Find Us On Social Media :

Setiap Orang Bisa Memiliki Gelar Raden, yang Penting Bawa Urutan Silsilah Keluarga

By K. Tatik Wardayati, Sabtu, 4 Agustus 2018 | 09:45 WIB

Intisari-Online.com – Dulu, gelar kebangsawan banyak membuat orang lain iri karena dengan gelar itu mereka mendapatkan keistimewaan.

Mungkinkah orang yang bukan keturunan raja bisa mendapatkan gelar kebangsawanan? Julius Pour menuliskannya dalam Setiap Orang Bisa Memiliki Gelar Raden dalam Majalah Intisari edisi November 1974, seperti berikut ini.

--

Ada berbagai macam gelar dipergunakan orang, dalam lingkungan kerabat kerajaan Jawa. Sebagian diantara gelar tersebut meniunjukkan jabatan mereka dalam pemerintahan keraton, Sisanya menunjukkan tingkatan pemiliknya dalam urutan daftar keluarga Raja.

Baca juga: Dialah Raden Wijaya, Raja yang Berhasil Mengalahkan Pasukan Dinasti Yuan dari China

Bagaimana pun juga, gelar yang dimiliki seseorang akan menentukan tempat duduk mereka dalam protokol keraton, ketika menghadap Raja.

Yang umum dan banyak sekali pemakainya, karena merupakan gelar bangsawan terrendah, adalah “Raden". Mereka yang menaruh “Raden” dimuka nama aslinya menunjukkan, sang pemilik masih merupakan keturunan langsung dari seorang Raja Jawa atau seorang Wali (penyebar agama Islam kepulau Jawa, pertama kali).

Walau mungkin saja, entah dengan Raja, yang memerintah ratusan tahun berselang.

Apakah mendapat tambahan “Raden" dimuka nama asli sampai haii ini masih sanggup membahagiakan seseorang? Nampaknya demikian.

Baca juga: Inilah Matilda Chong, Warga Singapura yang Diberi Gelar 'Putri' oleh Keraton Surakarta

Karena hampir setiap waktu, berdatangan orang ke kantor keraton Yogyakarta, lengkap berbekalkan segala silsilah keturunan dan para saksi yang diperlukan, memohon penganugerahan surat keputusan.

Dimana nanti, lewat selembar surat bermeterai tempel akan dinyatakan, pemiliknya memang berhak menaruh gelar “Raden" dimuka namanya secara sah. Sehingga orang lain bisa melihat serta mengakunya (jika mau), mereka termasuk dalam golongan bangsawan Jawa.

Untuk tahuji 1974 ini saja, rata-trata setiap bulannya masuk permohonan sebanyak 30 buah, dari setiap penjuru Tanah Air kita, dari mereka yang menginginkan gelar kebangsawanan “Raden".

Ini berarti, saban hari akan “dilahirkan” seorang bangsawan (keturunan Sultan) baru, dalam lingkungan keraton Yogya.

Baca juga: Lagi, Demi Cinta Sejatinya, Putri Kerajaan Jepang Rela Tinggalkan Gelar Kebangsawanannya

Jumlah di atas sebenarnya masih harus ditambah lagi, karena mungkin saja ada seorang calon bangsawan yang tidak mengajukan permintaan pengesahan kepada keraton Yogya. Tetapi justru memilih keraton Surakarta, Pura Mangkunegaran Solo atau Pura Paku Alaman Yogya.

Dengan suatu alasan, justru di keraton yang bersangkutan, pertalian darah mereka agak lebih dekat atau lebih jelas dibuktikan.

Permohonan dengan lamplran silsilah

Untuk lingkungan keraton Yogya, mereka yang ingin menjadi seorang bangsawan, wajib mengajukan surat permohonan  ditujukan kepada Tepas Dwarapura dengan alamat Kepatihan Yogya.

Baca juga: Dialah Raden Wijaya, Raja yang Berhasil Mengalahkan Pasukan Dinasti Yuan dari China

Dalam surat tersebut, para calon harus melampirkan daftar silsilah asal-usul keluarga.  Disamping surat keterangan kelahiran serta nama saksi yang akan memperkuat kebenaran asal-usul pemohon.

Dari Kepatihan, surat permohonan kebangsawanan seseorang langsung diselesaikan seperlunya   oleh kantor Sri Wandawa keraton Yogya. Dimana  para petugas kantor ini akan melakukan penelitian kebenarain silisilah keluarga serta mengambil sumpah, baik sang pemohon maupun saksi yang mereka ajukan. Mengapa sumpah harus diucapkan?

