Find Us On Social Media :

Agar Depresi Tidak Membuat Sakit, Maka Berdamai Saja dengannya

By K. Tatik Wardayati, Kamis, 11 Oktober 2018 | 06:30 WIB

Intisari-Online.com – Masyarakat awam sering menganggap depresi sebagai kesedihan biasa, bukan sebagai gangguan jiwa.

Padahal jika tidak segera diatasi, depresi bisa menjadi pemicu dari gangguan kesehatan mental atau kesehatan fisik.

Mari kita simak tulisan M. Sholekhudin, Mari Berdamai dengan Depresi, yang pernah dimuat di Majalah Intisari Health 2016.

Depresi bisa terjadi pada siapa pun, tak memandang status ekonomi, sosial, pendidikan, pernikahan, tempat tinggal, dan sebagainya.

Sangat mungkin kita pun pernah mengalaminya. Siapa pun, di mana pun kita tinggal dan bekerja, masalah dan beban hidup selalu ada.

Stress is the spice of life. Complete freedom from stress comes only with death,” kata Hans Selye, mantan presiden International Institute of Stress, University of Montreal, Kanada.

Baca Juga : Gempa dan Tsunami Palu Bisa Menimbulkan Trauma Berat bahkan Depresi bagi Korban, Ini Alasannya

Stres memang berbeda dari depresi. Namun dalam topik ini, keduanya bisa berada di dalam satu bab.

Menurut Rice P.L., penulis buku Stress and Health, depresi adalah gangguan suasana hati (mood), kondisi emosional berkepanjangan yang mewarnai seluruh proses mental (berpikir, berperasaan, dan berperilaku) seseorang.

Umumnya mood yang dominan muncul adalah perasaan tidak berdaya dan kehilangan harapan.

Depresi ditandai dengan perasaan sedih yang psikopatologis, kehilangan minat dan kegembiraan, berkurangnya energi yang menuju kepada meningkatnya keadaan mudah lelah yang sangat nyata sesudah bekerja sedikit saja, dan berkurangnya aktivitas.

Problem kesehatan jiwa semacam ini memang sering dihadapi manusia.

Para futurolog di bidang kedokteran pun meramalkan bahwa di masa depan, manusia akan makin banyak menghadapi penyakit kejiwaan.

Baca Juga : Hindari Depresi dengan Mencintai Hidup Anda Sendiri, Ini 5 Cara Melakukannya!

Gangguan jiwa, termasuk depresi, diprediksi akan semakin kompleks dan merepotkan.

Hasil penelitian Persatuan Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa (PDSKJ) pada Juni 2007, menunjukkan, 94% penduduk Indonesia mengalami depresi dengan berbagai tingkatan.

Hasil riset serupa yang dilakukan Tim Riset Majalah Intisari (2009), 80% orang di lima kota besar di Indonesia mengalami depresi dengan berbagai tingkatan.

Data dikumpulkan melalui telesurvei terhadap pembaca majalah Kelompok Kompas-Gramedia di Medan, Jakarta, Bandung, Semarang, dan Surabaya.

Usia responden antara 20 – 30 tahun, dipilih berdasarkan sampling acak sederhana (simple random sampling) dari populasi 3.367 pembaca terpilih.  

Ada kecenderungan, depresi banyak diderita oleh mereka yang berpendidikan SMA (72%) dan D3 (77%).

Baca Juga : Menurut Ahli, Perbedaan Stres dan Depresi Bisa Diketahui Lho

Pada telesurvei Tim Riset Majalah Intisari (2009), sebagian besar orang mengalami depresi tingkat ringan.

Yang mengalami depresi tingkat berat “hanya” sebesar 5%. Dalam bahasa sehari-hari kita mungkin menyebutnya dengan istilah stres ringan dan stres berat.

Untuk menentukan apakah seseorang mengalami depresi atau tidak, tim riset menggunakan parameter gejala.

Seseorang dianggap mengalami depresi jika ia menunjukkan lima atau lebih gejala dari 10 gejala depresi.

Dari 10 gejala itu, tiga gejala pertama paling sering ditemukan, yaitu sulit berkonsentrasi atau menjadi pelupa; kehilangan semangat untuk melakukan hobi, pekerjaan, atau aktivitas harian; serta mengalami gangguan tidur atau sering terbangun di tengah malam.

Dari survei di lima kota itu, penyebab utama depresi adalah beban hidup, terutama beban ekonomi, yang makin hari makin berat.

Berturut-turut setelah itu: kemacetan lalu lintas; beban kerja atau beban sekolah; problem dengan relasi atau teman; kehilangan orang yang dicintai; ketidakharmonisan keluarga, dan penyakit kronis.

Baca Juga : Sering Memicu Keinginan Bunuh Diri, Ini Gejala Depresi yang Harus Anda Perhatikan

Hasil survei itu juga menunjukkan beberapa kecenderungan. Responden dengan pengeluaran per bulan di atas Rp5 juta (survei tahun 2009) paling banyak mengalami masalah keharmonisan keluarga.

Responden dengan tingkat pendidikan SMA, problem ekonomi lebih sering menyebabkan depresi.

Kecenderungan lain, responden sudah menikah lebih banyak mengalami depresi daripada bujangan.

Karyawan swasta lebih banyak mengalami depresi dibandingkan dengan pegawai negeri sipil.

Distresor dan Eustresor

Apa yang bisa kita lakukan untuk mencegah timbulnya depresi?

Jawabannya mungkin klise. Kita pun sudah sering mendengar nasihat kebajikan, tips, dan aneka saran dalam menghadapi masalah ini. Mari, kita ulangi sebagian.

Baca Juga : Hati-hati, Tumor Otak Punya Gejala yang Mirip dengan Depresi, Wanita Ini Jadi Korban Salah Diagnosis

Kalau fakta menunjukkan kita tidak kunjung bisa menyelesaikan satu masalah klasik, itu indikasi bahwa kita harus menyegarkan lagi tips tersebut.

Jika beban ekonomi, kemacetan lalu lintas, atau problem di tempat kerja bisa membuat kita depresi, itu artinya kita, ini menurut psikiater, belum cukup sehat secara mental.

Belum cukup layak disebut sebagai Homo sapiens, manusia bijaksana, yang bisa menyelesaikan masalahnya.

Dalam tinjauan psikiatri, depresi timbul akibat adanya stresor negatif yang tidak dikelola dengan baik. Stresor bisa berupa distresor dan eustresor.

Distresor adalah stres yang membuat kita tertekan (negatif ). Sedangkan eustresor, “stres” (tekanan) yang membuat kita makin bersemangat (positif).

Baca Juga : Menurut Penelitian Terbaru, Ternyata Ada Gen yang Bisa Memicu Depresi

Tidak ada batas yang tegas antara eustresor dan distresor. Tekanan yang bagi seseorang merupakan distresor, mungkin saja bagi orang lain adalah eustresor. Semua tergantung dari cara pandangnya.

Intinya, distresor bisa diubah menjadi eustresor. Untuk mengubah jenis stresor ini, kita memerlukan alat bantu yang biasa kita sebut sebagai positive thinking.

Dua kata yang gampang sekali diucapkan tetapi tak mudah dipraktikkan.

Sebetulnya ini bukanlah penjelasan baru di dunia psikologi atau psikiatri. Tapi penjelasan ini bisa membantu kita memetakan masalah dengan jelas.

Sekadar contoh, saat menghadapi beban ekonomi, distresor nomor satu. Penghasilan yang pas-pasan bisa dipandang secara sangat berbeda oleh dua orang.

Baca Juga : Mengapa Antidepresan Nyaris Tak Ada Gunanya Lagi untuk Atasi Depresi?

Bisa saja yang satu menganggapnya sebagai beban hidup yang berat (distresor), sedangkan yang lain menganggapnya sebagai tantangan untuk lebih kreatif mencari penghasilan tambahan (eustresor).

Mungkin solusinya bukan dengan meningkatkan penghasilan tambahan, tetapi memangkas kebutuhan. Para ahli perencanaan keuangan berulang-ulang menasihati kita dalam hal ini.

Sangat jamak dijumpai persoalan ekonomi timbul karena ketidakmampuan kita membedakan antara kebutuhan (need) dan keinginan (want).

Mungkin saja solusinya adalah mengubah mindset tentang batas antara merasa cukup dan merasa kurang.

Jadi, solusi depresi bisa berasal dari perencana keuangan, psikolog, psikiater, cendekiawan, atau teman yang bisa memberikan pencerahan.

