Advertorial

Musik Krumpyung, Musik yang Sudah Ada Sejak Zaman Majapahit, Namun Kini Miskin Penerus

Mentari DP

Editor

Saat ini, Sumitro mungkin satu-satunya orang yang saat ini menggeluti pembuatan alat musik krumpyung.
Saat ini, Sumitro mungkin satu-satunya orang yang saat ini menggeluti pembuatan alat musik krumpyung.

Intisari-Online.com – Seperti sudah garis nasib, yang namanya seni musik tradisional cenderung makin menipis peminatnya.

Contohnya musik krumpyung.

Musik krumpyung adalah musik yang mengandalkan instrumen musik dari bambu salah satunya.

Saat ini, Sumitro mungkin satu-satunya orang yang saat ini menggeluti pembuatan alat musik krumpyung.

(Baca juga:Hari Musik Nasional: W.R. Supratman, Pahlawan dengan Masa Kecil yang Murung, Kurus, dan Kudisan)

(Baca juga:Larangan Dengarkan Musik saat Berkendara: Inilah Penyebab Utama Kecelakaan Menurut Pakar Transportasi)

Di rumahnya di Desa Hargowilis, Kecamatan Kokap, Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta, yang juga dijadikan sanggar bambu dengan nama Seni Kerajinan Bambu alias "Serambu" itu tersimpan seperangkat instrumen musik krumpyung.

Dibuat sendiri oleh Sumitro sekitar 30 tahun lalu, alat musik itu masih dalam keadaan terawat dan berfungsi dengan baik.

Gara-gara anak sulungnya yang kala itu baru berumur sembilan tahun terus merengek, Sumitro memenuhi keinginannya untuk membuat alat musik jenis itu.

Padahal Sumitro yang juga seorang niyaga alias penabuh gamelan ini belum pernah sekalipun membuatnya.

Didorong oleh rasa sayangnya pada si anak sulung, Witro Purbadi, yang semula lahir normal tapi kemudian menderita kebutaan akibat sakit panas saat berusia sembilan bulan itu, maka dibuailah kethuk kenong.

Merasa berhasil membuat karya pertamanya itu, Sumitro kemudian melengkapinya dengan jenis-jenis instrumen lainnya.

Mulai dari krumpyung itu sendiri, lalu demung, saron, peking, bonang, gambang, kempul ("gong" kecil), gong sebul (tiup), dan gendang. Semuanya terbuat dari bahan dasar bambu.

Meski namanya sama dengan unsur-unsur gamelan jawa, pada umumnya sosok alat-alat musik dari bambu ini sama sekali tidak bentuk instrumen gamelan.

(Baca juga:Viral Larangan Dengarkan Musik saat Berkendara: Benarkah Dengarkan Musik Bisa Jadi Penyebab Kecelakaan?)

Yang jelas, efek bunyi masing-masing alat itu dibuat mendekati dan disesuaikan dengan bunyi dan laras setiap instrumen gamelan yang terbuat dari perunggu.

Gong sebul, misalnya. Bentuknya tidak bulat seperti gong, tetapi berupa sepotong bambu petung (Ochloa gigantea, bambu raksasa) dengan panjang tertentu sesuai dengan nada yang hendak dihasilkan.

Cara membunyikannya bukan dengan dipukul, melainkan ditiup.

Witro Purbadi mengaku, ia dulu merengek pada ayahnya agar dibuatkan alat musik krumpyung setelab mendengar musik dari Banyuwangi, Jawa Timur, yang juga dimainkan dengan instrumen musik dari bambu.

Sepengetahuan Sumitro, bunyi-bunyian dari bambu sudah ada sejak zaman Majapahit.

Kesenian itu lalu dibawa orang ke daerah Gunung Kidul (kini masuk wilayah Provinsi Dl Yogyakarta) pada masa Kerajaan Mataram Islam.

Pada awal abad ke-20 alat musik dari bambu itu konon dibawa orang ke Jawa Barat.

Lantas lahirlah alat musik yang sekarang kita kenal sebagai angklung, tetapi nada-nadanya sudah diubah menjadi nada diatonik, sesuai dengan selera masyarakat setempat.

Bunyi-bunyian dari bambu kini bisa ditemukan di berbagai pelosok Nusantara.

Adalah Gunokanyo (almarhum) - penyandang tunanetra yang tinggal di Desa Hargotirto, tak jauh dari Desa Hargowilis - pada tahun 1919 membuat bunyi-bunyian berbahan bambu yang kemudian dinamakan alat musik krumpyung.

Seperangkat instrumen musik buatannya itu masing-masing berupa krumpyung, kethuk anggang-anggang, gong sebul, dan gendang.

(Baca juga:Sukses dan Bikin Rekor di Industri Musik AS, Rapper Indonesia Rich Brian Sebenarnya Hanya Berusaha Jadi Orang Berguna)

Pesanan luar negeri

Instrumen krumpyung itu merupakan penghasil melodi utama.

Bentuknya berupa sejumlah angklung yang digantung pada kerangka bambu dan disusun berderet sesuai urutan nadanya; 6-1-2-3-5 untuk tangga nada pentatonik, atau do-re-mi dst. untuk tangga nada diatonik.

