Advertorial
Intisari-Online.com – Lebih jelas lagi cinta kepada nazisme terlihat pada Irene Rosenberg, puteri Alfred Rosenberg, teoreticus nazisme. Bukunya “Mythos Abad ke-20” merupakan Kitab Sucinya kaum nazi dan mungkin lebih berpengaruh daripada “Mein Kampf”-nya Hitler sendiri.
Rosenberg juga menjabat menteri untuk urusan daerah Rusia, yang diduduki Jerman dan bertanggung jawab besar atas kekejaman-kekejaman yang dilakukan di sana.
Sampai kini, Irene Rosenberg berpegang teguh pada paham ayahnya, “Saya tetap anggota Nazi dan saya bangga atas itu.” Wanita yang kini telah berusia 30 tahun itu merasa dimusuhi dan bermusuh dengan lingkungannya.
Ia hidup dengan ibunya di Frankfurt dan mencari nafkah dengan susah payah.
Riwayat hidup Irene merupakan rentetan penderitaan. Sebelum Hitler kalah, ayahnya telah jatuh sebagai tokoh nazi dan tidak disenangi lagi oleh Hitler.
Baca juga: Eva Braun: Meski Membunuh Banyak Jiwa tapi Hitler Sangat Mencintai Anak-anak
Bulan Maret 1945, villa rumah tinggal mereka yang mewah hancur kena bom. Lalu mengungsi, mencari perlindungan di rumah sahabat-sahabat untuk akhirnya ditangkap oleh polisi militer Inggris.
Setelah dibebaskan mereka diberi tempat tinggal oleh walikota. Tapi penduduk sekeliling protes. Mereka terpaksa disuruh pergi dan bertempat tinggal di tempat terpencil. Perabot rumah tangga hanya terdiri dari satu tempat tidur dan satu kursi. Irene tidur di tanah.
Karena kekayaan ayahnya sebagian tidak disita, hidup Irene kemudian agak kurang menyedihkan. Pada suatu hari Irene menemukan manuskrip ayahnya berjudul “Cita-cita dan tokoh-tokoh junjungan Nazisme”.
Naskah itu diserahkannya kepada seorang pengikut Hitler. Ketika buku diterbitkan, timbul taufan protes dari mana-mana. Tokoh-tokoh buku yang menjual karya teoretikus nazi itu, diserbu dan dihancurkan kaca-kacanya. Irene merasa dirinya menjadi sasaran pemufakatan jahat.
Di mana-mana Irene berdebat tentang politik, bercekcok dan kadang-kadang tak segan menampar penyanggahnya. Sampai kini ia tak pernah tinggal di suatu tempat lebih dari 6 minggu.
Riwayat hidup keturunan-keturunan lelaki dari para pemimpin Nazi menunjukkan sedikit perbedaan dengan keturunan-keturunan perempuan, dalam arti bahwa mereka tidak bersikap terlalu emosional terhadap persoalan ayah mereka.
Misalnya, Berthold von Ribbentrop, putera Joachim von Ribentrop, menteri luar negerinya Hitler yang dijatuhi hukuman gantung oleh pengadilan Nurnberg dan seluruh harta bendanya disita.
Berthold kini menjadi pengacara. Kegemarannya sejarah Jerman di waktu Hitler. Katanya, “sAya mempelajari jaman Hitler. Saya keranjingan sejarah waktu itu, tetapi saya bukan nazi, jauh dari itu.
Sedapat mungkin saya menghindari penggunaan nama Ribbentrop. Saya tak menghendaki kesohoran atas dasar itu. Tetapi saya anak setia dan saya tidak malu atas ayah saya. Saya masih terlalu kecil ketika dia meninggal. Hampir tak ada kenang-kenangan tentang dia.”
Sikap Niklas Frank, putera Hans Frank, gubernur jenderal dan algojo Jerman di Polandia, yang mati di tiang penggantungan di Nurberg, lebih tegas lagi.
Tentang ayahnya, Niklas Frank mengatakan, “Saya tahu bahwa ayah saya bersalah. Dia telah melakukan kejahatan-kejahatan kejam dan telah menebus kesalahannya dengan kematian. Kami sendiri mengatakan hal itu terus terang kepadanya sebelum ia meninggal.”
Tetapi Niklas pun tidak mengingkari ayah yang telah menurunkannya. Katanya, “Kesalahan-kesalahan ayah adalah warisan kami.” Hans Frank mati dengan baik. Dia bertobat menjadi Katolik.
Normann, anaknya yang sulung mengunjunginya sebelum ayahnya menjalani hukuman mati dan berdoa bersamanya.
Riwayat hidup Martin Bormann junior, putera tokoh Nazi Martin Bormann senior, lebih penuh ketegangan dan kegoncangan.
Ketika perang berakhir, Martin Bormann junior baru berusia 15 tahun. Waktu itu ia telah menjadi Hitler Jugend (Pemuda Hitler). Untuk menghindarkan dia dari bahaya tertangkap, sekretaris partai nasionalis-sosialis Salzburg memberinya kartu penduduk palsu dan menyuruhnya segera bersembunyi.
Baca juga: Ketika Perayaan Ulang Tahun Adolf Hitler yang ke-129 Diwarnai Aksi Bakar-bakaran oleh Massa Neo Nazi
Martin ikut keluarga petani Katolik. Ia mengatakan kepada mereka bahwa orangtuanya telah mati akibat pemboman di kotanya. Keluarga petani itu heran bahwa pemuda yang mereka pungut, tak tahu apa-apa tentang agama.
Memang bagi Martin pada waktu itu, Tuhannya adalah Hitler.
Lama Martin berhasil menyembunyikan siapa dia sebenarnya. Sampai pada suatu hari di desa tempat tinggalnya oleh penguasa diumumkan bahwa kepada Martin Bormann boleh dipenggal oleh siapapun yang berhasil menemukannya.
Yang dimaksud tentulah Martin Bormann senior ayahnya. Tapi Martin Bormann yunior gelisah.
Karena kehilangan akal, Martin menyerahkan dirinya kepada pastor setempat. Pastor tangan terbuka, penuh pengertian dan kasih sayang. Martin diberi ajaran dan pendidikan agama secara mendalam.
Baca juga: Ketika Puluhan Orang Pasukan Komando Nazi Sukses Taklukan Lebih dari 1000 Orang Pasukan Belgia
Di dalam jiwa pemuda yang berbakat dan pada dasarnya penuh jiwa pengabdian serta pengorbanan itu, akhirnya timbul keinginan untuk mengabdikan diri kepada sesama dengan menjadi imam.
Martin masuk ke dalam Ordo Jesuit. Baru kemudian dinas rahasia Amerika mengetahui bahwa calon imam Katolik itu adalah putera tokoh Nazi Martin Bormann yang sampai kini belum ditemukan.
Kini Martin Bormann yunior telah menjadi imam Jesuit. Nasib ayahnya yang dijumpainya untuk akhir kali dalam bulan Desember 1943 sampai kini tetap belum berhasil diketahui.
Ibunya telah meninggal pada tahun 1946. Irma, saudaranya perempuan sampai kini tetap berpaham nazi dan bertempat tinggal di Merano bersama suami dan anak-anaknya.
(Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Mei 1967)
Baca juga: Mau Tahu Kehidupan Adolf Hitler? Kita Bisa Melihatnya dalam Arsip Washington