Menderita itu subjektif

Bagaimana dengan distresor lain seperti masalah kemacetan di jalan raya? Ini pun masalah klasik di kota besar, terutama di DKI Jakarta dan sekitarnya.

Baca Juga : Konflik Pernikahan Charles dan Diana: Surat Paksaan Menikah, Depresi Diana, dan Penderitaan Keduanya

Untuk menghadapi distresor klasik semacam ini, mungkin kita bisa memakai nasihat yang juga klasik, yang sering kita baca lewat buku-buku kebajikan klasik.

Kalau memang kita dapat mengubah distresor itu, kita harus mengubahnya. Tapi tidak mampu mengubahnya, kita harus ikhlas menerima apa adanya.

Ini aturan umum dalam menghindari perasaan tertekan atau depresi.

Untuk bisa melakukan itu, pertama-tama kita harus punya kemampuan untuk membedakan mana yang bisa kita ubah dan mana yang tidak.

Tips itu paling tidak bisa diterapkan untuk distresor lain yang tidak bisa diubah, seperti kehilangan orang yang dicintai atau menderita penyakit kronis yang divonis tak bisa sembuh.

Dua orang yang menderita kanker bisa saja memberikan respons yang jauh berbeda. Yang satu sampai depresi, tetapi yang lain tetap menikmati hidupnya dengan penuh semangat.

Baca Juga : Merasa Depresi? Ketahui 8 Hal Sederhana Ini untuk Menangani Depresi

Keduanya merasakan nyeri fisik yang sama, tetapi tingkat stres psikisnya bisa saja jauh berbeda, tergantung penerimaan terhadap kanker itu.

Dalam ungkapan para praktisi olahmental, “Musibah itu objektif, sedangkan menderita itu subjektif.”

Kita tidak bisa mengubah musibah yang sudah terjadi, tapi kita bisa mengubah cara pandang kita terhadap musibah itu.

Persis seperti nasihat Transito Ariza, tokoh ibu di film Love in the Time of Cholera kepada anaknya, Florentino, yang mengalami depresi berat karena kehilangan orang yang ia cintai, “Enjoy your pain”.

Dalam hidup, ada banyak hal tidak menyenangkan yang tidak bisa dihindari. Daripada tertekan, lebih baik kita menerimanya apa adanya.

Baca Juga : Tidak Tahan dengan Depresi Akibat Pelecehan Seksual, 3 Selebritas Ini Putuskan untuk Bunuh Diri

Aturan umum menghadapi stresor di atas pun bisa diterapkan pada distresor urutan ke-4 dan ke-6, yaitu problem hubungan dengan relasi, kawan, dan pasangan.

Ketika menghadapi masalah-masalah ini, kita harus selalu memetakannya lebih dulu, mana yang bisa diubah dan mana yang tidak.

Kita mungkin tidak dapat mengubah perilaku seseorang agar sesuai dengan keinginan kita. Tapi kita masih bisa mengubah sikap kita.

Dengan kata lain, perilaku kawan atau pasangan yang menyebalkan itu objektif, tapi jengkel dan marah itu subjektif. Itu tergantung kita.

Sebelum menyalahkan teman atau pasangan, ada baiknya kita melakukan koreksi diri terlebih dahulu. Tanpa kita sadari, mungkin saja stres dan depresi itu timbul karena kesalahan kita sendiri.

Baca Juga : Ada Begitu Banyak Drama dan Depresi Sebelum Pernikahan Pangeran Harry dan Meghan Markle yang Megah Itu Terjadi

Mungkin kita terlalu perfeksionis dan terlalu menuntut orang lain untuk berperilaku seperti yang kita harapkan.

Jika tingkat depresi cukup berat dan semua cara sudah dicoba, namun tetap tidak berhasil, mungkin kita perlu mencoba sesuatu yang sama sekali baru dalam hidup.

Seperti yang dilakukan Elizabeth Gilbert, penulis memoar Eat, Pray, and Love.

Setelah mengalami depresi akibat kegagalan dalam urusan cinta, Gilbert memutuskan berkelana sampai akhirnya menemukan cinta dan kedamaian di Bali.

Sebuah tempat yang seperti kata Mr. Joger, “Everyday is holiday, he he he …”.

Baca Juga : Sering Dikaitkan dengan Depresi hingga Beragam Penyakit, Inilah Akibat Kebiasaan Buruk Menggigit Kuku