Pada saat pentahbisan bangunan suci tersebut, Gajayana menganugerahkan sebidang tanah, sapi, kerbau, serta budak laki-laki dan perempuan, sebagai penjaga kepada para pendeta.
Setelah Gajayana mangkat, takhta beralih ke tangan putrinya, Uttejana yang menikah dengan Pangeran Jananiya dari Paradeh.
Seperti para leluhurnya, mereka berdua memerintah dengan penuh keadilan, sehingga rakyat Kanjuruhan semakin mencintai rajanya.
Secara turun-temurun, akhirnya Kerajaan Kanjuruhan diperintah oleh raja-raja keturunan Raja Dewa Simha, yang terkenal akan kebijaksaan, keadilan, serta kemurahan hatinya.
Sayangnya, keberadaan Kerajaan Kanjuruhan tidak bgitu lama.
Kerajaan Mataram Kuno yang sedang memperluas wilayah kekuasaannya sampai pula ke Pulau Jawa bagian timur, meski tidak ada bukti atau tanda bahwa penaklukan terjadi dengan peperangan antara Kerajaan Mataram Kuno dengan Kerajaan Kanjuruhan.
Ketika itu Kerajaan Mataram Kuno diperintah oleh Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung.
Pada akhirnya Kerajaan Kanjuruhan praktis di bawah kekuasaan Kerajaan Mataram Kuno, meskipun Kanjuruhan tetap memerintah di daerahnya, hanya saja setiap tahun harus melapor ke pemerintah pusat.