Find Us On Social Media :

Makam Ramai Dikunjungi, Jabatan Kuncen pun Terpaksa 'Dilelang' Agar Tak Jadi Rebutan

By K. Tatik Wardayati, Kamis, 27 September 2018 | 16:00 WIB

Intisari-Online.com – Produk yang dilelang biasanya barang. Namun di Desa Tambi, Indramayu, Jawa Barat, justru jasa. Yang paling tinggi nilai lelangnya berhak menjabat juru kunci makam Buyut Tambi di desa itu selama dua tahun.

Nilai lelangnya tak tanggung-tanggung, mencapai puluhan juta rupiah. Seberapa keramat dan larisnya makam itu sampai sang juru kunci berani mempertaruhkan uangnya yang tak sedikit itu?

I Gede Agung Yudana dan Al. Heru Kustara menuliskan liputan mereka di Majalah Intisari edisi November 1996, dengan judul Makam Laris Kuncen Dilelang.

--

Kompleks makam Buyut Tambi, yang hanya beberapa puluh meter letaknya dari tepi jalan raya Jakarta - Cirebon itu nampak tidak istimewa. Pagar tembok setinggi 2 m yang mengelilinginya kusam dan tua.

Baca Juga : Hatschepsut, Sang Wanita Firaun yang Membangun Kuil Makamnya Sendiri

Namun keteduhan segera terasa karena sejumlah pohon jati tua yang tinggi menjulang menaungi kompleks makam seluas 1 ha itu. Suasana teduh makin terasa manakala orang masuk ke dalamnya.

Sebab di dalamnya didirikan sejumlah bangunan semacam saung beratap genting setinggi 1,5 m.  Makam Buyut Tambi dan istrinya terletak di dalam bangunan tersendiri yang tertutup.

Nampak beberapa wanita setengah baya dengan kain dan kebaya melangkah pasti memasuki kompleks makam. Satu demi satu mereka segera menghadap sang juru kunci di "meja praktiknya" untuk menyampaikan permohonan.

Juru kunci kemudian mengantarkan permohonan mereka lewat doa yang diucapkannya.

Baca Juga : Cerita Mbah Asih, Juru Kunci Merapi yang Sudah Merasakan Tanda-tanda Sebelum Merapi Erupsi

Dibekali sepotong kemenyan oleh kuncen kemenyan, kemudian mereka secara bergiliran memanjatkan doa di depan pintu bangunan tertutup tempat Buyut Tambi disemayamkan.

Mereka duduk melipat kaki sambil  membakar kemenyan di atas anglo yang disediakan. Ritual ziarah diakhiri dengan mengusap-usapkan asap kemenyan ke wajah dan juga barang bawaan mereka.

Nampak setiap peziarah paham betul tata cara berziarah di tempat itu. Mereka meninggalkan pintu makam Buyut Tambi dengan laku dodok, berjalan mundur dalam posisi jongkok, pantang membelakangi makam.

"Aturannya memang begitu. Kalau tidak, bisa kualat," bisik salah seorang pembantu juru kunci tanpa menjelaskan bentuk kualatnya seperti apa.

Baca Juga : Simpan Batu 'Sakti', Inilah si Mantan Juru Kunci Makam Kartini yang Mengaku Keturunan Raja Brawijaya IV

Cepat kaya, dapat jabatan

Beberapa peziarah langsung pulang. Namun tidak sedikit yang tetap tinggal bahkan menginap beberapa hari di kompleks makam. Tiga saung berlantai semen yang mampu menampung sekitar 300 orang itu memang disediakan untuk peziarah yang menginap.

Satu saung khusus untuk wanita yang sudah bersuami, satu untuk gadis dan janda, dan satu lagi khusus untuk pria. Untuk tidur dan beristirahat, tinggal menggelar tikar saja. Bagi pengunjung yang sedang menderita sakit dan ingin berziarah minta kesembuhan disediakan tempat khusus.

