Advertorial
Intisari-Online.com -“Apakah kau tahu tentang si pelaku?” tanya seorang teman setelah Carys Cragg bercerita tentang bagaimana ayahnya meninggal.
Cerita ini sejatinya ia ceritakan kepada seluruh teman barunya.
Pada 1992, ketika Cragg berusia 11 tahun, seorang pemuda, pengguna narkoba, masuk ke rumahnya di tengah malam. Ia mengambil sebilah pisau dapur untuk menakut-nakuti keluarganya.
Tak lama kemudian, terjadi perkelahian antara ayahnya, Dr. Geoffrey Cragg, dengan si pemuda yang mau maling itu.
(Baca juga:Ni Nengah Widiasih: Kalau Gagal, Ya, Coba Lagi! Kalau Jatuh, Ya, Bangun Lagi!)
(Baca juga:Luar Biasa! Bermodal Satu Tangan, Mantan Nelayan Ini Borong 5 Emas dan Pecahkan 3 Rekor ASEAN)
Pemuda itu menusuk perut Dr. Geoffrey dan melarikan diri—meski akhirnya dengan mudah ditemukan pihak kepolisian.
Dr. Geoffrey meninggal beberapa jam kemudian di ruang gawat darurat.
Sementara Carys terduduk di sudut kamar mandi tetangganya, dengan lutut tertekuk, badan menggigil, dan bertanya-tanya: “Apa yang terjadi dengan duniaku?”
Pada saat itu, Dr. Geoffrey sedang dalam masa training menjadi seorang ahli bedah ortopedi, setelah lebih dari satu dekade menjalani praktik medis spesialis keluarga.
Carys beserta orangtua dan saudara kandungnya pindah kota dan membangun kehidupan baru di komunitas baru di Calgary, Kanada.
Di sana, Carys benar-benar menikmati masa kecilnya—baik dengan keluarga maupun tetangga-tetangganya yang hangat.
Keluarga itu biasa menghabiskan musim panas dengan berlayar dan musim dingin dengan bermain ski.
Dr. Geoffrey membuat flying foxes, rumah boneka, biola, dan bahkan sebuah pondok di danau. Semua itu ia lakukan karena ia penasaran bagaimana membuatnya.
(Baca juga:Ariel Sharon, Jenderal Israel Penjagal dari Beirut yang Meninggal Setelah 8 Tahun Koma)
(Baca juga:Israel Pindahkan Ibukota ke Yerusalem, Tugas Pasukan PBB Asal Indonesia pun Makin Berat)
Carys sendiri ingin menjadi seperti ayahnya serta ingin mewujudkan kegembiraan yang biasa ia bawa dalam keluarga.
Sembilan belas tahun kemudian, tepatnya pada 2011 lalu, Carys duduk di hadapan seorang teman baru yang bertanya tentang si pembunuh ayahnya.
Saat itu Carys sadar bahwa dirinya masih punya waktu untuk sebuah proses pemulihan. Ia bisa berkirim surat dengannya yang masih di dalam penjara itu.
Dari situ ia juga mulai menyusun apa-apa saja yang hendak ia tanyakan kepada laki-laki yang menghancurkan kehidupannya itu.
“Kenapa ia datang ke rumah? Seperti apa hidupnya sebelum melakukan kejahatan? Kenapa ia berbohong tentang siapa pembunuh ayahku begitu lama? Apakah ia mengerti apa yang ia ambil dari keluargaku?” tulis Carys dalam bukunya berjudul Dead Reckoning: How I Came to Meet the Mand Who Murdered My Father.
Carys sejatinya hanya tahu sedikit tentang pembunuhan yang terjadi pada ayahnya. Itu pun berasal dari kliping koran yang diberikan ibunya, beberapa tahun setelah kejadian nahas tersebut.
Dari informasi yang sepotong-sepotong itu, bagi Carys, si pembunuh tak sekadar monster, melainkan hantu. Dan ia ingin mengatasi “hantu” itu.
Melalui seorang petugas peradilan, Carys menulis surat pertama kepada terdakwa yang sedang menjalani masa tahanannya.
“Ada banyak hal yang ingin aku katakan, tanyakan, klarifikasi, dan pahami—tapi untuk keperluan surat ini yang ingin lakukan adalah memperkenalkan diri … namaku Carys dan aku adalah putri sulung Geoffrey Cragg, orang yang kematiannya menjadi tanggung jawabmu. Aku berusia 11 tahun ketika kau datang ke rumah dan menghancurkan duniaku menjadi berkeping-keping.”Itu adalah surat pertama dari 15 kali korespondensi selama dua tahun, dari 2011 hingga 2013, dari pantai Pasifik di British Columbia ke padang rumput di Alberta.
