Find Us On Social Media :

Senja Kala Tradisi Tenun Aceh Usai 3 Abad Berjaya, Salah Siapa?

By Moh. Habib Asyhad, Kamis, 29 Agustus 2024 | 10:56 WIB

Aceh menyimpan kekayaan seni tenunan purba. Tapi sayang, kondisi tenun aceh saat ini sedang menghadapi senja kala. Entah siapa yang harus disalahkan.

[ARSIP]

Tak banyak yang tahu, Aceh menyimpan kekayaan seni tenunan purba. Selama hampir tiga abad, keahlian menenun diturunkan antargenerasi di Mukim Siem, Aceh Besar. Sayangnya, kejayaan tenunan Aceh tergerus oleh ketidakpedulian anak naggroe (negeri) dan minimnya dukungan pemerintah.

Penulsi dan fotografer: Syafrizaldi di Banda Aceh, untuk Intisari Desember 2015

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com - Seutas tali merah penuh jaring laba-laba tegang menjadi penyangga alat tenun yang keropos termakan rayap. Sebongkah tanah menempel di tali itu dan menjadi sarang serangga. Sementara benang-benang hitam terentang seolah menjadi saksi bahwa tenunan itu tidak kunjung selesai dikerjakan.

"Ini adalah tenunan terakhir saya yang tidak selesai," kata Dahlia, ketika diwawancara Syafrizaldi, kontributor untuk Majalah Intisari di Aceh pada 2015 lalu, berusia  53 tahun. Dia adalah pewaris tenun aceh yang legendaris dari mendiang ibunya, Nyak Mu. Sudah hampir empat tahun benang-benang itu terentang tak diselesaikan. Sejak Nyak Mu meninggal dunia beberapa tahun yang lalu, menenun nyaris kehilangan makna.

Tenun aceh, lanjut Dahlia, dia pelajari dari ibunya. Ibunya belajar dari neneknya dan nenek dari ibunya itu belajar menenun dari ibunya lagi. Dahlia sendiri adalah keturunan kelima yang mewarisi tradisi tenun di keluarganya. "Tapi mungkin tradisi ini harus berhenti di tangan saya," imbuhnya.

Dulu, kenang Dahlia, ibunya yang mengajarkan gadis-gadis Siem untuk menenun, termasuk dirinya. Kini, Dahlia hanya bisa memandang bengkalai alat tenun itu dengan raut risau. Sekitar sembilan bangkai alat tenun tergeletak di ruangan itu. Sebuah ruangan laiknya gudang, di mana orang-orang Siem pernah belajar menenun.

Baca Juga: Fakta Menarik di Balik Kain Tenun Ulos Batak, Bukan Sekadar Selendang!

Penenun tak terusik konflik

Dahlia menggendong cucunya ketika membersihkan ruangan mirip ruang kelas, berukuran 7x12 m itu. Ruang semi permanen itu berlantaikan semen, dinding kayu, dan beratap seng. Kondisinya yang tidak terawat membuat bangunan itu seolah hanyalah gudang penyimpanan alat-alat yang tidak digunakan lagi.

Bangunan itu sendiri dibangun oleh Dinas Perindustrian Provinsi Daerah Istimewa Aceh pada 1981. “Alat tenun lainnya sudah dipindahkan ke rumah-rumah penenun. Itu pun hanya lima buah,” kata Dahlia.

Dulu, kenang Dahlia, ibunya berjuang agar tenun aceh terkenal. Selain sebagai sumber pendapatan, tenun juga membuat kami bisa bertahan dalam suasana konflik. “Bila ada kontak senjata, kami semua tiarap di bawah ini,” katanya seraya menunjuk alat tenun yang kini hanya tinggal kerangkanya itu. Begitu kontak senjata usai, menenun dilanjutkan lagi.

