Sepakbola Wanita Indonesia Potensinya Besar Tapi Tanpa Dukungan Kompetisi Rutin Buat Apa?

Moh. Habib Asyhad
Moh. Habib Asyhad

Editor

Sepakbola wanita Indonesia bagai hidup segan, mati tak hendak. Potensinya sebenarnya besar, namun tanpa dukungan kompetisi rutin, maka sulit kiranya mencetak pemain sepakbola wanita yang profesional.
Sepakbola wanita Indonesia bagai hidup segan, mati tak hendak. Potensinya sebenarnya besar, namun tanpa dukungan kompetisi rutin, maka sulit kiranya mencetak pemain sepakbola wanita yang profesional.

Sepakbola wanita Indonesia bagai hidup segan, mati tak hendak. Potensinya sebenarnya besar, namun tanpa dukungan kompetisi rutin, maka sulit kiranya mencetak pemain sepakbola wanita yang profesional.

Penulis: Nevan Kristiono, untuk Intisari Extra 2012

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -Mutia Datau terkenal sebagai artis film era ‘80-an. Namun, dia bukan sekadar artis, karena Mutia adalah penjaga gawang klub sepakbola wanita Buana Putri yang legendaris.

Klub tersebut tidak hanya dikenal karena kepiawaiannya memainkan si kulit bundar, tapi juga karena para pemainnya yang ayu.

Di dekade ‘80-an, hampir setiap kali klub sepakbola wanita ini bertanding atau berlatih orang berduyun-duyun menonton. Mereka berdesakan ingin melihat pemain-pemain nan cantik bertanding. Melihat perempuan yang identik dengan kelembutan itu berlaga di lapangan hijau tentunya bukan hal yang biasa.

Kala itu klub-klub bernama indah juga menghiasi sepakbola Indonesia. Ada Putri Priangan di Bandung, Putri Mataram dari Yogyakarta, Puni Saburai dari Lampung, Putri Srikandi di Semarang, Putri Setia dan Putri Sakti di Surabaya, dan Putri Pardedetex di Medan. Berbeda jauh, nama-nama itu kini terdengar sayup-sayup, bahkan tidak terdengar lagi.

Dalam sejarahnya, prestasi timnas sepak bola wanita kita pun tak terlalu mentereng. Di level Asia Tenggara, misalnya, rekor tertinggi kita adalah posisi keempat SEA Games 2001. Pada dua SEA Games sesudahnya, Srikandi Indonesia mentok di fase grup. Di dua SEA Games terakhir, tim nasional (timnas) sepak bola wanita absen. Bahkan, Indonesia menghapuskan cabang sepak bola wanita dari SEA Games, November mendatang.

Sudah lenyapkah sepak bola wanita kita?

Minim dukungan

Hal itu dibantah oleh Eha Habibab (tahun 2012 saat artikel ini ditulis adalah anggota Komite Sepak Bola Wanita PSSI). Eha menegaskan tim sepakbola wanita di Indonesia masih ada. Di Jakarta, misalnya, masih ada tim sepakbola Buana Putri dan tim sepak bola wanita Universitas Negeri Jakarta (UNJ).

“Bahkan, setiap tahun kita mengadakan kejuaran nasional (kejurnas) sepak bola wanita,” kata Eha.

Benar, terakhir Kejurnas Sepak Bola Wanita diselenggarakan pada 4-12 Oktober 2010 di Gelanggang Olahraga (GOR) Ragunan, Jakarta. Diikuti 10 tim, peserta saat itu berasal dari Bangka Belitung, Banten, DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Kendari, Papua, Papua Barat dan Sumatera Utara.

Eha juga mengungkapkan bahwa Komite Sepak Bola Wanita menggelar turnamen sepakbola wanita U-16 pertengahan Agustus 2011. Pesertanya berasal dari Bangka Belitung, DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Jawa Barat, Papua dan Papua Barat.

Ini dimaksudkan untuk menjaring nama-nama yang akan masuk ke dalam timnas sepakbola untuk berlaga di ajang Woman Football Championship AFF di Myanmar pada Oktober 2012.

Masih suramnya prestasi sepakbola wanita, menurut Eha, karena minimnya dukungan PSSI terhadap perkembangan sepak bola wanita. PSSI lebih memusatkan perhatian pada sepak bola pria, sehingga dukungan dana pun lebih dicurahkan kepada mereka.

Katrina, pelatih sekaligus pengurus klub Buana Putri berpandangan sama dengan Eha. Menurut dia, klub-klub sepak bola wanita di Indonesia masih dinomorduakan dalam hal pembinaan. Kalau kita lihat, memang selama ini tak ada kompetisi yang secara rutin digelar untuk sepakbola wanita.

Tuty Dau, (saat 2012 Ketua Komite Sepak Bola Wanita PSSI), agaknya menyadari ada banyak hal yang perlu dibenahi untuk menghidupkan kembali sepak bola wanita tanah air. Sejak akhir Juli kemarin Tuty mulai menggelar pertemuan dengan beberapa pihak terkait. Jelas, mengupayakan kompetisi reguler membutuhkan pendanaan yang kuat.