Selain makam Buyut Tambi dan istri yang disemayamkan dalam bangunan berukuran 7 x 5 m2 - dan hanya boleh dibuka oleh kuncen itu - juga terdapat beberapa makam kerabat Buyut Tambi lainnya.  "Ruang kerja” kuncen tepat berada di depan kamar makam Buyut Tambi yang berlapis keramik putih.

Siapa sebenarnya Buyut Tambi tak ada yang tahu persis karena tidak ada cerita legendanya, apalagi fakta sejarahnya. Menurut H. Mustofa, konon dokumen tentang riwayat Buyut Tambi tersimpan di Keraton Kasepuhan atau Kanoman Cirebon.

Baca Juga : Tiga Agama Menyatu di Keraton Kasepuhan Cirebon

"Di sini saya tidak dikasih tahu. Kalau dulu saya tanya pada orang-orang tua, hanya dijawab pokoknya percaya saja," katanya.

Menurut orang-orang tua juga, siapa pun dilarang menceritakan sesuatu yang diketahuinya tentang Buyut Tambi. "Jangan coba-coba bercerita, bisa keliru. Kalau salah bisa celaka seperti dialami seorang dalang yang melakonkan riwayat Buyut menurut versinya. Karena itu saya tidak berani cerita," tambah si juru kunci.

Namun Tajudin (24), petugas penerima tamu kompleks makam itu, toh bercerita juga. "Menurut yang pernah saya dengar, dia itu berasal dari Mesir yang merantau ke sini dan membangun tempat ini. Kebetulan meninggalnya di sini. Cuma, sejarah lengkapnya saya tidak tahu."

Kendati sosok yang dimakamkan di tempat itu samar-samar, toh peziarah yang datang mengalir hampir tak ada putusnya. Pada hari-hari biasa memang tidak banyak jumlahnya. Kadang sedikit, tak jarang pula banyak.

Baca Juga : Sakralnya Tradisi 1 Suro di Cirebon: Benda Pusaka Disucikan, Sang Kerbau Bule pun Ikut Kirab

Namun, bila tiba hari Jumat Kliwon dan bulan Maulud, hari-hari yang dianggap paling afdol untuk berziarah, atau sehabis masa panen, jumlah peziarah mencapai ratusan orang. "Begitu juga menjelang masa ujian sekolah atau kuliah, pelajar dan mahasiswa banyak berziarah ke sini," tutur Tajudin yang biasa dipanggil Udin.

Menurut Udin, kebanyakan para tamu datang untuk berziarah. Namun, di antara mereka juga ada yang punya maksud lain.  "Di sini bisa meminta apa saja, kecuali" minta jalan serong," ungkap Udin.

Tidak sedikit yang membawa keinginan agar segera mendapatkan jodoh, agar usahanya berhasil sehingga bisa kaya, ingin lulus ujian, ingin kariernya cepat menanjak atau mendapat jabatan tertentu.  

Bahkan ada pula yang minta kesembuhan dari penyakit tertentu yang tak mampu diatasi secara medis. "Di sini memang tempatnya menyembuhkan berbagai penyakit. Dari sakit hati sampai penyakit yang tak bisa diobati dokter," bisik salah seorang pembantu juru kunci.

Baca Juga : Ranavalona I, Ratu 'Gila dan Brutal' dari Madagaskar yang Tetap Menewaskan Orang pada Hari Pemakamannya

Tati (bukan nama sebenarnya) gadis berusia 14 tahun, umpamanya, mengaku ingin mendapatkan pekerjaan di sebuah perusahaan benang di Jakarta setelah tidak melanjutkan sekolahnya di bangku SMTP.

"Kalau ingin segera diterima bekerja, datang saja ke (makam) Buyut Tambi," begitu saran tetangganya kepada Tati yang mengaku dipaksa menikah oleh orang tuanya. Anak ketiga dari 6 bersaudara itu menginap di  kompleks makam ini sambil menjalani puasa pati geni (tidak makan-minum sama sekali) selama 3 hari penuh.

