Di balik teknologi ramah pengguna
Beberapa bulan terakhir, sederet tokoh di industri teknologi mengakui dampak teknologi pada masyarakat dan pikiran manusia di depan publik.
Sean Parker (38), mantan presiden pertama Facebook, menyebut jejaring sosial sebenarnya mengeksploitasi sisi rapuh manusia.
Dalam pembuatan Facebook misalnya, ia dan timnya berpikir bagaimana caranya aplikasi yang mereka buat dapat menarik perhatian hingga betah menghabiskan waktu selama mungkin dengannya.
Untuk mendapatkannya, Facebook bermain dengan dopamin, zat kimia otak yang mengatur motivasi kita meraih apapun demi kesenangan.
Berdasarkan cara kerja zat kimia itulah tombol “like” dan “comment” diciptakan, karena rasa diperhatikan membuat kita akan makin termotivasi untuk mengepos foto baru, status baru, atau sekadar musik yang baru kita dengarkan.
Kita pun jadi termotivasi untuk berkomentar dan saling memberi like demi “dianggap ada” dan punya kekuatan di dunia maya.
“Para kreator (media sosial) seperti saya, Mark Zuckerberg, Kevin Systrom dari Instagram, sadar hal ini, tapi kami tetap melakukannya, karena dahulu merasa orang dapat mengendalikan penggunaannya,” ujar Parker dalam wawancara dengan Axios.
Pencipta tombol “like” di Facebook, Justin Rosenstein (36), pun mengakui soal ini.
Ia sadar, daya pikat tombol “likes” tidak lain adalah kesenangan palsu yang menggiurkan.
Pada November 2017, ko-kreator Asana ini juga menutup akun-akun sosial medianya.
Ia juga mengoprek sistem operasi laptopnya agar tidak bisa mengakses platform komunitas Reddit yang menurutnya adiktif.
Rosenstein bahkan meminta asistennya untuk mengatur fitur kontrol orangtua di iPhone barunya agar dirinya tidak bisa mengunduh aplikasi baru selain bawaan ponselnya.
Menurut dia, aplikasi membatasi kemampuan manusia untuk fokus.
“Semua orang jadi gampang terdistraksi. Setiap waktu,” ujar Rosenstein dalam laman The Independent.
Jika orang dewasa sepertinya saja butuh asisten untuk mengontrol penggunaan gawainya sehari-hari, tidak heran anak-anak perlu dibimbing orangtua agar terhindar dari adiksi pada gawai.
Lalu bagaimana dengan Anda sendiri? Seberapa dalam Anda sudah terjebak di dalamnya?
Artikel ini telah terbit di Majalah Intisari dengan Judul "Menepis Candu dari Gawaimu."
Source | : | Majalah Intisari |
Penulis | : | Trisna Wulandari |
Editor | : | Mentari DP |
KOMENTAR