Find Us On Social Media :

Senja Kala Tradisi Tenun Aceh Usai 3 Abad Berjaya, Salah Siapa?

By Moh. Habib Asyhad, Kamis, 29 Agustus 2024 | 10:56 WIB

Aceh menyimpan kekayaan seni tenunan purba. Tapi sayang, kondisi tenun aceh saat ini sedang menghadapi senja kala. Entah siapa yang harus disalahkan.

Dahlia menggendong cucunya ketika membersihkan ruangan mirip ruang kelas, berukuran 7x12 m itu. Ruang semi permanen itu berlantaikan semen, dinding kayu, dan beratap seng. Kondisinya yang tidak terawat membuat bangunan itu seolah hanyalah gudang penyimpanan alat-alat yang tidak digunakan lagi.

Bangunan itu sendiri dibangun oleh Dinas Perindustrian Provinsi Daerah Istimewa Aceh pada 1981. “Alat tenun lainnya sudah dipindahkan ke rumah-rumah penenun. Itu pun hanya lima buah,” kata Dahlia.

Dulu, kenang Dahlia, ibunya berjuang agar tenun aceh terkenal. Selain sebagai sumber pendapatan, tenun juga membuat kami bisa bertahan dalam suasana konflik. “Bila ada kontak senjata, kami semua tiarap di bawah ini,” katanya seraya menunjuk alat tenun yang kini hanya tinggal kerangkanya itu. Begitu kontak senjata usai, menenun dilanjutkan lagi.

Menenun, lanjut Dahlia, merupakan pekerjaan yang tidak terlibat langsung dengan konflik bersenjata. Tentara (TNI, masa itu) maupun anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM) tidak pernah mengusik karena mereka tahu para penenun tidak terlibat dalam konflik, pun tidak memihak siapa pun. Andaikan ada yang berpihak, tentu tidak akan terang-terangan.

Dahlia menjelaskan, periode 1970-an hingga 1990-an adalah masa-masa yang sulit. Pasokan bahan baku pembuatan kain yang seharusnya gampang didapat, pasokannya menjadi sulit. Kondisi itu pula yang membuat keluarganya mendorong masyarakat di lokasi lain untuk beternak sutera dan menghasilkan benang.

Meski sulit, situasi itu harus terus dilalui. Perjuangan Nyak Mu untuk mengembangkan tenun aceh seolah merupakan takdir keluarga. Upaya itu pula yang membuat Nyak Mu diganjar Upakarti dari Presiden pada 1991.

Sebulan tiga helai

Ketiadaan regenerasi, perlahan-lahan membuat kejayaan tenun Aceh semakin memudar. Kini tak banyak generasi muda yang tertarik menenun. Selain dianggap membosankan, penghasilan dari menenun tidak sebesar bila dibandingkan dengan bekerja kantoran.

Buktinya, tak satu pun dari keenam anak Dahlia yang bekerja sebagai penenun. Kini para penenun, mayoritas usianya sebaya dengan Dahlia. Mereka menenun di rumah masing-masing. Itu pun kalau ada permintaan kain tenun dari para pemesan. Saat sepi pesanan, mereka tidak menenun, melainkan menjadi petani penggarap.

Walau beruntung anak-anaknya bekerja kantoran, tapi ada kekhawatiran Dahlia terhadap masa depan tenun aceh. “Mau bagaimana lagi, hidup terus berlanjut. Kami butuh biaya untuk berbagai keperluan,” ucapnya pasrah.

Salah seorang dari lima penenun yang masih aktif di Siem, Ida Riyani, 51 tahun, menyatakan menenun adalah pekerjaan yang mau tak mau harus dilakoninya. Dalam sebulan, setidaknya Ida dapat menyelesaikan tiga helai kain. Setiap helai kain upahnya Rp150 ribu.