Intisari-Online.com – Namanya tidak disebut, tetapi menurut catatan kamp ada tiga orang Indonesia yang pernah disekap di Mauthausen. Kamp konsentrasi itu seperti yang lain sekarang menjadi objek pariwisata.
P. Soeratno dalam Majalah Intisari edisi Maret 1985 menceritakan perjalanannya mengunjungi kamp konsentrasi Mauthausen yang sudah menjadi objek pariwisata tersebut.
Mauthausen adalah nama sebuah desa kecil ± 170 km di sebelah barat Wina, Austria. Letaknya di tepi Sungai Donau. "Halaman depan" desanya yang langsung menghadap ke sungai yang airnya biru ini menghadirkan pemandangan yang indah.
Sedangkan "halaman belakang" nya masih berupa daerah pertanian dan peternakan. Daerah hijau dan berbukit-bukit, tenang dan indah.
Inilah tempat yang dipilih Nazi untuk lokasi sebuah kamp konsentrasi!
Kalau ingin sampai ke sana dengan mobil, maka yang paling cepat adalah mula-mula kita mengambil jalan bebas hambatan barat atau West Autobahn sampai di kota Enns. Dari Enns kita membelok ke Utara melalui Bundesstrasse nomor 123 hingga ke Mauthausen.
Kami cenderung memilih rute yang lebih panjang, yaitu melalui Bundesstrasse nomor 3. Banyak pemandangan indah di sepanjang jalan ini. Sejak dari pinggir kota Wina kami sudah mulai menyusuri tepi kiri Sungai Donau.
Jalur jalan ini jalur yang penting di zaman dulunya, baik untuk militer maupun secara komersial. Di sepanjang jalur ini banyak dijumpai istana, benteng dan biara-biara tua. Yang paling terkenal adalah biara di Melk dan reruntuhan Benteng Dürnstein.
Di Benteng Dürnstein inilah pernah dipenjarakan Raja Richard Berhati Singa dari Inggris.
Di samping itu, daerah ini – khususnya di Wachau – merupakan daerah yang subur. Pada musim semi, kebun buah-buahan seperti apel, anggur, ceri dan sebagainya itu berubah seperti taman bunga yang indah. Semua pohonnya berbunga serentak.
Kalau sudah sampai di Desa Mauthausen, jalan ke arah kamp membelok ke Utara meninggalkan Sungai Donau dan melalui jalan kecil yang menanjak dan tajam berkelok-kelok.
Source | : | intisari |
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR