Find Us On Social Media :

Sepakbola Indonesia, Lahirnya Memang untuk Melawan Penjajah Belanda

By Moh. Habib Asyhad, Kamis, 12 September 2024 | 13:06 WIB

Ada yang bilang, sepakbola harus terbebas dari unsur politik. Tapi faktanya, sepakbola pernah menjadi alat perjuangan melawan penjajah. Sepakbola Indonesia, contohnya.

[ARSIP]

Ada yang bilang, sepakbola harus terbebas dari unsur politik. Tapi faktanya, sepakbola pernah menjadi alat perjuangan melawan penjajah. Sepakbola Indonesia, contohnya.

Penulis: R.N. Bayu Aji, tayang di Majalah Intisari edisi September 2023

---

Intisari hadir di WhatsApp Channe, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com - Belum bisa dipastikan kapan sepakbola masuk Indonesia. Meskipun begitu, penelusuran sejarah olahraga kulit bundar ini bisa dilacak sejak zaman kolonialisme bangsa-bangsa Eropa, terutama Belanda dan Inggris.

Sejak kedatangan Belanda ke Nusantara pada abad ke-15, terjadilah persilangan budaya. Dan itu bisa menjadi gambaran awal dan sebagai titik tolak bagaimana sepakbola masuk dan berkembang di Hindia Belanda.

Dalam bukunya Politik dan Sepak Bola di Jawa 1920-1942, Srie Agustina Palupi menulis, permainan sepakbola di Hindia Belanda awalnya hanya dapat dilakukan oleh orang-orang Eropa, terutama Belanda. Tapi seiring waktu, olahraga ini merambah ke orang-orang Tionghoa. Bumiputera juga akhirnya bisa mencicipi olahraga ini.

Sepakbola kemudian dimainkan di tangsi-tangsi militer sehingga orang-orang biasa bisa ikut menikmatinya dan mulai memperhatikannya. Dari situ, mereka kemudian bersama-sama memainkannya. Begitulah awal perkenanal Indonesia dengan sepakbola.

Baca Juga: Sepakbola Wanita Indonesia Potensinya Besar Tapi Tanpa Dukungan Kompetisi Rutin Buat Apa?

Pada 28 September 1893 di Batavia berdiri bond sepakbola pertama di Hindia Belanda. Namanya Bataviasche Cricket-En Football Club Rood-Wit, didirikan oleh 30 orang dan dipimpin oleh J. D. De Reimer. Dari namanya, Rood-Wit, kemungkinan besar seragamnya berwarna merah-putih. Pendirian bond itu dilaporkan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda melalui departemen van Justitie dan nasihat dari Dewan Hindia Belanda. Secara resmi Rood-Wit dikukuhkan menjadi badan hukum pada tahun 1894 (Bola Vaganza, 2005).

Menyusul kemudian bond sepakbola di Surabaya yang diprakarsai oleh siswa HBS benama John Edgar tahun 1895. Dia mendirikan klub sepakbola dengan nama Victoria. Berdirinya bond itu disusul dengan bond-bond lain di kota-kota lain seperti Batavia, Bandung, Semarang, Makassar, dll.

Tumbuhnya bond di kota-kota besar pada awalnya berada di bawah naungan pemerintah Hindia Belanda. Keempatnya adalah West Java Voetbal Bond (WJVB), Suarabajasche Voetbal Bond (SVB), Bandoeng Voetbal Bond (BVB), dan Semarang Voetbal Bond (SVB). Mengutip R.N. Bayu Aji dalam Tionghoa Surabaya dalam Sepak Bola 1915-1942, berdasarkan Indische Verslag 1932, sepakbola adalah olahraga yang menjadi trend setter pada awal abad ke-20. Karena ia mendapat perhatian lebih dari masyarakat, sepakbola berkembang dengan pesat di Hindia Belanda.