“Dear, Carys,”Surat pertamanya dimulai. Ia menulis bahwa ia “terkejut dan khawatir”. Ia tidak ingin menghadapi pembalasan yang konfrontatif atau teror yang lain. Carys pun perlu mengklarifikasi maksudnya.
Ia menulis:
“Hidup kita memang bertabrakan. Bukan karena pilihanmu, tapi oleh keserakahan yang egoistis dan oleh penjahat receh yang bergantung pada obat-obatan yang masuk ke rumahmu malam itu lalu membunuh ayahmu. Secara detailnya akan segera muncul.”Ia benar. Ada detail-detail yang membentang luas, dari waktu ke waktu, di mana ia benar-benar bertanggung jawab atas tindakannya itu. Dalam surat-surat tersebut, baik Carys maupun si pembunuh menulis tentang diri, pekerjaan, serta masa kecil mereka.
“Dari apa yang dapat aku ingat saat kecil, tidak ada cukup makanan di lemari, tapi sepertinya selalu ada cukup uang untuk membeli minuman.”Carys kemudian menanggapi:“Sungguh menakjubkan bahwa hal-hal yang aku takuti ada di luar sana, dan kalau aku benar, orang yang paling kau takuti ada di sini. Aku ingin mengubahnya; aku bisa menatap mata tiga orang yang hendak menghajarku, tapi aku tidak bisa melihat matamu secara langsung.”
“Aku berjanji, apa yang paling aku takuti dalam hidup bukanlah kau, tapi justru kehilangan orang yang aku cintai … jika kita nantinya bertatap muka, semoga ketakutan itu bukan emosi.”Saling berbalas surat itu semakin intens saja. Tentang ayah Carys. Tentang kejahatan. Tentang akibatnya.
“Tak ada yang bisa aku lakukan untuk mengubah apa yang terjadi malam itu. Mudah-mudahan aku bisa mengormatinya (Dr. Geoffrey) dengan memanfaatkan apa yang aku miliki sebaik-baiknya.”Carys membalas:
“Kau bilang bisa menghormati kehidupan ayahku … tapi aku tidak yakin kau bisa hingga kau tahu ayahku. Aku pikir sudah waktunya untuk menjelaskan sedikit tentang siapa dirinya dan akan jadi apa ia.”Supaya lebih gampang untuk menjelaskan tentang ayahnya, Carys memutuskan untuk bertemu langsung dengan si pelaku.
Ketia ia tiba di penjara, satu-satunya yang Carys rasakan adalah apa yang ingin ia rasakan. Marah. Kecewa. Bingung. Puas. Damai. Semuanya jadi satu.
Saat bertemua itulah si pelaku bercerita tentang apa yang terjadi sebelum kejadian nahas itu. Ia juga bercerita, 12 tahun setelah kejadian, ia sempat meminta untuk dibawa ke psikiatris.
Setelah pertemuan tersebut, surat-menyurat masih tetap berlanjut.
Carys menulis:
“Bahkan kau mempertimbangkan untuk masuk ke rumahku adalah hal yang tidak adil. Kau tahu ada keluarga, ada anak-anak, semua ada di sana.”Carys juga menulis sesuatu yang membuatnya meminta maaf.
“Aku menyesal bahwa kau tidak pernah punya kesempatan memiliki ayah seperti saya.”Carys sadar, jika si pelaku itu dibesarkan oleh orang-orang yang sangat memperhatikannya, ia tidak akan pernah masuk ke rumahnya.
Beberapa tahun kemudian, Carys datang ke sejumlah audiensi untuk pembebasan bersyarat si pelaku. Meski awalnya ditolak, permintaan pembebasan bersyarat itu akhirnya dikabulkan juga.
(Baca juga:Misteri Kubah Batu Yerusalem: Sumur Jiwa, Pusat Dunia, dan Tempat Disimpannya Tabut Perjanjian)
(Baca juga:Dulu Orang Melihat Hadi Tjahjanto Sebelah Mata Tapi Tuhan Berkata Lain Lewat Takdirnya)
“Apa menurutmu ia mengerti,” tanya seorang teman kepada Carys tak lama setelah audiensi.
“Aku bisa ia mengerti yang terbaik apa yang ia bisa lakukan,” jawabnya.
Meski mengalami dilema, Carys puas dengan hasilnya. Ia juga teringat dengan surat-surat yang pernah ia kirimkan.
Dan ia pun sadar, bahwa berkirim surat dengannya telah membuatnya merasa lebih baik, lebih tenang dari sebelumnya.
“Kesehatan kita saling bergantung satu dengan yang lain,” tulisnya di New York Post.