Find Us On Social Media :

Kehidupan Narapidana No. 7: Si Penjahat Perang Nazi di Penjara

By K. Tatik Wardayati, Minggu, 3 Juni 2018 | 03:00 WIB

Intisari-Online.com – Yang dimaksud dengan "No. 7" ialah Rudolf Hess, satu-satunya penjahat perang Nazi yang masih meringkuk di Penjara Spandau.

Baru-baru ini ia merayakan hari lahirnya ke-90, namun satu-satunya keinginan: melihat cucu-cucunya dengan mata kepalanya sendiri tidak dikabulkan. Sebagai gantinya ia mendapat proyektor film.

Berlin-Spandau Jalan Wilhelm nomor 23. Di sebuah penjara militer berusia 103 tahuh, hari baru dimulai.

Suatu hari yang sama seperti hari yang lain, tetapi amat berbeda dengan penjara lain yang ada di dunia. Di situ tidak terdengar gemerincing seikat kunci, tidak ada bunyi pintu berderit, tidak ada suara langkah sepatu bot di sepanjang lorong penjara, tak ada seorang pun yang berteriak  "keluar!"

Baca juga: Perempuan Hasil Proyek Peng-Arya-an Eropa: 'Saya Lahir Dalam Peternakan Manusia yang Dibuat oleh Nazi'

Hari di penjara itu yang dimulai pada pukul 7 pagi tampak sepi-sepi saja. Di sel nomor 17, "narapidana Nomor 7" bangun dari tidurnya dengan susah payah, membalikkan badan 90 derajat, supaya kakinya bisa menyentuh lantai.

Ia berusaha memasukkan kakinya ke sandal yang sudah butut, menyeret kaki kanannya, lalu berjalan menuju pintu sel yang tidak terkunci dan membukanya.

Dua koki pribadi

la menggumamkan "selamat pagi" kepada penjaga yang duduk di sebuah kursi di depan pintu atau mengguncangkan bahu penjaga itu supaya bangun. Soalnya, sebagian besar penjaga yang sudah tua tidak tahan "begadang".

Kemudian, sambil berjalan menyeret kakinya, ia menyusuri lorong penjara dan menghilang di kamar mandi.

Selama "Nomor 7" bercukur, membasuh wajah dan tangan, menyisir kemudian berpakaian di ruang ganti baju, salah seorang koki pribadinya, entah itu yang orang Spanyol atau orang Afganistan, tergantung jam mereka bertugas, menyiapkan sarapan di lantai bawah tanah penjara.

Baca juga:Tentang Tiga Orang Indonesia di Kamp Konsentrasi Nazi di Mauthausen

Sarapannya terdiri atas roti yang mudah dicernakan, mentega, selai dan keju. Jarang sekali  disediakan sosis. Soalnya, "Nomor 7" lebih suka makanan vegetarier.

Tapi sebagai tambahan, akan tersedia sebutir telur, bubur gandum dengan teh atau kopi. Potongan-potongan roti akan diolesi atau dilapisi sesuatu, kemudian dipotong kecil-kecil supaya mudah dimakan, sedangkan telur akan dikupas. Itu semua dilakukan, karena pencernaan "Nomor 7" kurang begitu baik.

Di atas sebuah baki, koki membawa sarapan dari dapur ke lantai satu. la kemudian mengetuk pintu baja yang memisahkan keseluruhan gedung penjara dengan sel.

Di belakang pintu baja, "kepala jaga" tampak tidur. Suatu hal yang sebenarnya melanggar peraturan rumah jaga. la lalu bangun, membukakan pintu, mengambil baki itu dan meletakkannya di atas kereta berban karet.

la kemudian menutup pintu kembali dan menggelindingkan kereta sepanjang lorong penjara yang panjangnya 50 meter, melewati sel-sel kosong yang bergema, sampai tiba di sel nomor 17, yang berada tepat di sebelah kiri belakang. Di situ, "Nomor 7" sudah menanti di atas tempat tidurnya.

Baca juga: Dimana Stalin Sewaktu Nazi Menyerang Rusia?

Tempat tidur "Nomor 7" tidak seperti tempat tidur di penjara biasa, tetapi merupakan tempat tidur rumah sakit modern yang berasal dari rumah sakit militer Inggris.

la tidur di situ sejak tahun 1969, ketika ia berhasil diselamatkan dalam sebuah operasi mendadak akibat radang usus dua belas jari yang akut.

Sekarang, bagian atas tempat tidur itu ditinggikan, demikian pula bagian bawahnya, di saat sarapan. "Nomor 7" rupanya menderita lemah jantung akibat usia yang sudah lanjut dan gangguan peredaran darah.

Kalau ia tidak sedang bergerak, kakinya harus dinaikkan, supaya aliran darah tetap lancar. "Kepala jaga" menata sarapan di atas meja putar buat "Nomor 7".

