Sohor Memiliki Perundang-undangan yang Lengkap, Siapa Sangka Majapahit Sudah Punya Pasal Khusus LGBT, Benarkah Diancam Hukuman Mati?

K. Tatik Wardayati

Editor

Situs Trowulan Mojokerto, sisa-sisa peninggalan Majapahit, yang memiliki perundang-undangan lengkap termasuk pasal LGBT.
Situs Trowulan Mojokerto, sisa-sisa peninggalan Majapahit, yang memiliki perundang-undangan lengkap termasuk pasal LGBT.

Intisari-Online.com – Di satu belahan dunia, aktivitas homoseksual mendapat kecaman, bahkan hukuman, namun, di belahan lain dari dunia ini, aktivitas mereka dilegalkan.

Pada kenyataannya, larangan aktivitas homoseksual, baik itu oleh pria maupun wanita, telah ada sejak zaman Kerajaan Majapahit.

Hal itu dituturkan oleh pakar hukum pernikahan Universitas Indonesia, Neng Zubaidah.

Larangan aktivitas seksual kala pemerintahan Majapahit di bawah kekuasaan Raja Hayam Wuruk.

Baca Juga: Dipercaya Sebagai ‘Paku Bumi’ Pulau Jawa Agar Tidak Terombang-ambing di Lautan Luas, Punya Makna Sakral bagi Umat Hindu, Inilah Fakta Gunung Semeru yang Termaktub dalam Kitab Peninggalan Majapahit

Dalam perundang-undangan Majapahit, terdapat dua pasal yang dibuat sekitara abad ke-13, yang mengarah pada pelarangan aktivitas lesbian, gay, biseksual, dan transjender (LGBT).

Meski sejak zaman Kerajaan Majapahit telah diterapkan hukuman kejam bagi kelompok LGBT, namun tidak ada kebijakan resmi yang diperuntukkan khusus kelompok mereka pada era Indonesia modern saat ini.

Menurut Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Luhut Binsar Pandjaitan, menyatakan bahwa kedudukan kelompok LGBT sama di mata hukum.

Mereka disamakan dengan kelompok masyarakat lainnya sebagai bagian dari warga negara Indonesia yang patut mendapatkan perlindungan.

Baca Juga: Tercecer Saat Gunung Mahameru dari India Dipindahkan, Akibatkan Jajaran Pegunungan di Pulau Jawa dari Barat ke Timur, Inilah Isi Kitab Tantu Pagelaran, Salah Satu Peninggalan Kerajaan Majapahit

“Mereka punya hak untuk dilindungi negara karena mereka juga warga negara Indonesia,” tutur Luhut.

Oleh karena itu, Luhut tidak setuju bila kelompok LGBT menjadi korban kekerasan di lingkungannya.

Ada baiknya, menurut Luhut, masyarakat merefleksikan diri dan bersikap bijak.

“Bagaimana bila itu menimpa keluarga Anda?” pungkas Luhut.

Sedangkan pada perundangan-undangan Majapahit di pasal 17, seorang kedi, pencuri, dan pendusta, bila terbukti melakukan tindakannya akan dikenakan hukuman mati.

“Kedi itu siapa? Homoseksual!” kata Neng dalam sebuah acara diskusi.

Baca Juga: Dimulai dari Raden Wijaya Hingga Puncak Kejayaan pada Masa Pemerintahan Hayam Wuruk dan Berkuasa Hingga Hampir Dua Abad, Inilah Peninggalan Kerajaan Majapahit yang Bisa Jadi Bukti Keberadaannya

Sementara, pada pasal 214, juga disebutkan bahwa wanita yang menikah dengan wanita atau wanita yang hidup bersama dengan wanita dan melarikan diri dari suaminya, maka akan dikenakan hukuman empat tali.

Hukuman empat tali adalah sejenis hukuman denda, meski tak jelas seberapa detail dari hukuman tersebut.

“Artinya, hal seperti itu memang ada di masyarakat. Hanya, pada masa Majapahit, hukuman bagi kedi adalah hukuman mati, bagi perempuan yang hidup bersama perempuan, hukumannya empat tali,” tukas Neng Zubaidah.

Baca Juga: Pantesan Banyak yang Percaya Majapahit Adalah Kerajaan Islam, Terkuak Ini Dia Jejak-jejak Islam yang Ditemukan di Peninggalan Majapahit

Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik? Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di https://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari

Artikel Terkait