI mengenai alokasi anggaran tersebut.
Dalam rapat tersebut, Mantan Direktur Bank Dunia itu beberapa kali mengungkapkan kekesalannya dengan pengelolaan anggaran di tingkat daerah.
Salah satunya alasannya adalah dana transfer yang mengendap ratusan triliun di rekening kas umum daerah (RKUD).
Secara keseluruhan, dana mengendap di rekening daerah tersebut mencapai Rp 186 triliun per November 2019.
"Kami lihat masih banyak, hingga November 2019 masih ada Rp 186 triliun di rekening daerah.
Jadi di satu sisi kami ngambil banyak, transfer rajin, sampai sana pindah lagi ke akun bank saja, enggak dipakai," ujar dia, Selasa (14/1/2020).
Padahal seharusnya, dana tersebut digunakan untuk meningkatkan pembangunan di daerah.
Sri Mulyani pun menyoroti hal itu di depan para anggota DPD.
Dia tak ingin dana yang ditransfer oleh pemerintah pusat hanya menganggur dan mengendap di rekening.
"Ini yang mungkin jadi satu pemikiran kita. Bahkan pada bulan-bulan sebelum Oktober itu akunnya bisa mencapai di atas Rp 200 triliun, Rp 220 triliun di rekening daerah," ujar dia.
Enggan Bayar Pensiun
Sri Mulyani merasa keberatan dengan pemerintah daerah yang banyak merekrut Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), namun beban pembayaran pensiun diberikan kepada pemerintah pusat.
Sehingga menurut dia, beban pemerintah pusat untuk belanja pensiun semakin besar.
Sementara pemerintah daerah tak menanggung beban tersebut.
"Di daerah itu merekrut banyak pegawai termasuk PPPK dalam hal ini. Namun untuk pensiunnya itu yang menanggung adalah seluruhnya pemerintah pusat," ujar Sri Mulyani ketika melakukan rapat kerja dengan Komite IV DPD RI di Selasa (14/1/2020).
Anggaran dana pendapatan PPPK dan penghasilan tetap (Siltap) Kepala Desa dan Perangkat Desa tahun ini masuk dalam komponen alokasi Dana Alokasi Umum (DAU) ke daerah.
Pemerintah melalui Kementerian Keuangan tahun ini telah mengalokasikan DAU sebesar Rp 427 triliun.
Angka tersebut meningkat dari tahun sebelumnya yang sebesar Rp 417,8 triliun.
Peningkatan tersebut karena ada penambahan anggaran bantuan Siltap dan PPPK masing-masing sebesar Rp 1,12 triliun dan Rp 4,26 triliun yang tidak tercantum di tahun sebelumnya.
Bahkan Sri Mulyani mengatakan, tak hanya membayar dana pensiun saja, pemerintah pusat juga dibebani dengan kurang bayar pendapatan dari para pegawai PPPK pemerintah daerah.
"Jadi kalau kami lihat nanti lama-lama pemerintah pusat makin besar belanja untuk pensiun sementara pemerintah daerah merekrut hanya untuk membayar. Kadang-kadang kalau kurang pun kami juga yang bayar," ujar dia.
Oleh karena itu, Sri Mulyani pun meminta Komite IV DPD RI bisa berdiskusi bersama dengan pihak Kemenkeu agar anggaran yang dibebankan pemerintah pusat bisa lebih seimbang.
Namun demikian, penyesuaian pemberian anggaran antara satu daerah dengan yang lain juga perlu dilakukan pembahasan lebih lanjut.
"Daerah di Indonesia itu bervariasi sekali. Ada yang memang sangat kuat dan sangat kaya, ada yang sangat kurang.
"Jadi memang satu aturan sulit sekali untuk bisa berlaku secara adil bagi semuanya pasti akan terjadi ketidakpuasan. Jadi kita juga perlu terus menerus berdiskusi mengenai apa yang baik," kata Sri Mulyani.
Pemda Mengeluh ke Jokowi
Lebih lanjut Sri Mulyani mengatakan, pemerintah daerah juga tak siap jika anggaran yang diberikan oleh pemerintah pusat ke daerah terpotong.
Padahal, jika melihat realisasi penerimaan pajak tahun 2019 yang seret misalnya, seharusnya dana alokasi umum (DAU) yang ditransfer ke daerah juga turun untuk menyesuaikan penerimaan negara.
Namun, karena pemerintah daerah yang tak siap dengan pergerakan anggaran negara, Sri Mulyani mengatakan para pemimpin daerah berbondong-bondong bertemu Presiden Joko Widodo dan mengadu agar anggaran transfer ke daerah tak terpotong.
"Daerah itu enggak siap buat turun, siapnya naik. Jadi waktu itu (Pemda) minta ke Pak Presiden dengan mengharu-haru biru gitu supaya tidak diturunkan, sehingga akhirnya tahun lalu kita final, tahun ini juga final," ujarnya.