Surat kabar disensor dulu

Sementara itu, penjaga ketiga yang menggantikan "kepala jaga" pada saat itu juga sedang menerima surat kabar yang menjadi hak "Nomor 7". Penjaga itu sejenak melupakan tugasnya di gardu jaga, di pintu gerbang.

Baca juga: Kisah Pilu Atlet Yahudi yang Menjadi Sasaran Pembantaian Nazi

Begitu bel berbunyi, ia membuka pintu gerbang besi abu-abu yang besar, mengambil Neue Deutschland, Die Welt, Die Frankfurter Allgemeine dan Tagesspiegel dari Berlin yang diberikan oleh petugas penjara bagian dinas luar.

Keempat surat kabar itu dibawanya ke lantai satu, ke kantor penjara, sambil melewati halaman depan penjara. Di situ, dua sekretaris penjara, seorang Polandia dan seorang lagi berkebangsaan Kongo dari Zaire, sedang menjalankan tugas.

Orang Polandia itu bisa bahasa Rusia dan Jerman selain bahasa ibunya. Sedangkan orang Kongo menguasai bahasa Inggris, Jerman dan Prancis. Dengan gunting, kedua orang itu membabat surat kabar. Segala hal yang ada hubungannya dengan Nazi dan Yahudi disensor. Bahkan masalah aktual dengan Israel masa kini juga tidak boleh terbaca sedikit pun oleh "Nomor 7".

Sekali seminggu "Nomor 7" juga boleh menulis surat kepada keluarganya. Kedua sekretaris itu juga harus menyensor surat itu. Mereka harus memperhatikan bahwa "Nomor 7" tidak sedikit pun menyinggung soal Nazi dan orang Yahudi, lebih jauh lagi ia tidak boleh menceritakan keadaan dalam penjara.

Pokoknya, tak ada sesuatu yang bisa membantu untuk dipakai dalam usaha melarikan diri. Kedua sekretaris itu juga harus memperhatikan bahwa ia tidak boleh menulis lebih dari dua ribu kata.

Baca juga: Simon Wiesenthal Si Pemburu Pasukan SS: Tiada Maaf Bagi Nazi

Seperti cara menyampaikan sarapan, surat kabar akhirnya sampai ke tangan "kepala jaga" di sel nomor 17. "Narapidana Nomor 7" sudah siap duduk di selnya, sebelum surat kabar itu tiba.

Begitu ia terima keempat surat kabar tersebut, ia "melahap" semuanya, mulai dari halaman pertama sampai berita gunjingan yang terakhir. Ia lebih mengenal surat kabar itu daripada pemimpin redaksi atau penerbitnya.

Pada saat itu pula, masuklah tiga orang penjaga baru yang mendapat giliran jaga selanjutnya. Ketiga penjara itu adalah orang preman yang berpakaian seragam petugas berwarna kelabu dengan kemeja kelabu dan dasi hitam.

"Nomor 7" hanya boleh dijaga oleh orang Rusia, Amerika, Inggris dan Prancis. Tidak boleh misalnya ketiga yang bertugas berasal dari Amerika semua. Ketiga penjaganya harus terdiri atas tiga orang yang berlainan kebangsaan.

Mereka juga harus mengerti bahasa Jerman dengan baik, sehingga mereka mampu berkomunikasi dengan "Nomor 7".

Kalau di antara ketiga penjaganya tidak ada yang berkebangsaan Rusia, ia diperkenankan berbuat sesuka hatinya. Tapi kalau ada orang Rusianya, ia harus sudah mengakhiri acara baca korannya tepat pukul 10.30 dan harus berjalan-jalan.

Baca juga: Mengerikan, Museum Kamp Konsentrasi Dachau yang Masih Menyisakan Bau-bau Mayat Bekas Penyiksaan Tentara Nazi

Soalnya, orang Soviet begitu tegar seperti beton dalam menjalankan aturan, sejak ia masuk ke Penjara Spandau pada 18 Juli 1947 sampai sekarang.

Lebih suka naik tangga

"Nomor 7" kemudian berjalan sambil menyeret kakinya dari sel nomor 17 ke seberang sel, yakni sel nomor 19, sebuah ruang ganti baju. Ia bersusah payah mengenakan mantel sepanjang tubuhnya, lalu ia mengambil tongkat penyangga tubuh dan berjalan tertatih-tatih menuju ke tangga pilin besi yang sempit. Di situ, dua orang penjaga telah menantinya.

Seorang akan berada di mukanya kalau turun tangga supaya "Nomor 7" dapat bertumpu padanya dan seorang lagi berada di belakangnya dengan tangan siap memeganginya.

"Nomor 7" tidak akan bisa menuruni tangga seorang diri. Kaki kanannya menderita lemah otot, selain itu ia menderita hernia yang tak bisa dioperasi akibat jantungnya yang lemah. Tambahan lagi, tulang punggungnya pun bengkok karena usia lanjut.

Supaya kesulitan menaiki tangga tidak dirasakan oleh "Nomor 7" yang pada tahun 1946 dijatuhi hukuman seumur hidup oleh Sekutu di pengadilan untuk penjahat perang di Nurnberg itu, maka keempat direktur penjara Sekutu setuju untuk membuatkan lift setelah dipikir segala baik buruknya.