Menenun, lanjut Dahlia, merupakan pekerjaan yang tidak terlibat langsung dengan konflik bersenjata. Tentara (TNI, masa itu) maupun anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM) tidak pernah mengusik karena mereka tahu para penenun tidak terlibat dalam konflik, pun tidak memihak siapa pun. Andaikan ada yang berpihak, tentu tidak akan terang-terangan.

Dahlia menjelaskan, periode 1970-an hingga 1990-an adalah masa-masa yang sulit. Pasokan bahan baku pembuatan kain yang seharusnya gampang didapat, pasokannya menjadi sulit. Kondisi itu pula yang membuat keluarganya mendorong masyarakat di lokasi lain untuk beternak sutera dan menghasilkan benang.

Meski sulit, situasi itu harus terus dilalui. Perjuangan Nyak Mu untuk mengembangkan tenun aceh seolah merupakan takdir keluarga. Upaya itu pula yang membuat Nyak Mu diganjar Upakarti dari Presiden pada 1991.

Sebulan tiga helai

Ketiadaan regenerasi, perlahan-lahan membuat kejayaan tenun Aceh semakin memudar. Kini tak banyak generasi muda yang tertarik menenun. Selain dianggap membosankan, penghasilan dari menenun tidak sebesar bila dibandingkan dengan bekerja kantoran.

Buktinya, tak satu pun dari keenam anak Dahlia yang bekerja sebagai penenun. Kini para penenun, mayoritas usianya sebaya dengan Dahlia. Mereka menenun di rumah masing-masing. Itu pun kalau ada permintaan kain tenun dari para pemesan. Saat sepi pesanan, mereka tidak menenun, melainkan menjadi petani penggarap.

Walau beruntung anak-anaknya bekerja kantoran, tapi ada kekhawatiran Dahlia terhadap masa depan tenun aceh. “Mau bagaimana lagi, hidup terus berlanjut. Kami butuh biaya untuk berbagai keperluan,” ucapnya pasrah.

Salah seorang dari lima penenun yang masih aktif di Siem, Ida Riyani, 51 tahun, menyatakan menenun adalah pekerjaan yang mau tak mau harus dilakoninya. Dalam sebulan, setidaknya Ida dapat menyelesaikan tiga helai kain. Setiap helai kain upahnya Rp150 ribu.

Baca Juga: Gringsing, Kain Tenun Bali yang Diburu Kolektor Dunia dengan Harga Fantastis

Proses menenun, kata Ida, memakan waktu delapan sampai sepuluh hari. “Yang lama itu menyusun benang satu per satu dan memintal benang,” katanya. Proses pemintalan itu harus dibantu anaknya, Khaira Ummah. Di sela waktu luangnya sebagai mahasiswa Universitas Syiah Kuala, Khaira membantu ibunya yang sudah menjanda itu.

“Bila tidak ada order menenun, saya membantu mengelola sawah. Mungkin nanti Khaira mau belajar supaya ada generasi yang melanjutkan,” imbuh Ida berharap kepada anaknya.

Pakaiannya serba hitam

Rintik hujan turun menerbangkan tampias air ke dalam rumah tenun itu. Dari sela-sela kayu jerejak yang jarang-jarang, air hujan menggerogoti alat-alat tenun yang mulai lapuk di rumah tenun milik Dahlia.

Dia menyeka beberapa bagian dengan lap. Tapi tak cukup banyak debu yang tersingkir. Raut wajahnya kelihatan sedih sementara cucu di gendongannya menangis. Dahlia menoleh sebentar ke arah cucunya.

“Pilu, seperti tangisan alat-alat tenun yang usang ini,” katanya lirih.

Dahlia bergegas pulang lantaran ada tamu menunggu. Rumahnya tak berapa jauh dari rumah tenun itu. Dia bergegas, langkahnya besar agar cucunya tak kebasahan hujan.