Sebagai informasi, penerimaan perpajakan pemerintah hingga Desember 2019 tercatat kurang Rp 245 triliun atau sebesar Rp 1.332 triliun dari yang seharusnya Rp 1.577 triliun.
Sementara, anggaran DAU pemerintah ke daerah tahun ini sebesar Rp 427 triliun.
Anggaran tersebut naik dari tahun lalu yang sebesar Rp 417,8 triliun.
Peningkatan terjadi lantaran DAU formula yang juga meningkat dari Rp 414,8 triliun menjadi Rp 418,7 triliun, dan juga terjadi peningkatan DAU tambahan karena ada anggaran bantuan untuk SILTAP dan PPPK dari yang tadinya hanya Rp 3 triliun menjadi Rp 8,38 triliun.
"Jadi memang penerimaan pajak kita itu turun. Jadi harusnya yang kami bagikan ke daerah juga turun," kata Sri Mulyani.
Namun, karena penerima daerah yang belum siap dengan fluktuasi anggaran tersebut maka anggaran daerah pun ditetapkan menjadi final dari yang seharusnya dinamis.
Dengan demikian, beban pemerintah pusat ketika terjadi deviasi atau penyimpangan atara perencanaan dan realisasi penerimaan semakin berat.
Minta Punya Menteri Keuangan
Dia pun meminta agar pemerintah daerah juga memiliki menteri-menteri keuangan yang lihai dalam mengelola anggaran.
Pemda juga harus memiliki kebijakan di tingkat daerah yang bisa menjadi peredam penerimaan negara yang penuh ketidakpastian.
Sebab, hal serupa juga diimplementasikan di tataran pemerintah pusat.
"APBN harus punya shock absorber karena kalau nggak, kalau jeblong semuanya sakit perut, kalau naik semuanya muntah gitu. Jadi shock absorber-nya harus dibuat. Ini kami coba lakukan di pusat," terang dia.
Meski dirinya menilai daerah belum siap untuk mengimplementasikan kebijakan tersebut.
"Di daerah kemampuannya sangat minimal sekarang ini. Jadi kayaknya daerah yang penting kita tahu bersih saja deh. Namun untuk Indonesia ke depan kayaknya daerah harus makin lama makin dibangun kapasitasnya," tambahnya.
Sebelumnya, Sri Mulyani telah menghentikan aliran dana desa ke 56 desa yang berstatus fiktif di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara.
Keputusan tersebut diambil berdasarkan hasil penyelidikan yang dilakukan oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) bersama dengan Polda setempat.
"Jadi penyaluran dana desa tahap III 2019 untuk keseluruhan 56 desa dihentikan sampai kami mendapat kejelasan status dari desa tersebut," ujar Sri Mulyani ketika memberi penjelasan kepada Komite IV DPD RI di Jakarta, Selasa (14/1/2020).
Bendahara Negara itu pun menjelaskan, ketidakberesan aliran dana ke desa fiktif tersebut terendus berdasarkan data-data yang didapatkan Kementerian Keuangan dari beberapa instansi pemerintahan yang bertanggung jawab atas pembangunan desa.
Misalnya saja data Kemendagri mengenai jumlah desa, data Kementerian Sosial mengenai jumlah penduduk miskin, kemudian juga beberapa indeks dari Kementerian Desa, Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes DTT) serta Badan Pusat Statistik.
"Kami menggunakan data dari instansi yang memiliki tupoksi dalam menghitung atau menghasilkan data-data tersebut," ujar dia.
Baca Juga: Anak Anda Masih Sering Ngompol? Coba Atasi dengan 5 Cara Ini, Salah Satunya Beri Hadiah
Dia menjelaskan, permasalahan bermula dari penetapan Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2011 sebagai Perubahan Peraturan Daerah Konawe Nomor 2 Tahun 2011.
Penetapan itu berujung pada penambahan 56 desa baru di kabupaten tersebut.
Namun, registrasi administrasi desa tersebut baru muncul di tahun 2016 dan akhirnya mendapatkan aliran dana desa di tahun berikutnya.
"Desa tersebut cacat hukum karena Perda tidak melalui DPRD. Padahal Perda itu tentang pertanggungjawaban APBD," kata Sri Mulyani.
Penghentian aliran dana desa ke 56 desa tersebut akan dilakukan sampai ada kejelasan hukum terkait desa-desa tersebut.
Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia tersebut mengatakan seharusnya aturan pembentukan desa berdiri sendiri, tidak mengikuti Perda yang isinya mengenai pertanggungjawaban APBD tersebut.
"Kalau baik-baik saja seharusnya ada Perda sendiri, ini ditempelkan di Perda tentang pertanggungjawaban APBD," ujar dia.
(Mutia Fauzia)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Ketika Sri Mulyani Geregetan dengan Pengelolaan Anggaran Pemda..." dan "Sri Mulyani Hentikan Aliran Dana ke 56 Desa Fiktif"