Intisari-online.com - Jika biasanya kerajaan selalu dipimpin oleh raja sebagai pemimpin utama dengan ratu sebagi pendampingnya.
Ternyata Majapahit sempat beberapa kali dipimpin oleh seorang ratu dengan raja sebagi pendampingnya.
Tak hanya sekali bahkan ada beberapa wanita yang disebut pernah berkuasa dan memegang takhta tertinggi di Majapahit.
Kisah perempuan perkasa dari Majapahit pertama adalah Gayatri, dia adalah sosok istri Raden Wijaya, pendiri kerajaan Majapahit.
Menurut kitab Nagaraketragama, Dyah Dewi Gayatri Kumara Rajassa adalah putri dari empat orang anak perempuan Kertanegara, Raja Agung Singasari.
Gayatri selamat ketika pemberontakan Jayakatwang dari Kediri, sebelum akhirnya Kediri ditaklukkan oleh Raden Wijaya.
Kemudian ia membawa Gayatri ke Majapahit dan menjadikan istrinya.
Raden Wijaya dan Gayatri membangun Majapahit dari kecil hingga menjadi kerajaan besar, sebelum Raden Wijaya akhirnya meninggal dan digantikan Jayanegara.
Namun Gayatri dan Jayanegara memiliki hubungan yang buruk, bahkan Gayatri bersekongkol dengan Gajah Mada untuk menyingkirkan Jayanegara melalui Ra Tanca.
Kemudian, dia mengakat putrinya Tribhuwana Tunggadewi sebagai penguasa Majapahit.
Ia menjadi ratu selama 33 tahun dari tahun 1328-1351, dengan nama asli Dyah Gitaraja.
Kemudian, Tribhuwana Tunggadewi menjadi ratu dengan didampingi suaminya Kertawardhana, hingga turun takhta digantikan suaminya.
Hingga turun Takhta Tribhuwana Tunggadewi kemudian digantikan oleh anaknya Hayam Wuruk.
Setelah Hayam Wuruk turun Takhta lagi-lagi Majapahit dikuasai oleh seorang wanita.
Ia adalah Sri Suhita yang menjadi ratu ke-6 Majapahit dan memerintah selama 20 tahun, sejak 1427-1447 bersama suaminya Bhra Hyang.
Suhita memiliki banyak kisah, diantaranya dia memerintah berdampingan dengan Ratnapangkaja, atau bergelar Bhatara Parameswara.
Sri Suhita juga sempat menjatuhkan hukuman mati pada Raden Gajah atau Bhre Narapati.
Namnya juga dikenal hingga ke China dari kuil Sam Po Kong, yang mengangkat Gan Eng Cu sebagai pemimpin masyarakat China di Tuban.
Namun, tahun 1437, Bhatara Prameswara meninggal dunia, sepuluh tahun kemudian Sri Suhita juga meninggal dunia, dia digantikan adik bungsunya Dyah Krtawijaya.
Menurut, Babad Tanah Jawa gelar wanita yang menguasai kerajaan biasanya disebut dengan Ratu.
Sedangkan untuk laki-laki biasanya Sultan, Prabu, Pengeran, Panembahan, dan Sultan.
Sementara untuk istilah istana masih menggunakan kata keraton, yang artinya ke-ratu-an atau tempat tinggal ratu.