Alasannya hanya satu. Tidak mungkin bagi para petugas untuk meneliti sendiri kebenaran daftar keturunan, yang menyangkut puluhan nama orang yang telah puluhan bahkan ratusan tahun meniniggal dunia.

Oleh karena itu, satu-satunya cara hanyalah dengan mengambil sumpah seseorang. Bahwa sejauh menyangkut asal-usul keluarganya, apa yang mereka tulis  dan ucapkan benar seluruhnya.

Baca juga: Raden Wijaya, Raja yang Berhasil Mengalahkan Pasukan Dinasti Yuan

Dalam artian, daftar tersebut jika ditarik ke atas, akhirnya bisa berhenti kepada nama seorang Raja atau Wali. Sehingga dengan demikian, seluruh keturunannya, dengan sah berhak akan gelar “Raden". Sebagai tanda, mereka mempunyai pertalian darah dengan Raja.

Jika prosedur di atas sudah dilakukan, proses permohonan kebangsawanan pada umumnya selesai. Calon bangsawan yang bersangkutan tinggal menunggu keluarnya surat keputusan dari keraton. Yang biasanya ditandatangani oleh GPH (Gusti Pangeran Haryo) Suryo Bronto, yang bertindak selaku wakil Sultan Hamengku Buwono ke IX, penguasa keraton Yogya saat ini.

Beaya keseluruhan proses  teraehut hanya sebesar Rp. 50. Dimana yang Rp. 25,— akan kembali dalam wujud meterai, ditempel pada surat keputusan. Muka pertama surat keputusan bertuliskan huruf Jawa, berisikan keterangan nama lengkap peserta gelar baru yang mereka peroleh.

Diikuti  keterangan kelahiran beserta alamatnya. Sementara catatan disebaliknya bertuliskan huruf Latin mencantumkan daftar silsilah keturunannya, sampai berapa generasi.

Baca juga: Lukisan Perang Kembang Pak Raden yang Tak Kunjung Sampai ke Tangan Jokowi

Banyak sedikitnya daftar nama, tergantung jauh tidaknya jarak sang pemilik dengan nama Raja yang dijadikao patokan keturunan.

Paling banyak, 17 generasi

Surat keputusan kebangsawanan kerajaan Jawa tidak memakai pas photo, meskipun lengkap dengan segala macam tanda tangan dan cap pengesahan. Mungkin ini kebiasaan sejak dahulu, Seluruhnya, ada 24 kolom nama tersedla, dalam daftar keturunan.

Namun sejauh ini, paling 17 nama tertulis disana. Dengan deretan generasi sampai 17 orang, entah dibuktikan secara bagaimana, keturunanaya menyatakan diri memiliki pertalian darah dengan Raja Brawijaya dari keraton Majapahit.

Baca juga: Rasa Buah Maja Ternyata Tidak Sepahit Akhir Kisah Majapahit yang Porak-poranda

Maka meskipun jarakoya demikian jauh, hubumgan darah dengan seorang Raja wajib diakui. Alhasil, keturunan Brawijaya tersebut, berhak juga dengan sebutan “Raden".

Tidak ada ketentuan yang membatasi, sampai generasi keberapa, gelar “Raden" berakhir. Satu-satunya ketentutuan hanyalah, sampai ke generasi keempat, seseorang masih berhak menaruh gelar “Raden Mas".

Sedang keturunan selanjutnya, tanpa batas, berhak dengan gelar “Raden". Ketentuan tersebut khusus berlaku dalam keraton Yogya. Karena untuk keraton Surakarta, sampai generasi kelima, masih berhak gelar ,,Raden Mas". Dan baru generasi selanjutnya, hanya bergelar “Raden", juga tanpa pembatasan kapan berakhir.

Tempo dulu, gelar yang dimiliki seseorang, akan mempengaruhi tata cara peradilan, seandainya mereka melakukan pelanggaran hukum. Seorang dengan gelar “Raden Mas", di karaton Yogya berarti keturunan keempat (paling jauh) dari Sultan.

Baca juga:Begini Asal Muasal Tradisi Mudik, Ternyata Sudah Ada Sejak Zaman Majapahit

Jika melakukan pelanggaran hukum, peradilannya diselenggarakan oleh “Pengadilan Darah Dalem", khusus bagi kerabat dekat Raja. Dan nanti, jika terbukti bersalah misalnya, tempat hukuman berbeda dengan orang kebanyakan.

Meskipun sama saja hidup dalam penjara, tempatnya diatur berbeda dan jelas memiliki fasilitas lebih sempurna. Sayang sekali, untuk mereka yang hanya memiliki gelar “Raden" tanpa “Mas", berarti keturunan kelima dan seterusmya dari seorang Raja, tidak ada perlakuan khusus.