Lembaga pendidikan juga punya peran besar terhadap perkembangan sepakbola di Hindia Belanda. Sekolah-sekolah milik pemerintah, juga sekolah milik Tionghoa, punya perhatian yang cukup besar berbagai cabang olahraga. Di antaranya adalah atletik, basket, bulutangkis, dan tentu saja sepakbola.

Lembaga pendidikan juga adalah sarana penting untuk mengkampanyekan olahraga, termasuk sepakbola, kepada masyarakat baik Eropa, Tionghoa, maupun Bumiputera. Kampanye ini bahkan merambah ke kota-kota kabupaten.

Ketika itu, di Hindia Belanda terdapat tiga organisasi sepakbola besar. Pertama Nederlandsch Indische Voetbal Bond (NIVB) yang merupakan representasi dari orang Belanda, lalu ada Hwa Nan Voetbal Bond (HNVB) milik masyarakat Tionghoa, dan Persatuan Sepakraga Seluruh Indonesia (PSSI) milik Bumiputera. Uniknya, tiga organisasi sepakbola itu berkembang bersama-sama, termasuk menancapkan pengaruhnya sebagai induk organisasi sepakbola hingga di tingkatan lokal.

Lahirnya PSSI dan nasionalisme

Pasca-Sumpah Pemuda 1928, kebulatan tekad untuk Indonesia merdeka dilakukan oleh berbagai elemen, termasuk lewat sepakbola. Saat itu klub-klub sepakbola sudah bermunculan di berbagai kota seperti Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Madiun, dan Surabaya. Sayangnya, klub-klub itu masih begitu eksklusif, wajah kolonial masih sangat kuat di sana.

NIVB bahkan melarang anggotanya bertanding atau berkumpul dengan Bumiputera. Meski begitu, orang-orang Bumiputera tak patah arang walau fasilitas penunjangnya sangat minim.

Karena itulah bond-bond sepakbola Bumiputera merasa penting untuk bersatu melawan Belanda. Bagaimanapun juga, hubungan antarbond itu ternyata terpengaruh oleh semangat pergerakan nasional yang ketika itu menjadi isu nasional. Awalnya memang bersifat sporadis, tapi akhirnya mereka sepakat bergabung dalam satu panji bernama PSSI (Kompas, 1980).

Tanggal 10-11 April 1930 di Gedung Handeprojo, Yogyakarta, dilakukan pertemuan dan menghasilkan pembentukan panitia persiapan dengan ketua A. Hamid dan sekretaris Amir Notopratomo. Pertemuan ini sebagai persiapan untuk membentuk organisasi sepakbola dalam rangka mengimbangi NIVB.

Setelah dilakukan pertandingan antarkota di Yogyakarta, berkumpul utusan-utusan dari tujuh bond Indonesia pada 19 April 1930. Mereka kemudian membentuk Persatoen Sepakrga Seloeroeh Indonesia (PSSI).

Tujuh utusan itu berasal dari Voetbal Indonesische Jacatra (VIJ), Bandoengsche Indonesische Voetbalbond (BIVB), Persatuan Sepakraga Mataram (PSM Yogya), Vorstenlandshe Voetbalbond (VVB Solo), Madioensche Voetbalbond (MVB), Indonesische Voetbalbond Magelang (IVBM), dan Soerabajasche Indonesische Voetbalbond (SIVB). Tokoh-tokohnya adalah Daslam Hadiwasito, A. Hamid, dan Mohammad Amir Notopratomo dari PSM Yogyakarta, Kartodarmoedjo dari MVB, Soekarno dari VVB Solo, Pamoedji dari SIVB, Ernst Mangindaan selaku murid Sekolah Guru (HKS) dari IVBM Magelang, Gatot dari BIVB, dan Mr. Sjamsudin dari VIJ.

Mereka sepakat memilih Ir. Soeratin sebagai Ketua PSSI pertama. Anggaran Dasar dan sistem pertandingan antarkota dituntaskan pada 1931 dalam sebuah konferensi di Solo. Pada kongres windon alias delapan tahunan tahun 1938, Soeratin menggagas beberapa poin penting: pendanaan dari iuran anggota, sumbangan donatur, uang hasil pemasukan pertandingan dan usaha lain yang sah.