Dulu bersarung, kini bersedan

Peziarah berasal dari berbagai lapisan masyarakat, dari kalangan bawah sampai kalangan atas.  "Kebanyakan perempuan. Hampir 75%," kata Udin. Janda kembang ada, gadis pun tak kurang. Profesi peziarah juga beragam. Dari usahawan, mahasiswa atau pelajar, pejabat pemerintah, sampai wanita penghibur.

Baca Juga : Tersembunyi di Dalam 2 Piramida Selama 4.000 Tahun, Keberadaan 800 Makam Kuno Akhirnya Terungkap

"Mungkin, diam-diam juga ada wartawan yang datang ke sini ha ... ha ... ha ...," tambah Suhendy, sekretraris Desa Tambi.

Mereka datang dari berbagai wilayah, terutama Jawa Barat, seperti Indrdmayu, Subang, Karawang, Tasikmalaya, serta Jawa Tengah. "Yang dari Jakarta juga banyak," tambah Udin. Namun tak sedikit pula yang datang dari Madura, Sumatra, dan Kalimantan. "Pernah ada juga peziarah yang datang dari Malaysia," tambah H. Mustofa.

Tercapai atau tidak permohonan mereka yang berziarah ke makam Buyut Tambi, menurut pengamatan Suhendy yang rumahnya bersebelahan dengan kompleks makam, tidak sulit diketahui.

Yang tidak berhasil, umumnya tidak nongol-nongol lagi. Tetapi, "Tidak sedikit peziarah yang nampaknya terkabul permohonannya. Pernah ada peziarah yang dulu sewaktu datang, cuma berbekal handuk dan sarung. Ketika balik lagi ke sini, sudah bersedan. Kaget juga saya!"

Baca Juga : Di Balik Kemegahannya, Kota New York Ternyata Dibangun di Atas Makam Budak Afrika

Selain itu tidak terhitung yang kembali lagi untuk mengadakan semacam syukuran karena keinginannya terkabul dengan membawa kambing, makanan, atau barang lainnya sebagai tanda syukur.

Setiap pengunjung mesti membayar Rp 1.000,- per orang kepada Udin, si penerima tamu. Dana yang terkumpul dari -"tiket masuk" ini dimanfaatkan untuk membayar listrik dan perbaikannya. Sisanya  menjadi hak Udin sebagai upah kerja.

Kepada mereka yang menginap, dikenakan biaya. Namun, Udin enggan menyebutkan besarnya biaya itu. "Ya, kadang-kadang ada yang membawa beras," jelas pemuda asli Tambi lulusan SMTA tahun 1992 itu.

Urusan masak-memasak untuk keperluan tamu, menjadi tugas istri pak kuncen. Mereka yang menginap biasanya menjalani laku puasa. Umpamanya tidak  makan-minum selama 3 hari berturut-turut, cuma makan nasi putih, ketan, pisang, ubi, singkong, atau cengkaruk (gorengan nasi kering).

Baca Juga : 800 Makam Mesir Kuno Ini Ditemukan Arkeolog Di Antara Dua Piramida, Milik Siapa?

Ketika pulang, peziarah biasanya meminta air pada kuncen gentong, juru kunci yang khusus bertugas menyediakan air "suci", untuk diminum sesampai di rumah. Air tersebut diambil dari sumur  tua, ± 500 m dari lokasi makam dan dijaga oleh seorang kuncen.

Menurut cerita dari mulut ke mulut, sumur itu milik Buyut Tambi dan dianggap sumur tertua di desa itu. Menurut tradisi, air harus diambil oleh seorang gadis cilik berusia sekitar 10 tahun, didahului upacara doa oleh kuncen sumur.

Gara-gara kolusi

Peziarah yang terus datang mengalir tentu berarti hujan rezeki buat juru kunci dan para pembantunya. Usai menghadap, seorang peziarah nampak menyalami juru kunci dengan entah berapa lembar uang Rp 10.000,-

Padahal, dalam waktu ± 1 jam tak kurang dari 5 orang datang menghadap. Belum lagi, kalau keinginan peziarah terkabul. "Bahkan, pada hari  haul buyut yang dilaksanakan setahun sekali, bisa ratusan kambing diserahkan ke pak kuncen," jelas Suhendy.

