Find Us On Social Media :

Pilkada 2018: Inilah Alasan Metode Coblos Diganti jadi Contreng, Benarkah Lebih Aman dari Manipulasi?

By K. Tatik Wardayati, Rabu, 27 Juni 2018 | 10:30 WIB

Baca juga: Menurut Survei, Mayoritas Masyarakat Inginkan Demokrasi Pancasila Jadi Perekat Bangsa

Acara mencoblos yang sudah seperti turun-temuruh itu pun diagendakan untuk diganti  dengan mencontreng dengan menggunakan pensil atau bolpen. Konon, metode mencoblos sendiri memang sudah "sangat" ketinggalan", dan lama ditinggalkan oleh negara-negara di dunia. Jumlah negara yang masih memakai cara ini kurang dari 5 negara saja.

 Seiain itu, cara mencoblos juga dianggap sangat rentan terhadap manipulasi, seperti sudah terbukti dilakukan di masa  Orde Baru. Niat pindah dari coblos ke contreng makin kuat sebab tingkat melek huruf di Indonesia sudah semakin meningkat, sehingga rasa-rasanya, urusan contreng-mencontreng tidak akan menumbuhkan masalah.

Sebenarnya, sejak 2004 tata cara pemilu mulai mengalami perubahan. Dari sistem proporsional daftar tertutup menjadi sistem proporsional daftar terbuka. Kalau dalam sistem tertutup pemilih hanya dapat memilih tanda gambar partai, maka dalam sistem terbuka pemilih dapat juga memilih nama caleg yang mereka ingin pilih.

Dengan demikian, saat memilih mereka dapat mencoblos tanda gambar partai saja atau tanda gambar partai dan nama caleg.

Aspirasi untuk memilih dengan cara menandai diakomodir dalam Undang-Undang Pemilu No. 10 Tahun 2008 sebagai dasar penyelenggaraan Pemilu 2009.

Baca juga: Social Media, Pilar Kelima Demokrasi?

Pasal 153 UU tersebut menyatakan, "Pemberian suara untuk pemilu anggota DPR, DPD, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota dilakukan dengan memberikan tanda satu kali pada surat suara".

Tidak dijelaskan lebih lanjut dalam UU ini, seperti apa tanda yang harus dituliskan oleh pemilih. Yang, bukan tanda tangan yang pasti terlalu panjang.

Alhasil, muncul perdebatan: apakah menandai itu artinya memberi tanda centang (V), tanda silang (X), atau melingkari (O). Cara penandaan ini penting sebab jika pemilih tidak mengetahui cara yang benar secara hukum, surat suaranya bisa tidak sah atau tidak valid, sehingga tidak diikutsertakan dalam penghitungan atau dianggap hilang.

Untuk menghindari ribut-nbut, KPU akhirnya membuat pedoman, dituangkan dalam Peraturan KPU No. 35 Tahun 2008 (dikeluarkan  akhir Oktober 2008).

Dalam aturan tersebut, KPU memutuskan centang sebagai tanda yang sah, karena dianggap lebih efisien daripada memberi tanda silang atau lingkaran. Namun KPU juga menetapkan, pada dasarnya kesalahan tertentu dalam pemberian tanda centang dapat diterima dan surat suara dianggap sah.