Ada beberapa hal yang harus dicatat dari pembentukan PSSI saat itu. Pertama, organisasi ini didirikan karena banyaknya dukungan dari golongan pemimpin pergerakan Indonesia sebagai tindak lanjut Sumpah Pemuda 1928. Kedua, PSSI merupakan organisasi otonom yang tidak menggantungkan diri kepada kerjasama dengan organisasi sepakbola kolonial seperti NIVB. Hal ini dibuktikan dengan adanya gentlemen’s agreement pada 15 januari 1937 antara PSSI dan NIVU (Nedherlands Indische Voetbal Unie), nama baru NIVB.

Kesepakatan itu terjadi ketika NIVU mengajak PSSI bekerjasama dalam urusan organisasi dan pemantauan perkembangan pemain sepakbola yang bagus. Perjanjian tersebut membuktikan bahwa secara de facto dan de jure hak dan derajat kesamaan antara keduanya, sebagaimana dikutip dari Maulwi Saelan dalam Sepak Bola Jilid I.

Namun menjelang Piala Dunia Prancis 1938 terjadi pembatalan gentlemen’s agreement oleh Ir. Soeratin karena perselisihan dengan NIVU terkait nama kesebelasan yang akan dikirim.

Pertandingan dengan klub luar negeri juga dilakukan oleh PSSI, di antaranya melawan kesebelasan Tiongkok, Nan Hwa. Klub anggota PSSI pun bisa melakukan pertandingan persahabatan dengan kesebelasan luar negeri. Kerja sama dan pertandingan persahabatan membuat PSSI mendapatkan banyak pengalaman, antara lain bagaimana menerapkan pola permainan yang baik dan penyusunan strategi untuk menghadapi lawan secara teknis serta kultur sepakbola yang berbeda.

Lahirnya PSSI membuat sepakbola Indonesia lebih mudah diorganisasikan secara lebih baik. Kelompok cerdik-cendikia memanfaatkannya sebagai kegiatan sosial yang bersifat budaya dan edukasi. Keanggotaan PSSI bahkan tumbuh lebih luas hingga ke daerah-daerah pelosok dibandingkan NIVB dan HNVB. Keanggotaan NIVB dan HNVB hanya di kota-kota besar, sedangkan PSSI memiliki bond di tiap kota/kabupaten.

Pada 1932, di Surabaya terjadi peristiwa boikot sepakbola Belanda, tepatnya kepada klub SVB, yang dilakukan oleh Liem Koen Hian (dari Partai Tionghoa Indonesia), Radjamin Nasution, Askaboel (tokoh SIVB), dan Alamoedi (Al Jaum). Penyebabnya, seorang jurnalis D'Orient bernama Bekker yang juga terafiliasi dengan SVB melarang wartawan kulit berwarna--Timur Asing dan Bumiputera--meliput pertandingan SVB.

Menurut Bekker, wartawan kulit berwarna sering mengkritik atau menulis pemberitaan negatif terhadap SVB.

Tentu saja itu memantik kemarahan orang-orang Tionghoa, Arab, dan Bumiputera di Surabaya. Semangat persatuan Asia yang saat itu sedang kuat, juga bumbu pergerakan nasional, menambah keyakinan untuk melakukan boikot.

Liem bersama SIVB dan kelompok Aljaum membuat sepakbola tandingan di lapangan Quick, Pasar Turi--saat ini diperkirakan menjadi stasiun serta kawasan pertokoan dan pergudangan. Pertandingan SVB yang biasanya ramai akhirnya tidak dihadiri oleh penonton. Sebaliknya, pertandingan tandingan itu dihadiri lebih banyak massa.