Baca Juga : Selain Makam Putri Diana, Ini 5 Pusara Orang Hebat di Dunia, Ada Makam Shakespeare

Menurut Udin, kalau juru kunci memasang tarif, malah rugi. "Sebab ada kemungkinan orang yang berhasil akan memberikan ratusan ribu, bahkan jutaan rupiah kepada juru kunci," komentar Suhendy.

Peziarah yang permohonannya terkabul biasanya akan berziarah kembali. Bila tarif sudah ditentukan, mereka seperti tidak punya kewajiban moral lagi untuk memberikan sesuatu sebagai tanda syukur.

Namun, khusus untuk memohon agar bisa menjadi kaya, menurut Udin, tarifnya Rp 350.000,-. "Bisa juga sih ditawar," tambahnya. Sementara itu H. Mustofa mengatakan tidak ada tarif-tarifan.

Kalau yang diungkapkan Udin itu benar, barangkali ini salah satu motivasi orang "berebut" menduduki jabatan juru kunci di situ. Dulu, pejabat juru kunci adalah orang-orang yang ditunjuk oleh kuwu (kepala desa).

Baca Juga : Saking Cintanya, Gadis Ini ‘Nikahi’ Jenazah Pacarnya Sesaat Sebelum Dimakamkan

Celakanya, kuwu bisa sewenarig-wenang menunjuk atau memberhentikan juru kunci. "Kalau upetinya sedikit, diberhentikan. Kalau dianggap cukup, ya terus saja. Jadi ada semacam kolusi di situ," ujar Suhendy.

Untuk mengatasi hal itu, katanya, sejak tahun 1960 jabatan itu pun dilelang. Mungkin ini cara yang amat langka dalam dunia penentuan jabatan juru kunci sebuah makam. Siapa yang mengajukan nilai lelang paling  tinggi, dialah yang menang.

Namun, H. Mustofa menambahkan, "Biarpun punya uang kalau tidak diridhoi Mbah Buyut, seseorang tak bakal bisa jadi juru kunci." Mulanya pemilihan kuncen melalui proses lelang yang dilakukan secara terbuka, mirip di tempat pelelangan ikan.

Peserta lelang berlomba-lomba mengungguli pesaingnya tanpa memperhitungkan kesanggupan mereka membayar. Akibatnya, kuncen yang terpilih tak sanggup membayar sejumlah uang yang disebutkan dalam pelelangan.

Baca Juga : Dea Angkasa Putri Supardi, Pendiri Harian Umum Fajar Cirebon

Karena itu, sejak awal 1970-an lelang dilakukan secara tertutup. Panitia pelelangan diketuai oleh kepala desa. Anggotanya terdiri atas tokoh masyarakat, aparat desa, LKMD, dan unsur muspika.

Peserta lelang memasukkan penawaran tertulis mereka dalam amplop tertutup. Siapa yang penawarannya paling tinggi menjadi pemenang lelang dan berhak menyandang jabatan kuncen makam Buyut Tambi selama satu periode yang lamanya 2 tahun.

la boleh mencalonkan lagi setelah selang satu periode. Jumlah calon tidak terbatas. Tetapi biasanya 3 – 4 orang. Seorang juru kunci makam Buyut Tambi, menurut Suhendy, harus keturunan orang yang pernah jadi kuncen makam itu.

Orang luar Desa Tambi pun bisa, asal menikah dengan wafga Tambi dari keturunan juru kunci. "Jadi maksudnya, keturunan yang ngopeni, bukan keturunan Buyut Tambi," tegas H. Mustofa.

Baca Juga : Nenek Buyut Raja Swedia Saat Ini Ternyata Bekas Pacar Napoleon

Aset desa

Syarat lainnya, pria berumur di atas 40 tahun, bebas dari G-30-S/PKI, bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, dan tentu saja punya cukup duit. H. Mustofa sendiri berhak menjabat juru kunci periode 1995 -1997, setelah memenangkan lelang pada November 1995 dengan nilai lelang Rp 70 juta,-!