Baca juga: Nasib Anak-anak Para Pemimpin Nazi: Bertobat dan Mengabdi kepada Sesamanya dengan Menjadi Imam

Tembok di samping sel dilubangi ke luar dan pada tembok luar dipasanglah sebuah lift khas rumah sakit yang dikelilingi tembok. Lift itu harus cukup besar supaya bisa membawa "Nomor 7" berjalan-jalan dengan memakai tempat tidur dorong dua kali sehari, andaikata itu perlu.  Dua kali keluar sudah menjadi haknya.

Karena aliran listrik gedung tua berusia 103 tahun itu kurang kuat buat dipasangi lift, maka haruslah dipasang kabel aliran listrik yang kuat sepanjang 350 meter dari gedung direktorat yang ada di luar penjara.

Kabel itu dipasang pada kedalaman satu meter. Lift tersebut sudah bisa beroperasi pada bulan Maret 1984. Biayanya mencapai 200.000 mark (sekitar 75,6 juta rupiah). Namun demikian, "Nomor 7" baru dua kali menggunakannya setelah sebulan pertama dipasang.

Satu kali karena rasa ingin tahunya, sedangkan kedua kali ketika ia tidak kuat untuk berjalan. Pak tua yang pendiam itu mempunyai humor tentang lift tersebut.

"Sekarang saya memiliki sebuah pesawat televisi, sebuah paviliun dan lift. Lalu kapan saya diberi kolam renang?" Sambil berkata begitu, ia meneruskan kebiasaannya menuruni tangga dengan jalan kaki supaya tetap segar.

Baca juga: Josef Mengele, Anak Manis yang Menjelma 'Malaikat Maut' ketika Jadi Dokternya Nazi dengan Mengiris-Iris Anak Kembar Menjadi Kelinci Percobaan

Menempuh tiga kali keliling bumi

Paviliunnya yang ada di kebun merupakan sebuah tempat bernaung yang terbuat dari seng bergelombang dengan pintu kaca, bangku dan alat pemanas. Tempat itu terletak di pinggir jalan kecil dari tanah liat yang dalam waktu 37 tahun tanah itu turun sebanyak lima sentimeter.

Jalan itu dilindungi rumpun, hutan arbei dan pepohonan yang berjajar, yang menembus bekas lapangan.

Di paviliun itu, "Nomor 7" dapat menghangatkan diri. Soalnya, biarpun cuaca sangat buruk, ia tetap ingin keluar. Satu setengah tahun yang lalu, "Nomor 7" terserang sakit paru-paru akibat berjalan-jalan di udara terbuka.

Selama ia berada lima hari di rumah sakit Inggris, empat puluh pekerja dan karyawan, koki, penjaga, sekretaris, ahli pemanas ruangan, juru rawat, penterjemah, supir dan para direktur merasa waswas kehilangan pekerjaan mereka yang bergaji baik.

Sejak saat itu, masa kerja mereka cuma diperpanjang setahun. Soalnya, sejak tahun 1966, ketika teman sepenjara "Nomor 7" yang terakhir dibebaskan, keempat dokter Sekutu yang setiap bulan merawatnya secara bergantian memperkirakan bahwa ia paling lama cuma akan bertahan hidup tiga tahun lagi.

Baca juga: Nasib Anak-anak Para Pemimpin Nazi: Ternyata Ada yang Meneruskan Cita-cita Nazisme Ayah Mereka

Ternyata perkiraan para dokter di tahun 1966 itu meleset. Justru satu dari empat dokter Sekutu yang merawat "Nomor 7", seorang direktur, beberapa orang penjaga dan pegawai lainnya meninggal duluan.

Sebagian besar dari mereka meninggal dunia akibat kombinasi keadaan di penjara. Di situ, makanan berlebihan, orang bisa menikmati minuman khas bangsa-bangsa Sekutu seperti wodka, bourbon, scotch dan cognac (padahal minuman beralkohol dilarang keras di Spandau) dan mereka juga kurang bergerak karena nganggur.

"Kalau "Nomor 7" mulai "patroli" dengan badan bungkuk disangga penopang kayu di sebelah kanan, maka seorang penjaga akan terus-menerus berada di samping kanannya. Soalnya, mata kanan kakek itu menderita penyakit katarak. Ia setengah buta.

Itulah sebabnya ia sering tersandung. Kalau dia jatuh, seorang karyawan bisa-bisa kehilangan pekerjaan sederhana macam itu dengan tiba-tiba.

Sepanjang masa tahanannya yang hampir 37 tahun itu, pak tua itu telah menempuh jarak yang kalau dihitung-hitung hampir bisa menyamai tiga kali keliling dunia.

Baca juga: Mengharukan, Pria Berusia 102 Tahun yang Kehilangan Keluarganya Karena Holocaust Nazi Bertemu Keponakannya untuk Pertama Kalinya