Advertorial

Ainun di Mata Ilham Habibie: Ibuku yang Mungil Rela Mengerjakan Semua Tugas Rumah Tangga Bahkan Jadi 'Sopir Pribadi'

K. Tatik Wardayati
,
Ade S

Tim Redaksi

Bukannya aku ingin melontarkan puji dan puja, namun memang itulah makna dari namanya: Hasri Ainun Besari, mata yang indah.
Bukannya aku ingin melontarkan puji dan puja, namun memang itulah makna dari namanya: Hasri Ainun Besari, mata yang indah.

Intisari-Online.com – Kita kehilangan sosok seorang inspirator yang jenius, sang inspirator, negarawan sejati, dan Presiden RI ke-3, BJ Habibie, pada hari Rabu (11/9/2019) yang lalu.

Bagaimana pun Habibie adalah seorang ayah dari dua anak dan suami yang kehilangan belahan jiwanya terlebih dahulu, Hasri Ainun Habibie.

Tulisan berikut ini diambil dari Buku Ibu di Mata Mereka, terbitan Intisari, yang ditulis oleh Yatie Asfan Lubis.

Baca Juga: ‘Cinta Bukan Asal Lihat, Memandang Matanya, Lalu Hati Berdebar!’, Inilah Arti Cinta Menurut Hasri Ainun Habibie

Inilah yang ditulis oleh Ilham A. Habibie dalam buku tersebut, mengenai Ibunya, Hasri Ainun Habibie, yang ketika itu belum lama dipanggil Tuhan pada 22 Mei 2010.

--

Bukannya aku ingin melontarkan puji dan puja, namun memang itulah makna dari namanya: Hasri Ainun Besari, mata yang indah.

Baca Juga: Bikin Terenyuh, Begini Cerita Habibie yang Selalu Siapkan Piring dan Kursi untuk Ainun yang Telah Tiada

Ibuku lahir di Semarang pada 11 Agustus 1937. Ayahku, H. Bacharuddin Jusuf Habibie (lahir di Pare-Pare 25 Juni 1936).

Pada tahun-tahun pertama pernikahan, mereka hidup di Jerman karena ayahku bekerja di sana.

Aku lahir di Aachen, Jerman, begitu pula adikku: Thareq Kemal Habibie. Sejak SD hingga aku meraih gelar Doktor - Ingenieur dengan predikat summa cum laude, (Juli 1994) aku tinggal di negeri itu.

Baca Juga: 'Kamu Jelek! Sudah Hitam, Gendut Lagi!’ Ucap BJ Habibie Muda kepada Ainun Muda

Meski Ibu kerap berdialog dalam bahasa Indonesia, aku cenderung lebih menguasai bahasa Jerman dan Inggris.

Karena memang aku tidak pernah mengecap sekolah di Tanah Air. Selama 31 tahun bermukim di sana dan di Amerika selama dua tahun.

Aku selalu teringat, betapa ibuku, yang seorang dokter lulusan Universitas Indonesia tahun 1965 rela melepas kariernya sebagai dokter anak.

Baca Juga: ‘Sudah Cukup Pakai Batik, Pakai Lurik Dong…’ Ucap Habibie untuk Melestarikan Kain Lurik

Perempuan lemah lembut ini memilih tinggal di rumah untuk mengurus suami dan kedua putranya.

Hidup di perantauan - Eropa – menimbulkan banyak risiko dan tanggung jawab. Kami tak punya pembantu.

Ibuku yang mungil rela mengerjakan semua tugas rumah tangga, hingga mengantar Ayah berangkat kerja. la yang punya SIM (ayahku tidak) laiknya seorang sopir pribadi.

Baca Juga: PM Malaysia Mahathir Mohamad Bersedih Kehilangan BJ Habibie: Dia adalah Teman Baik Saya

Pagi mengantar ke dermaga ferry, malam pergi lagi menjemput.

Ibuku amat mandiri. la juga menularkan sikap itu pada kami berdua. Aku dan adikku diajar tidak canggung mengerjakan tugas seorang perempuan.

Mencuci, menyetrika, memasak, dan menjahit bukan hal yang sulit bagi kami. Waktu kami tinggal di Jerman, sementara Ibu harus mendampingi Ayah yang bertugas di Indonesia, kami menikmati "kemandirian yang terlatih" olehnya.

Baca Juga: Duta Besar dan Pemimpin Dunia Beri Penghormatan Terakhir kepada Mendiang Presiden Ketiga RI BJ Habibie

Artikel Terkait