Laila Abdul Jalil, S.S, MA, peneliti senior dari Balai Sejarah dan Kepurbakalaan Aceh sudah duduk menunggu di pelataran rumah ketika Dahlia tiba. Tak ada kepentingan Laila meneliti pada kedatangannya itu. Laila merasa sudah menjadi bagian dari budaya tenun aceh sepanjang kariernya. Dahlia bukan orang pertama yang dia dokumentasikan dalam penelitian. Nyak Mu, ibunya Dahlia juga sempat menjadi subjek penelitian Laila.

“Sebagai orang Aceh, saya merasa bertanggung jawab menghadirkan tenun aceh ke ruang publik. Ini bukan semata-mata untuk urusan penelitian, tapi lebih pada tugas kemanusiaan saya agar tenun aceh kembali dikenal dan menjadi konsumsi banyak orang,” papar Laila.

Dalam risetnya, Laila membuktikan tenun aceh yang diwarisi Dahlia merupakan tenun tertua di Aceh. Latar belakang sebagai seorang antropolog dan sejarawan membawa Laila membuka dokumen-dokumen lama yang banyak terserak di museum-museum maupun perpustakaan di Indonesia.

Orang Aceh, kata Laila, sebelum abad ke-18 merupakan orang-orang dengan pakaian serba hitam tanpa motif. Mulai dari pakaian bagian bawah, atas hingga tutup kepala, semuanya berwarna hitam. Walaupun motif-motif pakaian sudah jamak digunakan di Nusantara, tapi Aceh belum.

Hal ini terbukti dari temuan foto-foto lama yang dibuat Belanda maupun Inggris. Tak satu pun orang Aceh yang berpakaian bermotif. “Siem merupakan wilayah pertama yang mengembangkan tenun,” papar peneliti yang sudah menjelajah di berbagai lokasi di Aceh, termasuk dataran tinggi Gayo hingga ke pesisir barat.

Lima puluh motif

Secara topografi , lanjut Laila, wilayah di mana Dahlia tinggal memang diuntungkan karena aksesnya yang terbatas. Orang-orang bersenjata tidak akan mungkin masuk dari Utara karena dibentengi oleh pagar perbukitan yang cukup tinggi. Sementara akses yang cukup baik dapat ditempuh dari kota Banda Aceh di selatan, itu pun berada di celah sempit di sekitar Darussalam, dekat kampus Universitas Syiah Kuala sekarang.

Di Siem, setidaknya terdapat 50 jenis motif tenunan. Semuanya diturunkan antar-generasi melalui pelajaran menenun di rumah-rumah warga. Motif tenun, merupakan gambaran filosofis tentang kehidupan.

Baik filosofi hubungan antar-manusia, maupun yang berkaitan dengan Tuhan. Makna yang terkandung dalam berbagai motif ini, tentu penting diketahui masyarakat luas. Karena itulah Laila bersama timnya, baru saja mempublikasikan buku tentang berbagai motif tenun aceh.

Aceh, kata Laila, selama ini sudah jauh tertinggal lantaran konflik bersenjata berkepanjangan. Belakangan, sepuluh tahun berselang, bencana gempa dan tsunami juga turut menggerus kehidupan masyarakat. Kini saatnya Aceh bangkit melalui kekuatannya sendiri. Tenun adalah salah satu kearifan yang masih tersisa.

Baca Juga: Jangan Kaget, Inilah Alasan Kain Tenun Ikat Sumba Harganya Mahal

Keahlian menenun, dikhawatirkan akan lenyap bila tidak ada generasi yang meneruskannya. Keahlian menenun yang mestinya menjadi sumber kekayaan Aceh. Kemampuan menenun mestinya menjadi peluang mempromosikan Aceh lebih luas selain kekayaan budaya dan kesenian lainnya.

Sayangnya, kekayaan ini tidak terjaga. Anak nanggroe (negeri) memilih untuk mengabaikannya. Pemerintah juga tak banyak berperan selain memberikan penghargaan atau membangun infrastruktur. “Saya miris melihat kondisi ini,” keluh Laila.

Begitulah nasib naas tenun aceh, semoga segera ada orang baik yang peduli dengan keberadaannya.