Advertorial
Intisari-Online.com – Sosok BJ Habibie yang dikenal meledak-ledak nyatanya harus bersanding dengan Ainun yang sangat penyabar.
Ilham Habibie, putra Habibie-Ainun, mengisahkan bagaimana konsep api dan air tersebut dalam kehidupan sehari-hari
Tulisan berikut ini diambil dari Buku Ibu di Mata Mereka, terbitan Intisari, yang ditulis oleh Yatie Asfan Lubis.
Inilah yang ditulis oleh Ilham A. Habibie dalam buku tersebut, mengenai Ibunya, Hasri Ainun Habibie, yang ketika itu belum lama dipanggil Tuhan pada 22 Mei 2010.
--
Hidupku mengalami tahapan yang berbeda. Masa kecil dengan kedekatan pada Ibu yang berkesinambungan.
Baca Juga: Mengenang BJ Habibie: Gara-gara 'Cinta Fitri' Sang Doktor pun Jadi Doyan Nonton Sinetron, Kok Bisa?
Kondisi itu tetap bertahan waktu Ayah pada 1974 bertugas di Indonesia pada era kepemimpinan Presiden Soeharto.
Ibu tetap menemani kami. Sementara selama 11 tahun, Ayah punya pola hidup, enam bulan di Indonesia dan enam bulan di Jerman.
Karena kemampuan berbahasa Indonesia kurang, akhirnya diputuskan aku tetap menempuh pendidikan di Jerman.
Baca Juga: Begini Rencana Pemakaman BJ Habibie, Letak Makamnya Tepat di Samping Makam Ainun Habibie
Sekolah Dasar di Hamburg (1969-1973), SMA juga di kota itu 1981-1986, kuliah di Technical University of Munich.
Pendidikanku berlanjut hingga meraih gelar Doktor - Ingenieur di universitas yang sama pada tahun 1994.
Aku melihat sosok Ayah dan Ibu sebagai pasangan yang saling melengkapi.
Baca Juga: BJ Habibie Temui Sang Kekasih Hati, Ainun Habibie, di Keabadiaan
Ayahku yang dominan dan kerap "meledak-ledak" berjodoh dengan ibu yang sabar dan cenderung tidak suka marah.
Ada yang berkomentar bila ayahku bersuara agak keras dan marah-marah, ibuku si lembut hati akan memegang tangannya.
Ayahku langsung menurunkan nada suaranya dan tenang. Lantas dengan bijak, Ibu berkomentar "He is my big eye and I am the small eye."
Kami bertiga sering ngobrol bersama. Ayahku dominan dalam pembicaraan, apalagi bila terlibat dalam diskusi.
Ayah cenderung memimpin pembicaraan dan ibuku memberi komentar bila diperlukan.
Meskipun ia tergolong pendiam dan tidak obral kata, namun aku memiliki kedekatan yang luar biasa dengannya.
Baca Juga: Mengenang BJ Habibie: Gara-gara 'Cinta Fitri' Sang Doktor pun Jadi Doyan Nonton Sinetron, Kok Bisa?