Dalam kesempatan itu muncul gagasan nasionalisme di kalangan orang-orang Tionghoa dan Arab, bahwa mereka merupakan bagian dari Indonesia dan harus memperjuangkan kemerdekaan bersama para tokoh pergerakan nasional lainnya. Mereka sepakat untuk mengubah haluan nasionalismenya. Bukan ke Tiongkok atau negeri Arab, tapi ke Indonesia.

Sejalan dengan semangat nasionalisme, bond-bond sepakbola Bumiputera di Hindia Belanda juga mengubah namanya sebagai pilihan identitas mereka secara politis. Tahun 1933, VVB Solo mengubah namanya menjadi Persatoean Sepakraga Indonesia Soerakarta (Persis). VIJ pada 1933 sudah sudah mencetuskan nama Persatoean Sepakraga Indonesia Djakarta (Persidja). VIJ secara resmi menjadi Persidja tahun 1942 di era Jepang yang anti dengan hal-hal yang berbau Belanda. SIVB berdasarkan berita De Indische Courant 1938, secara resmi mengubah namanya menjadi Persatoean Sepakraga Indonesia Soerabaia (Persibaja).

Soft diplomacy melalui sepak bola

Setahun setelah penyerahan kedaulatan dari Belanda ke Indonesia pada Konferensi Meja Bundar 1949, PSSI menggelar kongres ke-12-nya di Semarang. Tema yang diusung saat itu adalah "Re-incarnatie".

Nama singkatan PSSI mengalami perubahan dan disesuaikan dengan perkembangan ejaan bahasa Indonesia. Singkatan “Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia” secara resmi menggantikan singkatan yang lama yakni “Persatoean Sepakraga Seloeroeh Indonesia”.

Dalam kongres ini R. Malai terpilih sebagai Ketua PSSI yang baru. Dia diberikan kewenangan penuh untuk memilih seluruh pengurusnya. PSSI pada 1951 menjadi satu-satunya induk organisasi sepakbola di Indonesia setelah induk-induk warisan kolonial meleburkan diri ke PSSI.

Hubungan nasionalisme dan olahraga yang semakin menguat memiliki implikasi terhadap sepakbola yang semakin populer untuk membangun national character building. Sepakbola menjadi alat perjuangan bagaimana membangun karakter bangsa melalui ranah olahraga. Sukarno melihat adanya hubungan yang erat itu. Ketika Indonesia telah menjadi sebuah negara, tujuan perjuangan bangsa adalah menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menjadi negara yang besar.

Pada Maret 1951, Indonesia ikut Asian Games pertama yang digelar di New Delhi, India. Sepakbola juga termasuk di dalamnya--hal ini sekaligus menandakan bahwa PSSI dan sepakbola Indonesia diakui dunia menjadi bagian dari alat diplomasi. Tak lama berselang, persisnya pada 18 November 1951, Indonesia resmi menjadi anggota FIFA--induk sepakbola tertinggi di dunia--dan disahkan setahun kemudian saat Olimpiade Helsinski. Prestasi sepakbola Indonesia ketika itu juga bisa dibilang cukup mentereng: semifinal pada Asian Games Manila 1954 dan medali perunggu pada Asian Games Tokyo 1958.

Sepakbola kembali menjadi semacam alat diplomasi bagi Indonesia ketika melakukan tur ke Eropa Timur dan ketika berpartisipasi dalam Ganefo, olimpiade tandingan yang digagas Bung Karno. Pada dua momen tersebut, sepakbola Indonesia benar-benar mendapat sambutan yang cukup hangat.

Pada Olimpiade Melbourne 1956, sepakbola Indonesia membuat kejutan. Indonesia berhasil menahan raksasa Eropa masa itu, Uni Soviet, dengan skor 0-0--meskipun pada pertandingan ulangan harus takluk 4-0. Tapi paling tidak, Indonesia dan sepakbolanya sudah dikenal oleh dunia.

Baca Juga: La Furia, Kisah Lahirnya Identitas Sepak Bola Spanyol di Antwerp 1920