Di sana, Carys benar-benar menikmati masa kecilnya—baik dengan keluarga maupun tetangga-tetangganya yang hangat.
Keluarga itu biasa menghabiskan musim panas dengan berlayar dan musim dingin dengan bermain ski.
Dr. Geoffrey membuat flying foxes, rumah boneka, biola, dan bahkan sebuah pondok di danau. Semua itu ia lakukan karena ia penasaran bagaimana membuatnya.
(Baca juga: Ariel Sharon, Jenderal Israel Penjagal dari Beirut yang Meninggal Setelah 8 Tahun Koma)
(Baca juga: Israel Pindahkan Ibukota ke Yerusalem, Tugas Pasukan PBB Asal Indonesia pun Makin Berat)
Carys sendiri ingin menjadi seperti ayahnya serta ingin mewujudkan kegembiraan yang biasa ia bawa dalam keluarga.
Tapi hidupnya hancur berkeping-keping saat seorang pemuda masuk ke rumahnya dan menghancurkan dunianya. Semua sudah tidak sama lagi.
Sembilan belas tahun kemudian, tepatnya pada 2011 lalu, Carys duduk di hadapan seorang teman baru yang bertanya tentang si pembunuh ayahnya.
Saat itu Carys sadar bahwa dirinya masih punya waktu untuk sebuah proses pemulihan. Ia bisa berkirim surat dengannya yang masih di dalam penjara itu.
Dari situ ia juga mulai menyusun apa-apa saja yang hendak ia tanyakan kepada laki-laki yang menghancurkan kehidupannya itu.
“Kenapa ia datang ke rumah? Seperti apa hidupnya sebelum melakukan kejahatan? Kenapa ia berbohong tentang siapa pembunuh ayahku begitu lama? Apakah ia mengerti apa yang ia ambil dari keluargaku?” tulis Carys dalam bukunya berjudul Dead Reckoning: How I Came to Meet the Mand Who Murdered My Father.
Carys sejatinya hanya tahu sedikit tentang pembunuhan yang terjadi pada ayahnya. Itu pun berasal dari kliping koran yang diberikan ibunya, beberapa tahun setelah kejadian nahas tersebut.
Penulis | : | Moh Habib Asyhad |
Editor | : | Moh Habib Asyhad |
KOMENTAR