Find Us On Social Media :

Sepakbola Indonesia, Lahirnya Memang untuk Melawan Penjajah Belanda

By Moh. Habib Asyhad, Kamis, 12 September 2024 | 13:06 WIB

Ada yang bilang, sepakbola harus terbebas dari unsur politik. Tapi faktanya, sepakbola pernah menjadi alat perjuangan melawan penjajah. Sepakbola Indonesia, contohnya.

Mereka sepakat memilih Ir. Soeratin sebagai Ketua PSSI pertama. Anggaran Dasar dan sistem pertandingan antarkota dituntaskan pada 1931 dalam sebuah konferensi di Solo. Pada kongres windon alias delapan tahunan tahun 1938, Soeratin menggagas beberapa poin penting: pendanaan dari iuran anggota, sumbangan donatur, uang hasil pemasukan pertandingan dan usaha lain yang sah.

Ada beberapa hal yang harus dicatat dari pembentukan PSSI saat itu. Pertama, organisasi ini didirikan karena banyaknya dukungan dari golongan pemimpin pergerakan Indonesia sebagai tindak lanjut Sumpah Pemuda 1928. Kedua, PSSI merupakan organisasi otonom yang tidak menggantungkan diri kepada kerjasama dengan organisasi sepakbola kolonial seperti NIVB. Hal ini dibuktikan dengan adanya gentlemen’s agreement pada 15 januari 1937 antara PSSI dan NIVU (Nedherlands Indische Voetbal Unie), nama baru NIVB.

Kesepakatan itu terjadi ketika NIVU mengajak PSSI bekerjasama dalam urusan organisasi dan pemantauan perkembangan pemain sepakbola yang bagus. Perjanjian tersebut membuktikan bahwa secara de facto dan de jure hak dan derajat kesamaan antara keduanya, sebagaimana dikutip dari Maulwi Saelan dalam Sepak Bola Jilid I.

Namun menjelang Piala Dunia Prancis 1938 terjadi pembatalan gentlemen’s agreement oleh Ir. Soeratin karena perselisihan dengan NIVU terkait nama kesebelasan yang akan dikirim.

Pertandingan dengan klub luar negeri juga dilakukan oleh PSSI, di antaranya melawan kesebelasan Tiongkok, Nan Hwa. Klub anggota PSSI pun bisa melakukan pertandingan persahabatan dengan kesebelasan luar negeri. Kerja sama dan pertandingan persahabatan membuat PSSI mendapatkan banyak pengalaman, antara lain bagaimana menerapkan pola permainan yang baik dan penyusunan strategi untuk menghadapi lawan secara teknis serta kultur sepakbola yang berbeda.

Lahirnya PSSI membuat sepakbola Indonesia lebih mudah diorganisasikan secara lebih baik. Kelompok cerdik-cendikia memanfaatkannya sebagai kegiatan sosial yang bersifat budaya dan edukasi. Keanggotaan PSSI bahkan tumbuh lebih luas hingga ke daerah-daerah pelosok dibandingkan NIVB dan HNVB. Keanggotaan NIVB dan HNVB hanya di kota-kota besar, sedangkan PSSI memiliki bond di tiap kota/kabupaten.

Pada 1932, di Surabaya terjadi peristiwa boikot sepakbola Belanda, tepatnya kepada klub SVB, yang dilakukan oleh Liem Koen Hian (dari Partai Tionghoa Indonesia), Radjamin Nasution, Askaboel (tokoh SIVB), dan Alamoedi (Al Jaum). Penyebabnya, seorang jurnalis D'Orient bernama Bekker yang juga terafiliasi dengan SVB melarang wartawan kulit berwarna--Timur Asing dan Bumiputera--meliput pertandingan SVB.

Menurut Bekker, wartawan kulit berwarna sering mengkritik atau menulis pemberitaan negatif terhadap SVB.

Tentu saja itu memantik kemarahan orang-orang Tionghoa, Arab, dan Bumiputera di Surabaya. Semangat persatuan Asia yang saat itu sedang kuat, juga bumbu pergerakan nasional, menambah keyakinan untuk melakukan boikot.

Liem bersama SIVB dan kelompok Aljaum membuat sepakbola tandingan di lapangan Quick, Pasar Turi--saat ini diperkirakan menjadi stasiun serta kawasan pertokoan dan pergudangan. Pertandingan SVB yang biasanya ramai akhirnya tidak dihadiri oleh penonton. Sebaliknya, pertandingan tandingan itu dihadiri lebih banyak massa.

Dalam kesempatan itu muncul gagasan nasionalisme di kalangan orang-orang Tionghoa dan Arab, bahwa mereka merupakan bagian dari Indonesia dan harus memperjuangkan kemerdekaan bersama para tokoh pergerakan nasional lainnya. Mereka sepakat untuk mengubah haluan nasionalismenya. Bukan ke Tiongkok atau negeri Arab, tapi ke Indonesia.

Sejalan dengan semangat nasionalisme, bond-bond sepakbola Bumiputera di Hindia Belanda juga mengubah namanya sebagai pilihan identitas mereka secara politis. Tahun 1933, VVB Solo mengubah namanya menjadi Persatoean Sepakraga Indonesia Soerakarta (Persis). VIJ pada 1933 sudah sudah mencetuskan nama Persatoean Sepakraga Indonesia Djakarta (Persidja). VIJ secara resmi menjadi Persidja tahun 1942 di era Jepang yang anti dengan hal-hal yang berbau Belanda. SIVB berdasarkan berita De Indische Courant 1938, secara resmi mengubah namanya menjadi Persatoean Sepakraga Indonesia Soerabaia (Persibaja).