“Mencari sponsor di sini tidak mudah. Tapi yang pasti kami akan mengupayakan yang terbaik,” terang Tuty kepada pers akhir Juli kemarin.

Bangkit di Papua

Katrina secara pribadi melihat sepak bola wanita di tanah air kini lebih berkembang di kawasan timur. Di Papua, jumlah klub sepak bola wanita jauh lebih banyak dan lebih berkembang dari Jakarta. Diperkirakan jumlah klubnya sekitar 20 dan mereka sering mengadakan kompetisi setempat.

“Kota-kota kecil, seperti Dafonsoro, di Kabupaten Jayapura, punya klub sepak bola wanita,” kata Katrina.

Tak heran, tim sepak bola wanita Papua langganan menjuarai Kejurnas Sepak Bola Wanita. Terakhir, pada kejurnas tahun lalu, tim Papua mengalahkan tim sepak bola wanita Jawa Barat dengan skor telak 4-0.

Katrina mengatakan klub-klub sepak bola wanita, khususnya Buana Putri, tetap akan memperjuangkan eksistensi persepakbolaan wanita di Indonesia. Ia menegaskan anak-anak asuhannya masih rajin berlatih di lapangan ABC Senayan.

“Kami masih sering latihan, kok, terutama Rabu dan Sabtu setiap minggu,” ujar Katrina.

Demi merangsang anak-anak perempuan yang memiliki minat pada sepak bola untuk bergabung, klub ini tidak memberikan persyaratan khusus. Yang terpenting punya minat belajar.

Katrina juga pernah mengungkapkan di sebuah media bahwa mereka tidak segan-segan memberikan ongkos transportasi bagi murid yang memang memiliki bakat luar biasa. “Intinya, kami hanya ingin murid kami serius dalam latihan dan tekun, dan memiliki mental atlet (pantang menyerah),” tutur Katrina.

Mengajarkan sepak bola kepada perempuan memang tidak gampang. Namun, bagi Katrina pemain wanita lebih tekun dibandingkan dengan pemain pria. Ketika kami mengutarakan keinginan untuk datang melihat latihan tim Buana Putri, Katrina menjawab dengan tidak pasti. “Coba saya tanya anak-anak dulu, apakah mereka mau latihan,” begitu jawab Katrina.

Penasaran, dua minggu berturut-turut di bulan Juli 2011 kami bertandang ke setiap lapangan sepakbola yang ada di Kawasan Gelora Bung Karno, Senayan Jakarta, ingin melihat pemain-pemain ayu berlatih rutin. Kami datang sesuai jadwal: Rabu dan Sabtu, pukul 16.00 WIB.

Sore itu lapangan memang tampak ramai dengan manusia. Tetapi mereka menyaksikan seleksi tim nasional sepak bola usia 16 tahun untuk menghadapi kompetisi di Asia. Lapangan di sebelahnya berisi bocah-bocah di bawah sepuluh tahunan yang sedang berlatih sepakbola. Semuanya pria.

Ternyata cerita lain kami dapatkan dari seorang penjaja minuman ringan yang mangkal di depan Lapangan ABC. Katanya, tim sepak bola wanita Buana Putri sudah tidak pernah lagi berlatih di lapangan itu sejak dua tahun lalu. Hah?

Dukungan FIFA

Terlepas dari hal tersebut, Federasi Sepak bola Dunia (FIFA) sebenarnya memberikan dukungan moril terhadap kebangkitan sepak bola wanita Indonesia. Tercatat dua tahun berturut-turut, yaitu 2008-2009, perwakilan dari federasi dunia ini mengunjungi kepengurusan sepak bola wanita Indonesia sebagai bagian dari kampanye mereka.

Tahun 2008 FIFA mengirimkan Monica Staab, bekas pemain andalan tim sepak bola wanita Jerman yang sekarang berkarier sebagai pelatih untuk memberikan pembinaan teknis persepakbolaan wanita.

Monika melakukan tur kepelatihan (coaching clinic) di Bandung, Yogyakarta, Papua, dan Jakarta. “Kalian memiliki banyak pemain sepak bola wanita yang potensial. Ini mengejutkan. Saya sama sekali tidak menyangka bakal menemui banyak pemain berbakat di sini,” tutur Monika kepada media.

Alangkah baik, jika talenta-talenta perempuan Indonesia dalam memainkan si kulit bundar tersebut benar-benar menemukan wadahnya. Apalagi, peringkat FIFA untuk sepak bola wanita Indonesia jauh lebih baik dari tim pria. Peringkat FIFA untuk sepak bola pria Indonesia saat ini adalah 137, jauh di bawah peringkat sepak bola wanita Indonesia yang tahun ini menempati posisi ke-68 dunia.

Artikel Terkait