Hanya selisih sedikit dengan kedua pesaingnya dengan penawaran Rp 67,5 juta dan Rp 56 juta. Selain menjabat juru kunci selama 2 tahun sejak  11 November 1995, Mustofa berhak mengelola sawah dan tanah peninggalan Buyut Tambi seluas 2 ha. "Jadi memenangkan lelang tidak berarti menjadi juru kunci saja, tapi bisa menggarap sawahnya," tegas Suhendy.

Mustofa yang petani ini berani "membeli" jabatan semahal itu tentu dengan keyakinan, rezeki yang bakal dia terima dari peziarah bisa melampaui nilai tersebut. Belum lagi perolehan dari hasil lahan peninggalan Buyut Tambi.

Sayup-sayup terdengar  rupiah yang diterima seorang kuncen dari para peziarah bisa sampai 3 kali nilai lelang.

Baca Juga : Kisah Gadis Cantik yang Melelang Keperawanannya Setelah Frustrasi Dikhianati Sang Pacar

"Saya juga heran, kok dia berani. Kalau dihitung, rata-rata seharinya dia minimal harus mendapatkan uang Rp 100.000,-. Kalau misalnya setiap hari tamunya yang datang cuma dua orang atau sama sekali tidak ada tamu, dari mana dia menutup uang lelang itu?" ujar Suhendy yang sejak menjadi sekretaris desa 8 tahun lalu sudah 5 kali menyaksikan proses pelelangan.

Dari waktu ke waktu, nilai lelang semakin tinggi. Pada periode 1993 - 1995, nilai lelang tertinggi Rp 45 juta. Pada era "kekuasaan" H. Mustofa sebelumnya,-1991 - 1993, nilai lelangnya lebih rendah lagi, Rp 30,5 juta. Ada semacam peraturan tak tertulis yang mensyaratkan nilai lelang pada periode berikutnya tak boleh kurang dari yang sebelumnya.

Uang lelang dibayarkan dua kali, 50% dibayarkan ketika memenangkan lelang, dan sisanya pada awal tahun kedua. "Pembayarannya tidak boleh dicicil," jelas Suhendy. "Paling lambat dalam tempo setengah bulan setelah terpilih," tambah H. Mustofa.

Bila pada tahun kedua juru kunci  tak sanggup membayar, maka ia pun "dipecat" untuk dilakukan pelelangan kembali.

Baca Juga : Kakak Syahrini Meninggal Tersengat Listrik: Kedua Orang Ini Justru Mengklaim 'Kebal Sengatan Listrik'

Bagi Desa Tambi, uang lelang ini merupakan pendapatan desa yang terbesar. "Yang 40% berasal dari swadaya masyarakat," ungkap Suhendy. Uang pelelangan juru kunci makam Buyut Tambi itu masuk ke kas desa dan dipergunakan untuk memutar roda pembangunan desa, termasuk perawatan kompleks makam itu sendiri.

Wajar kalau kemudian pihak desa mempertahankan kompleks makam ini sebagai aset yang menguntungkan. "Kalau Tambi tidak punya makam buyut, dari mana kami dapat dana untuk pembangunan desa ini?" ujar Suhendy.

"Seandainya makam Buyut Tambi dijadikan objek wisata ziarah atau cagar budaya yang dikugsai pemda, itu bisa saja. Tapi nanti 'kan masyarakat desa yang memutuskan," tambahnya.

Belakangan ini Dinas Pariwisata Dati II Indramayu memang sedang mendata berbagai makam sejenis di seluruh Indramayu yang berpotensi untuk dijadikan objek Wisata Ziarah.

Baca Juga : Cerita Dari Gunung Kemukus, Ini Makna Ziarah Dan ‘Ritual Seks’ Di Sana Menurut Warga Sekitar