Penuh Insiden, Sejarah Rivalitas Brasil Vs Argentina Menjadi Salah Satu Yang Terpenting Dalam Dunia Sepakbola

Moh. Habib Asyhad
Moh. Habib Asyhad

Editor

Sejarah rivalitas Brasil vs Argentina menjadi salah satu yang menarik dibahas dalam dunia sepakbola. Kapan akar rivalitas itu muncul?
Sejarah rivalitas Brasil vs Argentina menjadi salah satu yang menarik dibahas dalam dunia sepakbola. Kapan akar rivalitas itu muncul?

Copa America 2024 yang diselengarakan di Amerika Serikat Juni-Juni ini menghadirkan banyak drama. Tapi drama-drama itu rasanya sulit untuk menutupi pertanyaan orang-orang, siapa yang akan menjadi juara: Argentina atua Brasil? Atau justru Uruguay?

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -Menarik memang menilik sejarah rivalitas Brasil vs Argentina. Rivalitas keduanya dalam bidang olahraga konon bahkan sudah muncul jauh sebelum era sepakbola. Pertanyaan, bagaimana awal permusuhan keduanya dalam olahraga paling populer di dunia ini?

Soal rivalitas Brasil-Argentina, FIFA, federasi sepakbola tertinggi di dunia, menggambarkannya sebagai "inti dari rivalitas sepakbola". Tak hanya bersaing di ranah regional, dalam hal ini Amerika Selatan, keduanya juga bersaing menjadi tim terhebat di seluruh dunia.

Di Amerika Latin, rivalitas keduanya digambarkan sebagai "Battle of the Americas" atau "The Superclassic of the Americas". Memanasnya persaingan Argentina dan Brasil dalam dunia sepakbola disebut berawal pada abad ke-20 dan berlangsung hingga sekarang, ditandai dengan berbagai insiden dan kontroversi dalam tiap pertemuan keduanya.

Kedua negara juga pernah saling menolak untuk bertanding satu dengan yang lain.

Bagaimanapun juga, hingga kini Brasil dan Argentina dianggap sebagai salah dua kiblat persepakbolaan dunia--atau bahkan yang dua terbaik. Dalam setiap turnamen, baik saat Olimpiade, Copa America, atua Piala Dunia, dua negara ini pasti ditempatkan sebagai negara-negara unggulan.

Belum lagi persaingan antarpemainnya. Brasil diwakili oleh Pele, Socrates, Zico, Romario, Bebeto, Ronaldo Nazario, Ronaldinho, hingga Neymar; sementara Argentina punya Alfredo Di Stefano, Mario Kempes, Claudio Caniggia, Diego Maradona, hingga Lionel Messi.

Seperti disebut di awal, sejarah rivalitas Brasil-Argentina bisa kita lihat jauh sebelum era-sepakbola. Karena bagaimanapun juga, di semua ajang olahraga, kedua negara ini praktis selalu bersaing satu sama lain. Pertemuan pertema mereka dalam dunia sepakbola terjadi pada 1914--hingga ini keduanya sudah bertemu lebih dari 100 kali.

Pada pertandingan pertama itu, Argentina menang 3-0 atas Brasil. Saat itu, pertemuan keduanya masih adem-ayem. Insiden-insden dari dimulai satelah pertandingan final Copa America 1925 yang penuh dengan kekerasan. Final 1925 itu bahkan membuat keduanya memutuskan untuk "tidak saling ketemu dulu" hingga 1958.

Insiden-insiden

Pada Copa América 1925 Argentina dan Brasil bertemu di pertandingan final yang dihelat di Stadion Sportivo Barracas tepat di Hari Natal tahun itu. Pertandingan itu dihadiri lebih dari 30 ribu penonton. Setelah 27 menit, Lagarto berhasil menghadang umpan balik Ludovico Bidoglio dan mengoper bola kepada Arthur Friedenreich yang dengan tendangan kerasnnya membawa Brasil unggul 1-0. Cuma butuh waktu tiga menit bagi Brasil untuk menggandakan keunggulan menjadi 2-0 lewat kaki Nilo. Jika Brasil bisa mempertahankan keunggulan, harus ada satu pertandingan lagi untuk menentukan siapa yang jadi juara.