Untuk golongan bangsawan terendah ini, peradilannya dilakukukan oleh Pengadilan Umum. Begitu juga jika masuk penjara, akan dicampur baurkan dengan orang kebanyakan, rakyat awam yang tidak mempunyai pertalian darah bangsawan.

Setiap orang, berkesempatan

Baca juga: Inilah Celengan Majapahit Tertua di Dunia, Bukti Abad 14 Telah Menggunakan Koin

Di muka disebutkan, para calon bangsawan hanya diwajibkan menyerahlkan daftar keturunan dan mengucapkan sumpah kebenaran. Maka secara teoritis, setiap orang bisa saja mendapat gelar “Raden", jika mereka berani bersumpah, daftar ketutrunan yang mereka ajukan adalah benar! Tidak mungkin orang lain meneliti, kebenaran yang diajukan.

Mungkin ada yang mengira, seoranig Raja Jawa hanya memiliki beberapa orang keturunan. Dugaan tersebut nampaknya meleset. Karena beberapa Raja tempo dulu, memiliki demikian banyaknya isteri, sehingga menurunkan begitu banyaknya putera dan puteri. Dimana akhimya nanti, mereka akan beranak piyak lebih banyak lagi hingga tak terhingga.

Sebagai contoh, Paku Buwono ke IV dari keraton Surakarta mempunyai 25 isteri yang membuahkan 56 putera. Sedang Sultan Hamengku Buwono ke II dari Yogya, tercatat mempunyai isteri 33 orang yang akhirnya menghasilkan keturunan sebanyak 80 orang.

Ini baru dua contoh. Dengan demikian jelas, pemilik gelar “Raden" pasti sudah puluhan ribu orang. Karena selama lima tahun terakhir ini saja, kantor Sri Wandawa keraton Yogya sampai  bulan Agustus 1974, sudah mengesahkan pemakaian “,Raden" sebanyak 6.768 orang.

Baca juga: Musik Krumpyung, Musik yang Sudah Ada Sejak Zaman Majapahit, Namun Kini Miskin Penerus

Datang dari setiap penjuru Indonesia, dari berbagai macam suku bangsa. Sebab dari beberapa orang keturunan Raja tersebut, ada juga yang mengambil isteri bukan dari Jawa. Sehingga bagaimanapun juga, keturunannya tetap masih berhak akan gelar “Raden".

Putera langsung seorang Raja Jawa, semasa kecil mempunyai gelar BRM (Bendoro Raden Mas). Jika puteri, gelarnya BRA (Bendoro Raden Ajeng)). Kalau mereka menikah, yang putera diganti gelarnya menjadi GPH (Gusti Pangeran Haryo).

Tetapi putera yang bukan dari Permaisuri, bergelar BPH (Bendoro Pangeran Haryo). Untuk puteri tidak ada perubahan, kecuali singkatan A tdiak lagi “Ajeng", melainkan “Ayu".

Hanya seorang diantara para Pangeran akhirnya menduduki tahta kerajaan. Tetapi jelas dari puluhan Pangeran yang ada, kebanyakan pasti mempunyai keturunan. Keturunan lelaki bergelar “Raden Mas", yang perempuam “Raden Ajeng", setelah kawin menjadi “Raden Ayu".

Baca juga: Reog Ponorogo, Sebuah Tarian Pemberontakan yang Ditujukan untuk Majapahit

Seorang  “Raden Mas" masih bisa  menurunkan lagi “Raden Mas" baru. Tetapi keturunannya selanjutnya hanyalah “Raden" biasa. Jika keturunannya perempuan, gelarnya “Raden Roro", setelah kawin, “Raden Nganten".

Tetapi seseorang mungkin juga menjadi seorang Raden dan sekaligus Pangeran, meskipun mereka bukan merupakan keturunan langsung dari seorang Raja. Hal ini bisa dicapai oleh para pegawai keraton yang mempunyai nasib baik serta catatan kerja terpuji.

Tingkat kepegawaian terendah adalah “Jajar". Jika tugasnya baik, jenjang kepangkatannya meninggi menjadi seorang “Bekel". Demikikian terus-menerus naik menjadi “Lurah", “Wedana" dan akhirnya “Riyo".

Seandainya pegawai termaksud masih terus dinaungi nasib baik, Raja bisa mengangkatnya menjadi Bupati dengan gelar “KRT" (Kanjeaig Raden Tumenggung).