Mungkin karena peranannya yang menonjol dan, kalau ditenteng, bunyinya pating krumpyung di telinga orang Jawa itulah, seperangkat instrumen musik dari bambu ini lantas disebut saja krumpyung.

Dulu, pertunjukan musik krumpyung sering ditampilkan dalam acara-acara seperti hajatan perkawinan, khitanan, atau berbagai perayaan adat lainnya. Juga untuk mengiringi tari Tayub. Di zaman pendudukan Jepang, musik itu sempat menghilang.

Baru pada tahun 1973 muncul lagi dengan dibuatnya alat musik ini oleh Sumitro.

Bahkan pada tahun itu juga pergelaran musik krumpyung sempat dipentaskan di hadapan para tamu peserta Konferensi UNESCO yang diselenggarakan di Surakarta, 19 Desember.

Walaupun kini sudah semakin jarang, masih ada sebagian masyarakat penggemarnya yang memanfaatkan musik krumpyung sebagai musik pengiring pertunjukan kesenian tradisional Jawa, khususnya di pedesaan.

(Baca juga:Jangan Mengulanginya Lagi, Ini Bahayanya Tidur Sambil Mendengarkan Musik Lewat Earphone)

Dalam Festival Gamelan Internasional yang diselenggarakan beberapa waktu lalu, musik krumpyung ikut dipentaskan dalam event bertaraf internasional itu.

Sebelumnya, pemusik Indonesia dan Prancis pernah berkolaborasi memanfaatkan musik krumpyung untuk penyusunan komposisi musik kontemporer.

Itu berarti musik krumpyung sedikit banyak sudah dikenal di mancanegara. Sejumlah orang yang antara lain datang dari Australia dan negara-negara di Eropa pun pernah belajar musik krumpyung pada Sumitro.

Beberapa setel perangkat musik ini juga pernah dibuat Sumitro untuk memenuhi permintaan pesanan dari luar negeri.

Selain yang berbasis tangga nada pentatonik, Sumitro juga bisa membuat alat musik dari bambu bertangga nada diatonik, yang dapat digunakan untuk mengiringi atau memainkan lagu-lagu kontemporer.

Yang bertangga nada diatonik itu antara lain angklung, calung, atau gambang.

Kesanggupan Sumitro tidak hanya berhenti di situ. la juga melahirkan kreasi-kreasi lain, umpamanya saja "musik taman".

Dinamai begitu karena instrumen musik ini biasanya ditaruh di suatu taman.

Musik ini dihasilkan oleh instrumen yang digerakkan dengan air.

Bahkan si pemesan dapat meminta dibuatkan alat musik yang memainkan lagu tertentu sesuai seleranya. Pesanan "musik taman" semacam ini pemah datang dari Belanda.

Selain yang digerakkan dengan air, Sumitro juga membuat alat musik taman yang digerakkan oleh tiupan angin.

Kini sudah ada dua perusahaan ekspor, berkedudukan di Yogyakarta dan Bali, yang menampung produk-produk sanggar bambu milik Sumitro untuk dipasarkan ke luar negeri.

(Baca juga:Momen Kembalinya Sang Legenda Koes Plus ke Panggung Musik Indonesia Pasca Meninggalnya Tonny)

Miskin penerus

Musik krumpyung sebenarnya menyimpan daya tarik.

Akan tetapi, sayangnya, saat ini penggemarnya hanya dari kalangan tertentu. Itu pun terbatas jumlahnya.

Kalangan anak muda kurang menyukai. Mereka lebih gandrung pada musik-musik masa kini, misalnya pop, dangdut, atau campursari.

Dalam pengamatan Sumitro, sepanjang beberapa tahun terakhir ini tidak ada anak muda yang tertarik untuk belajar memainkannya.

Padahal, kalau mau, instrumen musik dari bambu ini bisa juga dipergunakan untuk mengiringi lagu-lagu pop, dangdut, atau campursari kegemaran mereka itu.

Kalau masih mau juga, biaya untuk menanggap kelompok musik krumpyung ini pun sebenarnya relatif.

Ambil contoh, untuk pementasan di wilayah Provinsi DI Yogyakarta, tarifnya Rp 1 juta. Sedangkan di luar kawasan itu tinggal ditambah ongkos transportasi dan akomodasi.

Usia Sumitro sudah lebih dari setengah abad. la dan keluarganya menggantungkan hidup dari sanggar bambunya yang menghasilkan kerajinan alat musik dari bambu.

Di antara sedikit generasi yang lebih muda dari Sumitro, hanya keempat anaknya yang sanggup membuat dan memainkan instrumen musik tradisional dari bambu itu.

Mampukah musik krumpyung bertahan di tengah arus deras globalisasi yang dahsyat ini?

(Baca juga:Meski Sudah Berusia 1700 Tahun, Anda Tidak akan Menyangka Jika Alat Musik Kuno Ini Masih Bisa Dimainkan)

(Ditulis oleh Adi Mustika. Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi September 2003)

Artikel Terkait