Lantas mengapa dua orang yang punya sifat berbeda itu kemudian pada zaman Jepang, dan sesudahnya yakni pada awal berdirinya Republik Indonesia sampai menjelang tahun 1960, dapat tetap menjalin hubungan hingga melahirkan apa yang disebut Dwitunggal?
Jawaban atas pertanyaan ini diberikan oleh Soekarno dan Hatta ketika pada 9 Juli 1942 sekitar pukul 20.30 mereka bertemu untuk kedua kali di rumah Bung Hatta, Oranje Boulevard 57 (sekarang Jln. Diponegoro Jakarta).
Waktu itu, baik Soekarno dan Hatta tidak saling menyukai, namun mereka sama-sama menghadapi tugas yang terlalu besar untuk dipikul sendiri-sendiri.
Oleh karena itu perbedaan dalam hal partai maupun strategi pun ditiadakan.
"Sekarang kita satu. Dipersatukan dalam perjuangan bersama," begitu ujar Soekarno.
"Setuju," sahut Hatta, mereka lalu berjabat tangan dengan khidmat.
"Ini lambang Dwitunggal kita, dua dalam kesatuan,"kata Bung Karno melanjutkan.
"Inilah sumpah khidmat kita berdua untuk bekerja berdampingan, dan tidak pernah terpisahkan lagi sampai negara kita merdeka sepenuhnya."
Kedwitunggalan itu bisa dipandang sebagai prolog kebersamaan mereka dalam menempuhberbagai kesulitan untuk melahirkan dan menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Baca Juga : Benarkah Hasil Quick Count pada Pilkada DKI Putaran Kedua Berbanding Terbalik dengan Hasil Resmi KPU?
Penulis | : | Muflika Nur Fuaddah |
Editor | : | Mentari DP |
KOMENTAR