Segelum babak pertama berakhir, terjadilah insiden itu. Ramón Muttis membuat pelanggaran keras terhadap Friedenreich di mana dia membalasnya juga dengan sebuah tendangan keras. Tak terima, Ramon balik membalasnya dengan pukulan di wajah pemain Brasil itu. Tak pelak, kondisi itu memicu terjadinya peristiwa saling pukul antarpemain dari kedua tim. Penonon pun ada yang ikutan.

Pertandingan dihentikan dan dilanjutkan kembali setelah Ramon Muttis dan Friedenreich berpelukan. Tak ada kartu merah yang keluar dari saku wasit saat itu. Tapi pertandingan selanjutnya sudah tak sama lagi, di penghujung babak pertama Antonio Cerrotti memperkecil ketertinggalan dan gol penyeimbang terjadi sepuluh menit memasuki babak kedua melalui Manuel Seoane.

Pertandingan berakhir 2-2 dan Argentina memenangkan Copa America keduanya. Insiden tersebut tidak luput dari perhatian publik Brasil dan beberapa surat kabar lokal menyebut permainan tersebut sebagai "Perang Barracas".Karena pertandingan ini, Argentina dan Brasil tidak saling bertanding secara resmi selama 11 tahun.

Itu baru satu insiden, masih banyak insiden yang lain. Salah satunya terjadi saat pertandingan final Copa America 1937. Sebelum pertandingan, muncul serangan verbal berbau rasis dari para pendukung Argentina yang mengejek orang-orang Brasil sebagai macaquitos sembari mengeluarkan suara monyet.

Pertandingan final yang diadakan di Buenos Aires itu berakhir dengan skor 0-0 untuk waktu normal, 90 menit. Dalam perpanjangan waktu, Argentina mencetak dua gol. Tapi pemain Brasil mencium ada yang tak beres dengan dua gol itu. Khawatir dengan kondisi keselamatan mereka, para pemain Brasil akhirnya memutuskan meninggalkan stadion sebelum pertandingan resmi selesai.

Pers Brasil sejak itu menyebut pertandingan itu sebagai "jogo da vergonha" ataupermainan memalukan.

Lalu pada pertandingan Copa Roca 1945 yang dimenangkan Brasil dengan skor 6–2, pemain muda Brasil Ademir de Menezes mematahkan kaki pemain Argentina José Battagliero. Sejatinya itu adalah sebuah insiden yang tak disengaja, tapi selanjutnya pertandingan tersebut berlangsung dengan kasar dan penuh kekerasan.

Beberapa bulan kemudian, final Copa America 1946, Argentina kembali bertemu Brasil. Menurut laporan media saat itu, pertandingan itu akan menjadi pertandingan yang sulit. 28 menit setelah kick-off, pemain Brasil Jair Rosa Pinto membuat kapten Argentina Jose Salomon mengalami patah tulang tibia dan fibula. Benturan itu membuat para pemain Argentina dan Brasil saling pukul di lapangan dan melibatkan aparat keamanan.

Penonton menyerbu lapangan dan kedua tim harus pergi ke ruang ganti. Setelah kondisi berhasil dipulihkan, permainan dilanjutkan dan Argentina memenangkan pertandingan 2-0. Salomón tidak pernah pulih sepenuhnya atau bermain sepakbola profesional setelah kejadian tersebut.

Lalu pada Piala Dunia 1978 di Argentina. Tuan rumah bertemu dengan Brasil pada putaran kedua Grup B di mana pertandingan berakhir dengankontroversial. Pada pertandingan sebelumnya, Brasil mengalahkan Peru 3-0 sementara Argentina mengalahkan Polandia 2-0. Di pertandingan ini, Brasil dan Argentina bermain imbang tanpa gol yang menegangkan dan penuh kekerasan. Media menyebut pertandingan ini sebagai "A Batalha de Rosário" atau "Pertempuran Rosario".