Baca juga: Meski Tampak Gersang dan Tak Semegah Borobudur, Majapahit Ternyata Punya Tinggalan di Tapanuli dan Begini Penampakannya

Seorang KRT masih mungkin naik sekali lagi kearah jenjang tertinggi dalam kepangkatan keraton, kali ini gelamya “KPH" (Kanjeng Pangeran Haryo). Meskipun demikian, karena mereka memang bukan keturunan langsung Raja, keturunan para pegawai tersebut tidak secara otomatis mewanisi gelar yang diperoleh ayah mereka dari anugerah keraton.

Hanya pengabdian perseorangan kepada Raja yang sedang bertahta, sanggup mengangkat derajat si orang yang bersangikutan.

Nama berbau “asing", tanpa gelar.

Ketika dua tahun yang silam Sri Susuhunan Paku Buwano ke XII dari keraton Solo mengangkat pedagamg barang antik Go Tik Swan menjadi  KRT Harjonegoro, banyak orang agak terperanjat.

Baca juga: Benarkah Majapahit Pernah Menguasai Seantero Nusantara? Arkeolog: Itu Omong Kosong!

Sebenarnya, peristiwa semacam itu, sudah sering terjadi pada masa lalu. Dalam artian, seorang Raja Jawa mengangkat bukan dari keturunan Jawa menjadi bangsawan tinggi dalam keratonnya.

Beberapa nama, misalnya dari golongan keturunan Tiong Hoa, pernah muncul daJam sejarah. yang mungkin karena pengabdiannya, ia kemudian diangkat oleh Raja yang kebetulan sedang berkuasa menjadi bangsawan tinggi.

Agak menarik adalah tokoh KRT Sutodiningrat, dalam lingkungan keraton Yogya. la memang anak Jawa asli. Ketika ayahnya meninggal, ibunya kawin lagi dengan seorang Tiong Hoa.

Kebetulan keluarganya mempunyai pertalian darah dengan Sultan Mangku Rat Agung, disamping  kecakapannya pribadi sehingga bisa menduduki  jabatan kepala masyarakat Tiong Hoa.

Baca juga: Meski Tampak Gersang dan Tak Semegah Borobudur, Majapahit Ternyata Punya Tinggalan di Tapanuli dan Begini Penampakannya

Anak lelakinya, yang mewarisi jabatan sang ayah, mengambil nama sama, yakni KRT Sutodiningrat ke II. Sutodiningrat Junior, beristerikan delapan orang, sebagian keturunan Tiong Hoa sisanya puteri Jawa. Tentu saja, keturunannya yang amat banyak, akhirnya menghasilkan keluarga aneka rupa sampai hari ini.

Dari berbagai orang yang mengajukan permohonan gelar  kebangsawanan ke kantor Dwarapura Yogya, beberapa nama jelas bukan nama Jawa asli. Pengalaman selama ini menunjukkan, permohonan gelar tersebut blasanya dapat diluluskan.

Karena sebelumnya, para calon pasti sudah mempersiapkan serapi mungkin daftar silsilah keluarganya. Sehingga tidafe ada alasan lagi, untuk menolak permohonan yang diajukan.

Sebuah ketentuan yang diadakan,  jika nama asli pemohon masih berbau “asing",  hanya daftar pengesahan keturunan diberikan. Tentang gelar “Raden", tidak ikut diberfkan. Namun seandainya pemohon sukarela mau mengubah namanya menjadi nama Jawa, langsung “Raden" bisa dituliskan dimuka nama tersebut.

Baca juga: Kapan Tepatnya Orang Indonesia Mengenal ‘Budaya’ Mudik Menjelang Lebaran? Benarkah Sejak Zaman Majapahit?

Bagaimanapun juga, ketentuan di atas berlaku secara luwes. Untuk nama calon bangsawan yang berasal dari bahasa Arab, gelar “Raden" tetap diberikan. Begitu juga dengan beberapa pemohon yang memeluk agama Kristen, lengkap dimuka nama pemandiannya, ditaruhkan gelar kebangsawanan yang telah disahkan pemakaiannya.

Yang sulit hanyalah, menuliskan nama-nama “asing" termaksud dengan huruf Jawa. Karena adanya perbedaan ejaan dan terbatasnya abjad huruf Jawa. Alhasil, dalam hal ini, akhirnya terpulang kepada para pemilik nama itu sendiri.

Disamping, tentu saja, bagi orang lain. Mau tidak mereka memanggil nama rekannya, dengan sebutan “Raden". Jika orang lain berkenan, berhasillah mereka dalam usahanya memperoleh gelar kebangsawanan.

Tetapi jika orang lain tetap juga memanggil dengan nama aslinya ketika dilahirkan, ini memang resiko yang harus ditanggung oleh para bangsawan tersebut.

Baca juga: Raden Ajeng Kartini Ternyata Sangat Menyukai Fotografi