Pertandingan terakhir adalah adalah pertandingan yang sangat menentukan--Argentina punya keuntungan karena pertandingan mereka melawan Peru dimulai beberapa jam setelah pertandingan Brasil dengan Polandia. Pada laga pertama, Brasil menang 3-1 atas Polandia. Itu artinya, Argentina harus bisa menang dengan selisih empat gol atas Peru jika ingin lolos ke fase selanjutnya--entah bagaimana caranya.

Dan benar, Argentinaberhasil melakukannya dengan apa yang dianggap sebagian orang sebagai "mudahnya kelewatan". Tertinggal 2-0 di babak pertama, Peru babak belur di babak kedua, dan Argentina menang dengan skor 6-0. Ada sas-sus yang beredar, Peru barangkali telah "dibeli" untuk mengalah (terlebih, penjaga gawang Peru, Ramón Quiroga, lahir di Argentina). Tapi hingga kini tak ada bukti yang mengarah ke sana. Endingnya, Argentina menjadi juara Piala Dunia setelah mengalahkan Belanda di final.

Siapa yang lebih hebat, Pele atau Maradona?

Persaingan Brasil dan Argentina juga merembet ke para pemainnya, terutama Pele dan Maradona, siapa yang paling hebat dari keduanya?

Pele dan Maradona adalah dua pesepakbola terhebat di dunia hingga saat ini--dan itu tak perlu dibantah lagi. Meski begitu, masih ada saja yang berusaha membandingkan keduanya dan mengatakan bahwa Pele lebih baik dari Maradona; pun sebaliknya, Maradona lebih baik dari Pele.

Dan perdebatan itu tak ada ujungnya hingga saat ini.Banyak yang menganggap perbandingan di antara mereka tidak ada gunanya, karena mereka bermain di era yang tidak ada bandingannya dan di liga yang berbeda.

Pelé pernah mendapat predikat "Atlet Abad Ini" oleh Komite Olimpiade Internasional, sementara pada 1999, majalah Time menobatkan Pelé sebagai salah satu dari 100 Orang Paling Penting di Abad ke-20. Pele juga dipilih sebagai "Pesepakbola Abad Ini" pada 1999, juga "Pesepakbola Amerika Selatan Abad Ini" juga pada 1999. Di sisi lain, Maradona dinobatkan sebagai Pemain Terbaik Abad ke-20 oleh Globe Soccer Awards, pesepakbola terbaik dalam sejarah Piala Dunia baik oleh The Times dan FourFourTwo, dia juga terpilih sebagai "Atlet Terbesar dalam Sejarah" oleh Corriere Dello Sport – Stadio.

Perdebatan itu mencapai puncaknya pada acaraFIFA Player of the Century in 2000. Di situ Maradona terpilih sebagai Pemain Terbaik Abad Ini dalam jajak pendapat resmi di internet, mengumpulkan 53,6% suara berbanding 18,53% untuk Pelé. Sesaat sebelum upacara, FIFA memutuskan untuk menambah penghargaan kedua dan menunjuk komite "Keluarga Sepak Bola" yang terdiri atas para jurnalis sepakbola yang memberi Pelé gelar Pemain Terbaik Abad Ini untuk membuat hasil imbang.

Argentina meradang dengan keputusan FIFA itu, mereka menyebutPelé mendapat hadiah karena dukungannya yang terus-menerus terhadap FIFA, sementara Maradona adalah sosok yang sering berseberangan dengan federasi itu. Ada juga yang percaya bahwa FIFA tengah mempertimbangkan masalah selain sepakbola, terutama masalah narkoba Maradona. Maradona meninggalkan upacara tepat setelah menerima penghargaannya dan sebelum Pelé diberikan.

Dalam jajak pendapat internet lain yang dilakukan pada 2002, Maradona menerima penghargaan lain dari FIFA karena salah satu golnya dipilih sebagai Gol Piala Dunia Abad Ini. Sementara salah satu gol Pele berada di tempat ketiga dan satu gol Maradona lainnya ada di posisi keempat.

Begitulah sejarah rivalitas Brasil vs Argentina yang sepertinya tak akan berakhir dalam waktu dekat. Dan di situlah "menyenangkannya" sepakbola.

Artikel Terkait